5. Secercah Harapan
.
Part 5
"Aidan?" Sofia bangkit berdiri dan berlari mengikuti putranya tersebut yang melangkah marah keluar dari ruang tengah.
"Kenapa kau lakukan ini?!" jerit Liana marah pada Aaron. Menyela pandangan Aaron dan Aarash ke pintu tempat Sofia dan Aidan menghilang. "Kau berbohong, Aaron!"
Aaron hanya menoleh, menyunggingkan seulas senyum kemenangan di ujung bibir sebelum kemudian beranjak dari kursinya dan hendak melangkah pergi. Yang membuat Liana semakin naik pitam.
Wanita itu melompat berdiri, hendak menghambur ke arah Aaron, tetapi Aarash yang melihat Liana tak memedulikan pecahan meja kaca di lantai segera melayang menangkap pinggang Liana. "Perhatikan langkahmu, Liana."
Dan tentu saja pengamatan tersebut tak luput dari pengamatan Aaron, dan mendengus tipis sebagai komentarnya.
Dengan derai air mata yang masih memenuhi seluruh wajahnya, Liana kembali berdiri dengan kedua kakinya sendiri dan lepas dari rangkulan Aarash. Tak peduli salah satu pecahan kaca tersebut mengenai kakinya asalkan ia berhasil mencapai Aaron. Kemudian menghujankan tinjunya ke dada pria itu.
Aaron hanya menerima satu dua pukulan Liana, selanjutnya pria itu menahan kedua lengan Liana dan mendorongnya menjauh. Dan lagi-lagi tubuh Liana ditangkap oleh Aarash yang bergerak sigap di belakang wanita itu sebelum tubuh mungil Liana tersungkur ke lantai penuh pecahan kaca.
"Jaga sikapmu, Aaron," desis Aarash penuh peringatan. "Kau tahu kakek sangat ..."
Aaron menggaruk telinganya yang tak gatal. "Ya, ya, ya. Dia cucu emas kakek, kan?"
Aarash hanya mendesan pelan. Mengelus pundak Liana dengan lembut demi meredakan kemarahan dan tangisan Liana yang semakin terisak. Tahu apa pun yang dikatakannya tak akan membuat Aaron mundur dari keinginan pria itu.
"Kau berbohong!" teriak Liana. "Semua ini hanya sandiwaramu saja."
Aaron menyeringai lagi.
"Kau berbohong!" Air mata merebak di kedua kelopak mata Liana. Ia kembali lepas dari rangkulan Aarash dan kedua tangannya menghambur ke depan. Tak menyerah untuk mendaratkan satu pukulan di dada Aaron. Tetapi sebelum salah satu tangannya sempat menyentuh dada pria itu, Aaron menangkapnya. Dengan seringai jahat tersungging di ujung bibir. "Kau tak pernah menyentuhku. Aku tahu apa yang kurasakan."
"Ya, kau tak perlu merasakannya. Kau terlalu mabuk untuk mengingatnya."
"Aku ingat semuanya."
Seringai Aaron semakin tinggi, dengan tatapan tajamnya yang menusuk semakin intens ke kedua mata Liana. Kemudian pria itu memiringkan wajahnya, dan bertanya dalam bisikan yang begitu licik, "Apa kau juga ingat bagaimana aku menelanjangimu?"
Wajah Liana merah padam dan serasa dibakar. Ia dan Aaron berciuman? Liana mencoba menggali ingatannya kembali. Semakin dalam dan dalam, kemudian kedua matanya membelalak terkejut. Ia dan Aaron berciuman. Liana mengingatnya. Tetapi kepalanya menggeleng menyangkal ingatan tersebut. Yang membuat Aaron terkekeh puas.
Aaron menarik lengan Liana ke tubuhnya, membuat tubuh Liana membentur dadanya yang bidang dan keras. "Apa kau perlu bantuanku untuk mengingatnya? Mengingat setiap detail bagaimana kita memulai hingga saling telanjang bersama di tempat tidurku."
"Kau mengatakan kau mabuk, Aaron," desis Aarash tajam.
"Ya, tapi aku tak pernah lupa apa yang terjadi saat aku mabuk, kan?" jawab Aaron tanpa melepaskan tatapannya pada wajah basah Liana. Menurunkan wajahnya, yang kali ini membuat Liana meronta dan berusaha melepaskan cekalannya.
"Ya, aku tak pernah tertarik memilikimu. Tapi ... sebagai penerus kakekku dan menjadi pemenang di antara kedua saudaraku adalah tujuan utamaku hidup. Mungkin aku tak akan keberatan menjadikanmu wanitaku dengan imbalan sebesar itu."
"Cukup, Aaron!" gertak Aarash melepaskan tubuh Liana dari Aaron.
Aaron melepaskannya, masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya pria itu menepukkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Well, kakek hanya mengatakan untuk menjadikanmu istri, kan? Bukan menjadi pilihan hatimu yang sesungguhnya, karena jelas persaingan ini tidak adil jika menggunakan hatimu."
"Aidan memulai sebagai kekasihmu, Aarash sebagai teman dekatmu, dan aku sebagai musuhmu. Akulah yang paling dirugikan. Jadi ... hanya ini senjata yang kumiliki. Trik."
"Dan kelicikanmu," desis Liana tajam.
Aaron tak menyangkal, malah terlihat bangga.
"Siapa pun pemenangnya, tak akan memberikan banyak perbedaan bagimu, kan. Wajah kami kembar. Identik. Jika kau begitu patah hati, apakah aku perlu merubah gaya rambutku? Agar patah hatimu segera tersembuhkan?"
Tangan Liana sudah melayang, kali ini ingin mendaratkan tamparan di wajah Aaron. Namun, Aarash menahannya. Menahan tubuh Liana tetap dalam rangkulannya.
"Kau belum melupakannya?" Suara Aarash diselimuti keseriusan yang begitu dalam. Dengan kedua tatapannya yang menatap lurus tepat pada kedua mata sang adik.
Seringai Aaron membeku, ekspresinya berubah seketika saat melirikkan tatapannya yang dingin ke Aarash. Untuk sejenak keduanya saling melemparkan keseriusan, dan Aaron memutus kontak mata tersebut lebih dulu. Tanpa jawaban dan reaksi apa pun, Aaron mengangkat kakinya dan berjalan pergi.
Tangisan Liana kembali tersedu selepas Aaron pergi. Menenggelamkan wajahnya di dada Aarash dan pria itu hanya mampu menghela napas serta mengusap punggung Liana. "Apa yang akan terjadi padaku dan Aidan, Aarash? Apakah tidak ada jalan lain?"
Aarash tak menjawab. Titah Xander King adalah peraturan dasar dalam keluarga ini. Itu yang terjadi pada papanya –perih Aarash saat satu fakta itu muncul di benaknya-. Ditambah semua ini adalah wasiat dari kakek Liana, yang semakin menutup celah bagi mereka untuk menolak keputusan tersebut. Aarash tak berharap Aidan bisa melupakan Liana. Terutama menerima Liana sebagai istri Aaron. Tetapi ia hanya berharap Aaron bisa memperlakukan Liana dengan lebih baik sebagai istri pria itu.
Liana sedikit menarik tubuhnya dan mengangkat wajahnya ke arah Aarash. Di antara isak tangisnya, wanita itu memohon. "Tolong lakukan sesuatu, Aarash."
Aarash tak menjawab.
Liana memukul-mukul dada Aarash. "Bisakah kau membujuk kakek dan membatalkan semuanya?"
"Maafkan aku, Liana," bisik Aarash penuh penyesalan, lalu memeluk Liana dan membiarkan tangisan wanita itu teredam di dadanya. Hanya ini yang bisa ia berikan pada Liana. Aaron memang harus bertanggung jawab untuk keberengsekan pria itu, sialnya adiknya itu sangat menikmati tanggung jawab tersebut pada Liana.
***
Acara pernikahan tetap berlangsung seperti yang direncanakan walaupun mundur beberapa jam dari yang tertulis di undangan. Xander seolah menghindar untuk bertatapan langsung dengan Liana, membiarkan Aaron mengambil kendali atas diri Liana untuk mempersiapkan semuanya.
Butuh berjam-jam bagi Liana untuk berusan dengan riasan dan model rambut. Hingga Liana siap dengan baju pengantinnya.
Liana duduk di depan meja riasnya, menatap wajahnya yang dipoles make up dan terlihat begitu cantik, meski sorot matanya dipenuhi kekosongan. Sejenak Liana mengagumi hasil kerja sang make up artist tersebut. Yang berhasil menutupi bengkak di kedua matanya dengan sempurna.
Liana tak peduli sekarang sudah jam berapa dan kapan ia akan diseret keluar untuk melakukan pernikahan dengan Aaron. Saat ini yang memenuhi pikirannya adalah Aidan. Memikirkan seberapa banyak kehancuran yang menenggelamkan Aidan saat ini. Bagaimana keadaan pria itu saat ini? Apakah Aidan masih berpikir bahwa ia telah tidur dengan Aaron? Pertanyaan tersebut berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak. Membuat otaknya serasa berkarat.
Bahkan air matanya sudah tak bisa jatuh lagi. Setelah berjam-jam mengalir tiada henti hingga air matanya pun ikut habis.
Suara ketukan pelan dari arah belakang membangunkan Liana dari lamunan patah hatinya. Wanita itu tak bergerak, tetapi bola matanya bergerak melirik ke arah pintu. Dengan kedua tangan yang mengepal di pangkuan, menunggu dengan tegang siapa yang akan masuk dengan kemarahan yang masih membekukan dadanya.
Pintu bergerak terbuka, dan wajah Aarash muncul. Pria itu sudah rapi dan mengenakan setelan tiga pasang yang sama yang seharusnya dipakai oleh Aaron juga. Kepalan tangan Liana melonggar dan Liana langsung bangkit berdiri. Dengan gaunnya yang besar ia sedikit kesusahan untuk menghampiri Aarash.
"Aku merasa seperti menghadiri acara pemakaman," gumam Aarash sementara mengulurkan pelukan untuk Liana.
Liana terisak pelan meski tak ada air matanya yang jatuh, menerima uluran kedua lengan Aarash dan kembali jatuh ke dalam pelukan pria itu. "Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu untuk membantuku? Apa sungguh tidak ada cara lain?"
Aarash menggeleng tanpa daya. "Kau tahu Aaron meletakkan dua pengawal di depan pintu kamarmu. Dan kakek menyetujuinya." Kemudian pria itu mendecakkan lidahnya dengan ekspresi merana Liana. "Aaron memang selicik itu. Itulah sebabnya aku memperingatkanmu tentang makan malam kalian yang berlangsung begitu lancar dan tepat seperti yang kau inginkan. Ia hanya membiarkan kalian lengah, sebelum menyerangmu."
"Aku tak tahu minuman itu minuman beralkohol. Kupikir itu darimu."
"Aku tahu tubuhmu tidak terbiasa dengan alkohol. Kau pikir aku akan melakukan itu padamu di malam menjelang hari pernikahanmu? Memberimu sakit kepala yang sangat di hari paling bahagia untukmu."
Wajah Liana kembali muram dengan kalimat terakhir Aarash. Sekarang hari itu menjadi hari paling menyedihkan untuknya. "B-bagaimana dengan Aidan?"
Aarash mendesah pelan. "D-dia berusaha terlihat baik."
Mata Liana terpejam.
"Sshhh ... kau pasti bisa melakukan semua ini, Liana." Aarash kembali memeluk Liana. "Kita akan memikirkan caranya bersama-sama setelah semua ini terlewati. Sekarang kita hanya perlu membuat pernikahan ini berjalan lancar seperti yang kakek inginkan."
"Aku tak ingin menikah dengannya."
"Aku tahu." Aarash merangkum wajah Liana. "Tidak ada jalan keluar untuk melaksanakan pernikahan ini. Tapi ..." Aarash diam sejenak. "... kita masih punya harapan setelah pernikahan ini terjadi."
Mata Liana mengerjap tak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Kau ingat kata-kata kakek sebelum pergi."
Liana mencoba mengingat, tetapi kepalanya terlalu dipenuhi oleh Aidan dan membuatnya tak bisa mengingat apa pun. Yang ia ingat dari semua kalimat panjang lebar Xander saat itu adalah keputusan dirinya yang harus menikah dengan Aaron. Liana tak mendengar selebihnya.
"Semua ini belum selesai. Aaron masih belum sepenuhnya menang."
"Apa maksudmu, Aarash?" Kening Liana berkerut, mencoba mencerna lebih banyak penjelasan Aarash.
"Kakek punya hak untuk membatalkan semuanya jika Aaron terbukti tidak bisa bertanggung jawab kepadamu."
Kedua mata Liana melebar, seketika harapan membentang dalam tatapan Liana. Aarash benar. Ia masih punya harapan. Ia dan Aidan masih memiliki harapan untuk bersama.
***
Udah tamat di Fizzo ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro