Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-3-

"Mas lebih milih ke cafe itu buat ketemu Saras, kemudian pulang ke rumah seolah-olah hal itu nggak pernah terjadi. Lalu berbohong sama kami kalo mas pulang jam empat sore. Aku bahkan nggak tahu harus jawab apa, saat Kai tanya kenapa ayahnya ngelus perut wanita lain dan bukan bundanya."

Tari menghembuskan napas lelah, melihat Pandu tak ada keinginan untuk menjawab pertanyaannya perihal siapa Saras.

"Kamu bahkan nunjukin binar cinta yang sama sekali nggak pernah kamu kasih liat ke aku, Mas. Lalu kamu anggap aku apa selama ini?" Lirih Btari yang kembali mengubur dirinya di bawah selimut.

Setegar-tegarnya Tari, ia juga seorang wanita dengan perasaan yang lembut. Tak urung ingatan akan kejadian di cafe waktu itu semakin membuat Tari sakit hati juga menyesakkan.

Ia tak perlu lagi menyembunyikan sakit hatinya dengan berpura-pura tersenyum, tanpa menutupi jika saat ini ia tengah menangis.

Penyataan lirih Tari jelas terdengar di telinga Pandu, seketika itu pula wajah dan hatinya pias. Dadanya jelas tertohok mendengar penjelasan Tari, apalagi mengetahui anaknya melontarkan pertanyaan yang sama.

Lalu hari ini, ia bahkan lupa jika sudah mempunyai janji dengan putrinya. Padahal dia sendiri yang menjanjikan hal itu jauh-jauh hari.

Demi Tuhan! Ia tak kan pernah sanggup melihat Kai memberikan tatapan kecewanya. Mengusap kasar wajahnya, Pandu lebih memilih keluar kamar menuju dapur.

Ia perlu cafein, padahal seharusnya ia  tidur karena besok pagi harus ada di kantor untuk meeting perencanaan pembangunan gedung sekolahan baru. Sesuai dengan janji temu yang sudah mereka buat.

Menjambak rambutnya, Pandu berusaha mengalihkan perasaan bersalah yang bercokol di dalam hatinya.

Menatap kepulan asap dari kopi hitam yang telah ia seduh, pikirannya kembali menerawang jauh.

Pandu muda bukanlah anak orang kaya, yang apa-apa bisa ia dapatkan dengan muda. Termasuk pendidikan hingga ketingkat kuliah, ia harus belajar giat untuk memperoleh beasiswa di universitas negeri di Jakarta.

Pandu hanyalah pemuda desa. Ia benar-benar buta seperti apa Ibukota. Semua serba abu-abu termasuk hidupnya dengan biaya pas-pasan. Hingga suatu hari Pandu sepulang kerja paruh waktunya, dikeroyok oleh segerombolan pemuda yang ternyata teman sekampusnya. Hanya karena pemimpin kelompok itu tak menyukai keberadaan Pandu, yang ternyata menyita perhatian gebetannya.

Saat itu lah ada Cakra yang datang menolongnya. Malaikat penolongnya itu ternyata juga seorang maba, sama sepertinya. Melihat kondisi Pandu yang saat itu cukup mengenaskan, membuat kedua orang tua Cakra merasa kasihan juga tak tega jika Pandu akan mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya.

Maka sesuai kesepakatan, orang tua Cakra menyuruh Pandu untuk tinggal di rumahnya. Terlampau banyak hutang budi Pandu terhadap Cakra dan keluarganya, bahkan ia dianggap seperti putra kedua keluarga Ario Tedjo.

Mereka hanya meminta dirinya memberi les private kepada putri bungsunya yang tak lain adalah Btari Ario Tedjo.

Menghembuskan napasnya, Pandu mulai menandaskan kopi yang sudah mendingin kemudian menaruh ke dalam wastafel cucian piring.

Sepertinya ia harus lembur.

🌱🌱🌱🌱🌱

Suasana pagi hari yang biasanya ceria, menjadi hening tanpa ada obrolan dan celotehan Kailani.

Pandu jelas kehilangan satu kebiasaan yang ia dapati ketika matahari menyapa bumi, jika biasanya Kai akan bermanja-manja padanya juga mencari perhatian agar fokus Pandu teralihkan dari tabletnya barang sebentar saja.

Tak ubahnya seperti Kailani, Tari pun sama melakukan mogok bicara walau istrinya tersebut masih tetap melayani kebutuhannya.

Ia memang menyukai ketenangan, tapi bukan keheningan macam ini yang diinginkannya.

"Hari ini Kai minta jemput Dita, Bun. Jadi ayah nggak usah nganter." Pandu dan Kai sama-sama saling lirik, membuat Tari jadi bingung sendiri.

Anak sama bapak, sama-sama berego tinggi. Satunya nggak mau nyapa duluan, satunya lagi seperti nggak ada rasa bersalahnya.

"Biasanya juga ayah antar," tanya Pandu sembari menyuapkan sesendok penuh sarapannya.

"Lagi nggak mau aja."

Saat itu juga bunyi klakson membuat Kai beranjak dari duduknya, menyalami Tari lalu berpindah pada Pandu.

Tari membereskan piring kotor milik Kai dan dirinya. Menyelesaikan sisa sarapannya, Pandu membawa piring kotornya dan menaruhnya di wastafel tempat Tari sedang mencuci piringnya.

"Ri ... mas perlu ngomong sama kamu."

Meletakkan piring terakhir yang ia cuci, Tari mengeringkan tangannya dan berbalik menghadap Pandu yang menatapnya intens. Bukan ini yang Tari mau. Sebagai wanita terlebih seorang istri, ia juga ingin mendapatkan tatapan penuh cinta dari suaminya. Lelaki yang memilikinya jiwa raga.

Memutus kontak mata mereka, Tari mengambil langkah panjang kemudian menyeduh dua gelas teh. Sudah menjadi kebiasaannya sesudah sarapan Tari akan menyeduh teh jenis camomile.

"Maaf untuk yang kemarin dan kemarinnya lagi," ucap Pandu memulai pembicaraan. Sedangkan istrinya itu hanya melirik singkat, kemudian meminum pelan teh miliknya.

"Aku nggak selingkuh, Ri. Saras itu ... dia keponakan paklek Budi. Ia dan suaminya merantau kesini, tapi ... enam bulan yang lalu meninggal karena kecelakaan."

Tari jelas mengernyit kebingungan. Keponakan paklek Budi? Baiklah, kali ini ia akan mengais sisa ingatannya setahun lalu. Terakhir kali ia diboyong ke Jogja karena memang kegiatan rutin mereka setelah menikah selama Hati Raya Idul Fitri.

"Aku nggak kenal sama dia!" Tegas Tari. Benar adanya hal itu, ia sama sekali tak menggenal siapa Saras. Karena setahu Tari, Wanita yang berstatus keponakannya Paklek Budi tak pernah menampakan diri ketika mereka pulang kampung.

Pandu sendiri mengamini ucapan Tari, memang Saras tak pernah muncul atau lebih tepatnya tak pernah mau bertemu dengannya.

"Intinya. Mas nggak pernah selingkuh, Ri. Mas meghormatimu juga pernikahan kita. Apalagi adanya Kai, mana mungkin mas melalukan hal itu."

Haruskah Tari terenyuh? Karena air matanya tak bisa ia ajak berkompromi, begitu mendengar penjelasan singkat Pandu.

Pandu meraup tubuh Tari yang sedikit bergetar. "Maaf, mas nggak jujur sama kamu soal Saras. Mas sayang sama kalian." Dan maaf karena sampe saat ini aku belum bisa mencintaimu sepenuh hati.

Kecupan dalam yang mendarat di keningnya, membuat Tari semakin terisak dalam pelukan suaminya. Bagaimana ia menjelaskan pada Pandu bahwa ia ingin lebih dari sekedar sayang dan saling menghormati.

Yang aku mau cintamu, Mas.

Ia tak peduli dikatai serakah, apa salahnya jika ia menginginkan cinta suaminya sendiri. Biarlah ia menjadi salah satu makhluk yang serakah, karena menginginkan lebih dari apa yang sudah ia miliki sekarang. Termasuk hati Pandu Putra Samudera.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sori for typo.

Semoga kalian suka.

Maaf 🙏🙏 belom bisa balesin komen. Ini author lagi kejar tayang buat edit Mantan Suami, biar bisa cepet diserahin. Hehehehehe .... doakan saja, kalo nggak ada halangan, bakalan open PO.

Karena manusia bisamya berusaha, yg menentukan tetep yang di atas. Hehehehehe ... karena bisa saja apa yg saya rancang bisa meleset jauh dr perkiraan.

Ketjup basah
Surabaya, 22 Oktober 2019
-Dean Akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro