Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

~CHAPTER 6: CEPAT ATAU LAMBAT

Nayra terengah berhenti di perempatan dekat rumahnya. Ia menengok ke belakang memastikan sesuatu yang mengejar semakin jauh. Rumah gadis itu sudah terlihat dekat. Senyum mengembang di wajahnya. Ia pun berlari. Namun, entah bagaimana dirinya tidak kunjung sampai.

Rumah satu atap dengan cat putih dan lantai hijau itu semakin mengecil. Laju lari Nayra pun semakin berat bersamaan dengan napasnya. "Kenapa jauh sekali?!" serunya.

Ia pun berhenti karena tidak kuat menggerakkan tubuh. Tak disadari seekor ular sudah berada di samping dan bersiap menerkam kaki Nayra yang sedang diluruskan. Seketika gadis itu membuka mata, ia masih terbaring.

Keringat mengucur melewati dahinya. Setelah beberapa saat, gadis itu tersadar bahwa tadi hanya mimpi. Ia pun duduk dan menarik napas panjang.

Samar terdengar suara percakapan ayah dan ibunya di luar kamar. Nayra keluar sambil memasang jepit rambut. Ibu menyadari anak sulungnya sudah muncul.

"Nay," panggil Ibu dengan melambaikan tangan menandakan memintanya mendekat.

"Kenapa, Bu?" tanya Nayra yang masih mengucek mata.

Senyum ibu mengembang tipis. "Kapan, nih, kita ke rumah Irhaz?"

Mata gadis itu menyipit. Ia juga menggaruk kepalanya karena bingung. "Maksud Ibu dan Bapak-?"

Belum selesai dengan kalimatnya, Ayah menimpali, "Iya. Kan kemarin si Irhaz sudah ke sini. Gantian kita yang ke sana."

"Mau ngapain?" Nayra masih belum mengerti.

"Kan, kalau di budaya kita, cewek yang ke sana duluan," jawab Ayah.

Seketika gadis berambut gelombang itu melotot. "Mau lamaran?" tanya Nayra kaget.

Ibu dan Ayah mengangguk cepat. Nayra masih terdiam tak percaya. Ia memandang orang tuanya bergantian.

"Sebentar, aku mau cuci muka dulu," ucap gadis itu sambil berlalu.

Dalam langkahnya ke kamar mandi masih mengandung tanda tanya. Ia belum mengerti maksud dari orang tuanya. "Kenapa jadi secepat ini?" batinnya.

Keluar dari kamar mandi, ia mendapati sang ibu sedang memotong sayuran. Gadis itu duduk tepat di samping.

"Bu, apa nggak terlalu cepat?" tanya Nayra pelan.

Tanpa memandang anak sulungnya, ia berkata, "Dia, kan, sudah ada niat serius, toh. Ya, kita gantian yang ke sana."

"Tapi, kita baru kenal, Bu. Baru 2 minggu. Masa sudah lamaran." Nayra membalas.

Ibu mendesah. "Terus mau kapan?" Kini pandangannya tepat di mata sang putri sulung.

"Kasih waktu sebulan lagi, ya, Bu. Kita baru kenal. Aku masih takut." Tanpa sadar air mata gadis itu mengalir.

"Takut kenapa, sih? Kita kelamaan kalau nunggu-nunggu." Nada Ibu meninggi.

"Tapi, Bu-"

"Ya, udah kalau memang nggak mau. Kamu urus sendiri sana," ucap Ibu sambil menuju kompor.

Dada gadis itu kian sesak mendengar kalimat terakhir Ibunya. Tak disangka hal ini membuat dilema. Semua serba terlalu cepat dan ia belum siap menerima.

Setelah termenung cukup lama, Nayra bisa menjawab, "Baiklah, terserah Ibu dan Ayah." Gadis itu bergegas menuju kamar.

Wajah gadis itu memerah dan air matanya tak berhenti mengalir. Ia mengambil napas panjang berkali-kali untuk menghilangkan rasa campur aduknya. Tidak lama, terdengar suara mobil terparkir di depan rumah.

Ibu, ayah, dan adik Nayra menyambut saudara yang datang. Gadis itu berusaha memoles wajah untuk menutupi sembabnya. Mereka sudah berkumpul di ruang keluarga.

Ibu dengan semangat menceritakan kejadian saat Irhaz berada di rumah. Bahkan rencana untuk pertemuan keluarga pun dirancang. Nayra hanya terdiam dan menunduk.

"Kita bertemu baru dua kali, loh, Bu. Aku juga belum tahu keluarga dia bagaimana. Buru-buru banget, sih," ucap Nayra kesal.

Tatapan Ibu menajam pada anak sulungnya. "Masih, aja, ya."

Nayra mengabaikan. Tidak ingin membuat suasana memburuk, kakak ipar dari Ayah berusaha menengahi.

"Sudahlah, Kalian berdua benar. Nayra juga harus tahu dulu sebelum kita bagaimana keluarga cowok itu. Kita nggak bisa tiba-tiba datang tanpa sepengetahuannya. Nggak sopan," jelas Bude. "Tapi, kita nggak boleh terlalu lama juga, Nay. Wong, dia berani datang dan bilang mau serius. Semakin lama, nanti malah nggak jadi," lanjutnya.

Gadis berambut gelombang itu duduk tegak. "Baiklah. Sabtu besok aku ke sana dulu sama Mbak Danira," ucapnya tegas.

Mereka lega sudah menemukan jalan tengah yang tepat. Ibu dan Nayra tidak lagi beradu mulut. Tinggal menunggu aba-aba selanjutnya setelah Nayra datang ke rumah Irhaz.

🌸🌸🌸

Cowok 26 tahun itu memandang ruang tamu rumahnya dari pintu masuk. Lantai coklat itu mengkilat setelah disapu. Napas Irhaz terengah, kaos putih polos yang dikenakan juga basah karena karingat, padahal masih pagi.

Ponsel yang sejak bangun tidur diabaikan pun akhirnya diperiksa. Benar, seseorang yang akan menjadi tamu sudah memberi kabar untuk berangkat sekian menit yang lalu. Ia pun berlari untuk membersihkan badan.

Belum juga dia siap, suara dua motor berhenti tepat di halaman rumah yang tertutupi rumput. Irhaz mengintip dari jendela. Seketika ia memberi isyarat pada Papanya untuk menyambut. Cowok itu masih berlarian mengambil kaus dan merapikan diri di kamar.

Nayra, Danira dan balitanya duduk di ruang tamu depan. Mereka masih terdiam, papa Irhaz pun langsung ke belakang setelah mempersilakan masuk. Untunglah tidak menunggu lama. Tuan rumah muda muncul dengan kaus putih polos dan celana krem.

"Selamat datang," ucap Irhaz dengan suara lembut dan dilanjutkan jabat tangan.

Tidak ada masa hening jika Danira ada di sana. Ibu muda itu mengeluarkan basa-basinya hingga yang memiliki tujuan utama tidak ada celah untuk bicara. Bahkan tuan rumah hanya tersenyum mendengarnya.

Danira pun tersadar hanya dia yang bicara. "Kok, kalian diam aja," ucapnya dengan riang.

Sahabat yang dari tadi memangku anaknya mendekat ke telinga Danira, "Eonni kebanyakan omongnya," bisiknya.

Ibu muda itu seketika menutup mulut. Hal itu membuat Irhaz tertawa kecil. Ada celah, tuan rumah pun angkat bicara.

"Jadi, beginilah rumah saya. Bukan rumah yang mewah," ucap Irhaz dengan tawa canggung.

Nayra tersenyum kecil. Mata bulat gadis itu menyapu ruang tamu dari lantai hingga langit-langit. "Tapi, bersih dan adem," ucapnya.

Danira menyenggol bahu sang sahabat. "Bau-bau betah tinggal di sini," candanya.

Nayra menatap Danira tajam. Pipi tembamnya juga perlahan memerah.

"Sebenarnya nanti kalau sudah menikah, saya harap Mbak- Eh, Dik Nayra bisa tinggal di sini-"

Ucapan Irhaz terpotong karena tawa kecil.

"Iya, Nay. Kemarin sudah tahu, kan? Kalau Irhaz ini anak tunggal." Danira menimpali.

Gadis itu hanya bisa menjawab dengan senyum. Walau di kepalanya ramai akan kebingungan. Rumah tangga mandiri akan selamanya menjadi impian bagi dia.

Tidak lama seorang wanita paruh baya memasuki ruang tamu. Tidak lain itu mama Irhaz yang baru datang. Danira berjabat tangan dengan tante jauhnya, diikuti Nayra sungkem.

Mama Irhaz duduk tepat di samping anaknya. Ia memperkenalkan diri, dilanjutkan menanyai Nayra pertanyaan umum untuk perkenalan. Gadis itu hanya menjawab sesuai kebutuhan. Tangannya seperti diikat, terpangku di paha.

Perbincangan mereka berlangsung cukup lama. Kadang gelak tawa juga terdengar, menandakan hangatnya suasana.

"Nak Nayra," panggil Mama. Pemilik nama yang awalnya menunduk pun seketika menoleh. "Bagaimana bisa kamu langsung menerima Irhaz? Anak saya ini kalau diperhatikan juga nggak tampan, harta juga nggak punya," lanjutnya.

Gadis itu hanya tertawa kecil menanggapi. "Ya, saya tidak melihat dari apa-apanya, Bu. Saya juga begini adanya," jelas gadis itu sambil menatap Irhaz.

Danira yang melihat pun ikut tersenyum.

Waktu makan siang pun tiba. Irhaz mempersilakan untuk ke ruang makan. Danira, anaknya, dan Nayra mengikuti arahan. Ibu muda itu mendekat ke sahabatnya.

"Ingat pesan ibu kamu, kan?" bisik Danira.

Gadis yang lebih tinggi dari Danira itu mengangguk. Rasa malu masih menyelimuti. Nayra tidak bisa leluasa dalam bicara, terlebih ada mama dan papa Irhaz di situ. Ia baru mengambil setelah semua menghadap makanan masing-masing.

Untuk pertama kalinya kursi di meja makan terisi penuh. Mama Irhaz menyukai keramaian ini. Canda tawa juga menghiasi makan siang mereka. Kini sejoli yang baru 3 kali bertemu itu sesekali curi pandang.

Waktu sudah menunjukkan hari sudah sore. Saatnya Nayra dan pasukannya pulang. Hampir lupa, gadis itu menyampaikan pesan dari orang tuanya untuk silaturahmi di rumah ini.

Mama dan Papa Irhaz tersenyum lebar mendengar hal itu. Hari pun ditentukan dalam waktu dekat. Percaya tidak percaya, yang terlihat lambat akan berjalan cepat.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro