~CHAPTER 20: FITTING
Selesai sudah masa kuliah Nayra di semester pertamanya. Lega, salah satu kewajiban selesai. Kini, ia pulang ke rumah untuk mempersiapkan acara yang tinggal 3 minggu lagi.
Keadaan rumah Nayra pun sedikit berubah. Sebagian tetangga sudah datang untuk mencicil kebutuhan pernikahan. Mulai dari menggoreng jajanan kering, hingga membungkus sovenir milik calon pengantin.
Map kertas merah berisi berkas persyaratan ke KUA sudah siap di meja kamar. Tak lupa foto latar biru dari Nayra dan Irhaz. Hari ini sejoli itu berencana untuk mengantarkan.
Gadis itu tinggal menunggu tumangannya sambil membantu membungkus sovenir. Tidak mungkin mereka hanya berdiam. Tentu ada perbincangan atau sekedar basa-basi. Suasana yang tak akan terulang dua kali.
"Dari kapan pulang, Nay?" ujar tetangga yang berumur tiga tahun lebih tua darinya.
"Baru dua hari di rumah, Mbak," jawabnya singkat sambil mengulas senyum.
"Mepet banget pulangnya?"
Embusan napas calon pengantin itu sedikit berat. "Nggak mepet, kok, Mbak. Ini masih bisa urus ini-itu."
Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Nayra menengok. Benar saja, itu tunangannya.
"Saya tinggal dulu, ya, Mbak," ucap Nayra sambil mencangklong tas selempangnya, kemudian menemui Irhaz.
Kebiasaan kedua sejoli itu adalah jabat tangan. Cukup lama mereka tidak bertemu. Terakhir kali saat foto untuk berkas.
"Di mana Bapak dan Ibu?" tanya Irhaz.
"Ada, kok. Di belakang," jawab gadis itu sambil mengarah ke bagian belakang rumah.
Senyum di antara mereka tidak luntur. Meski sekadar senyum sipu satu sama lain.
Nayra mengantar tunangannya ke bagian belakang rumah untuk bertemu Ibunya. Ternyata sudah terkumpul beberapa ibu-ibu yang sedang menggoreng jajanan kering. Begitu sejoli itu terlihat, sontak perhatian tertuju pada mereka.
"Eh, calon pengantin lagi nengokin," seru salah satu ibu-ibu itu. Diikuti sorakan dari yang lain.
Sedangkan ibu Nayra menghampiri anak dan calon menantunya. Jujur, itu sedikit memalukan bagi gadis itu karena menjadi pusat perhatian.
Irhaz hanya menggubris dengan senyuman. Kemudian, ia sungkem pada calon mertua.
"Bu, saya izin mengajak Nayra," ucap Irhaz.
Walaupun Ibu sudah tahu tujuan mereka, tetap saja Irhaz meminta izin. Hal itu disambut baik. Izin pun didapatkan.
Sejoli itu berangkat. Lagi-lagi mereka terdiam di awal perjalanan. Gadis itu memandang punggung tunangannya, lalu ke arah tangan yang diletakkan di tengah. Boleh tidak, ya, aku pegang pinggangnya? tanya Nayra dalam hati.
Tak sengaja Irhaz melewatkan motornya ke lubang jalan. Sontak Nayra terdorong ke depan hingga kedua tangannya memegang pinggang sang tunangan. Sadar itu tidak benar, ia langsung menarik kembali.
Irhaz beberapa kali melirik ke spion dan jalan di depan. "Dik Nayra tidak apa-apa?" tanya lelaki itu dengan bahasa yang masih formal.
"Nggak apa-apa, kok, Mas," ucap Nayra walaupun ia meringis merasakan sakit di pinggangnya. Sungguh canggung jika ia mengeluh. Lebih baik ditahan, nanti juga hilang sakitnya.
Sampailah mereka di KUA untuk mengumpulkan berkas. Setelah diperiksa, akhirnya berkas yang mereka bawa lolos. Tinggal menunggu informasi selanjutnya untuk gladi bersih seminggu sebelum acara pernikahan. Lega, salah satu tanggungan terselesaikan lagi.
"Setelah ini kita kemana?" Tanya Irhaz.
"Fitting busana." Nayra menjawab dengan lugas.
Tak perlu berpikir panjang. Lelaki itu menyiapkan motornya. Mereka kembali terjebak dalam perjalanan. Namun, kali ini Irhaz bisa membuka pembicaraan.
"Di rumah sudah banyak orang, ya, Dik?" tanyanya untuk sekadar basa-basi.
Gadis itu mendekatkan diri untuk mempermudah pendengarannya. "Iya, Mas. Kan, memang acara kita sebentar lagi," jawab Nayra yang kini lebih santai.
Perbincangan mereka berlanjut hingga sampai di salon tempat mereka fitting. Tak terasa, padahal jaraknya cukup memakan waktu hampir setengah jam. Salon pilihan orang tua Nayra tidaklah besar. Namun, memiliki beberapa koleksi yang bisa dijadikan pilihan.
Mata Nayra menyapu sampai sudut ruang salon itu seketika dipersilakan masuk. Biarpun begitu, mereka tetap mengikuti arahan untuk duduk. Sejumlah album hasil rias dan busana juga disiapkan.
Sejoli itu melihat-lihat. Busana yang bisa mereka pilih antara lain busana akad, temu, dan gaun serepsi. Belum ada kata yang keluar sebelum semua album selesai diperiksa.
Pemilik salon hanya memandang gemas sejoli itu. Bagaimana bisa mereka diam-diaman saja, batinnya. Selesai, semua dokumentasi sudah dilihat. Sontak tiba-tiba pemilik salon teringat sesuatu.
"Oh, iya, Mbak. Ada kebaya akad baru yang baru datang. Mbak Nayra mau lihat?"
Nayra dan Irhaz saling berpandangan. Lelaki itu berkedip pada tunangannya membolehkan.
"Boleh, Mbak," jawab Nayra.
Sebuah kebaya panjang dengan banyak manik mutiara yang memenuhi itu di bawa keluar. Nayra berminat. Ia pun menghampiri, kemudian mencoba di salah satu bilik.
Memang dalam penyesuaian busana, calon pengantin lekaki tidak terlalu repot. Terlebih badan kecil Irhaz yang sesuai dengan segala ukuran. Tidak mungkin pakaian pengantinnya terlalu kecil.
Setelah sekian menit, gadis itu keluar dengan balutan kebaya tadi. Dilengkapi kain jarik untuk menambah kesan tradisional. Penampilan baru dari seorang Nayra yang biasanya berpakaian kasual. Tak sadar, mata calon pengantin pria itu terpaku.
"Jangan kaget dulu, Mas. Ini belum makeup-nya," goda pemilik salon.
Seketika Irhaz tersadar dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Nayra hanya tertawa kecil dan sedikit menahan malu dengan penampilan barunya.
"Kalau pengantin prianya pakai jas apa bisa, ya, Mbak?" tanya Irhaz sambil melihat tunangannya yang bercermin.
Pemilik salon itu terdiam sejenak sambil mengamati Nayra. "Bisa, kok. Tapi, bawahannya bukan jarik, ya?"
Nayra berbalik badan ke arah Irhaz dan pemilik salon.
"Bagaimana, Dik?" Pendapat Nayra tidak boleh ketinggalan.
"Nayra ikut gimana baiknya, Mas. Kalau Mas Irhaz mau pakai setelan, nggak apa-apa. Bagus juga." Nayra menjawab dengan lemah lembut.
Tak perlu perdebatan panjang. Busana akad mereka sudah dipastikan. Untuk busana temu, ada tiga jenis kebaya yang terpajang. Semua bertema hitam-emas, hanya modelnya saja yang berbeda.
Mata gadis itu tertuju pada kebaya dengan bagian bawah melebar. Ia menghindari tipe rok duyung. Gadis itu mencoba lagi. Pas, sesuai dengan yang ia inginkan.
"Nggak mau coba yang satunya, Mbak Nay?" tawar pemilik salon.
Gadis itu terdiam sambil memandang dirinya di cermin. Rasa-rasanya sudah cukup. Namun, tidak afdol jika tidak bertanya pada calon suami. Walaupun tahu Irhaz tidak pernah tidak setuju. Benar saja, jari jempol diacungkan lelaki itu.
Tibalah saat pemilihan gaun terakhir. Warna merah jambu yang tidak terlalu terang mencuri perhatian Nayra. Langsung saja ia mencoba. Walaupun badan Nayra cukup berisi, untunglah gaun dan kebaya itu masih cukup dibadannya.
Gadis berpipi tembam itu asik menikmati penampilan barunya di cermin. Tipis tersurat senyuman yang tidak kentara. Irhaz sama sekali tidak menentang pilihan calon istrinya.
Diam-diam lelaki itu mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto. Bukan foto Nayra saat memakai gaun, melainkan foto sebagian gaunnya saja. Ia mengunggah dalam media sosialnya. Tentu untuk mengumumkan bahwa pernikahan mereka semakin dekat.
Selesai dengan pemilihan gaun. Kini, pemastian jadwal dan tempat lagi. Setelah semua sesuai, Irhaz dan Nayra pun kembali ke rumah. Setiap pertemuan mereka bukanlah tanpa tujuan atau sekadar jalan-jalan seperti sejoli pra pernikahan pada umumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro