~CHAPTER 1: END AND START POINT
Mata Nayra tak berhenti memandang mata lawan bicara sambil sesekali menyantap dimsum dihadapannya. Sesekali ia tertawa mendengar cerita dari Alvin, cowok yang hampir satu tahun tidak ia temui. Angin di Kota Batu sore itu mendukung pertemuan mereka. Satu cerita dari Alvin sudah selesai, hening pun menerpa. Kini raut wajah gadis itu datar, napas berat terembus.
"Kak, ada yang ingin aku tanyakan," ucap Nayra. Ia melipat tangan di meja dan memajukan badannya.
Alvin berhenti meneguk es kopi mendengar ucapan gadis itu. Ia menepikan minumannya dan bersiap mendengar.
"Maksud pesan Kak Alvin tempo hari apa?" lanjut Nayra.
Hening kembali menyelimuti. Cowok itu terdiam. Ia bersandar dan memalingkan pandangan ke arah pegunungan yang terselimuti kabut tipis. Nayra menunggu, gadis itu tidak melepaskan tatapannya. Alvin kembali pada posisi.
"Nggak apa-apa, aku cuma penasaran aja," jawabnya singkat.
Dahi Nayra berkerut. "Maksud kamu?"
"Ya, aku ngirim pesan itu karena penasaran aja. Kalau udah ada cowok lain yang deketin kamu, ya udah. Kalau belum, ya udah juga. Nggak ada yang spesial, kok."
Napas gadis itu semakin berat, ingin rasanya berteriak. Namun, ia masih memikirkan posisi memalukan jika hal itu dilakukan. Nayra memejamkan mata sejenak.
"Wah ... Enteng banget mulut Kakak ngomong begitu. Sudah dua tahun hubungan kita tergantung begini. Kakak nggak ada niat serius ke aku?"
"Aku nggak meminta kamu buat nunggu, kan? Itu mau kamu sendiri. Dari awal sudah aku peringatkan, kalau aku nggak ada niat buat ke jenjang itu," balas Alvin.
Nayra tertawa kecil sambil mengibaskan rambut gelombangnya. "Bodoh sekali aku menganggap pesan dari Kak Alvin sebagai harapan. Bahkan ayah dan ibuku berniat untuk ke rumah Kakak. Baik, aku kira kesempatan yang ku kasih ke Kakak sudah habis. Terima kasih 2 tahunnya."
Nayra merapikan barang bawaannya dan berdiri. Saat kakinya ingin melangkah, Alvin memegang lengan gadis berkacamata itu. Tidak lama, cengkraman cowok itu terlepas. Gadis itu melanjutkan langkahnya.
🌹🌹🌹
"Jadi, hubunganmu sama Alvin udah selesai?" tanya wanita dewasa yang menjadi sahabat Nayra sejak masih SMA.
Nayra menyibakkan rambut terurainya. "Dari awal emang nggak ada hubungan, sih. Aku aja yang ke-gr-an," jawabnya sambil tertawa.
Danira menatap prihatin sahabatnya. "Tawa lu pahit, Nay. Tapi, gak apa-apa. Aku dukung keputusan kamu."
Nayra mengangkat bahunya, kemudian memainkan ponsel. Danira terdiam melihat sahabat yang berumur 1 dekade lebih muda darinya. Ibu muda itu sudah mengetahui perjalanan cinta Nayra sejak awal dengan Alvin. Ia sudah mengira akhir kisah mereka.
Gadis kecil yang sejak tadi asik bermain kertas, tiba-tiba berhenti dan merangkul ibu yang di sampingnya. Danira membalas rangkulan sang putri.
"Nay, kamar mandi rumahmu tetap, kan?" tanya Danira.
"Tetap, lah. Emang mau aku boyong kemana, Eon," jawab gadis itu yang masih memainkan ponsel.
Danira menggendong sang anak. Kemudian, ia meninggalkan Nayra sendiri di ruang tamu rumahnya. Pandangan Nayra tidak lepas dari layar yang menampilkan berbagai dekorasi pernikahan. Beberapa dari tampilan itu pun ditandai sebagai rujukan. Jarinya berhenti menggulung layar, "ngapain aku buka ginian?" desahnya.
"Nay," panggil Danira yang sudah kembali dari kamar mandi dengan putri kecilnya. Pemilik nama itu menoleh.
"Mau dikenalin cowok, nggak?" tanya Danira. Nayra terpaku dengan pertanyaan itu.
Ibu muda itu duduk di samping Nayra dan mendekatkan wajahnya. Gadis itu tersentak.
"Malah ngelamun? Mau, nggak?" tegas Danira.
Gadis berkacamata itu meletakkan ponselnya. "Baru juga patah hati. Emangnya bisa ngelupain Alvin yang udah 2 tahun ini ngisi hari-hari gue? Kasihan ntar kalo cuma dijadikan pelarian."
Danira mengangguk. "Benar juga. Tapi, Nay, jodoh itu bagaikan melempar dadu. Memang kita yang melempar dan berharap dapat apa, tapi kita tidak tahu hasilnya. Mungkin sekarang dadu kamu masih bergulir di langit," ucapnya.
Sudah setengah hari ibu muda itu berada di rumah sahabat lamanya. Ia bersiap untuk pulang, termasuk mendandani sang anak. Lambaian tangan menandakan perpisahan sementara. Danira pun pulang. Saatnya Nayra merebahkan diri di ruang privasinya.
Tidak lama, Nayra mendengar suara pintu utama terbuka. Ia menyambut ibu yang membawa lauk untuk makan malam. Namun, benda lain diserahkan ke gadis itu. Secarik kertas berwarna dengan ornament bunga sampai di tangan. Tertulis nama Nayra di halaman paling depan.
"Itu teman SMA kamu, kan?" ujar Ibu. Anak sulung itu mengangguk sambil membaca undangan pernikahan yang ada di tangannya.
"Kapan kamu nyebar undangan begini?" tanya ibu lagi.
Nayra menyingkirkan undangan itu dari pandangan. "Yah, bu. Baru juga anakmu pulang dari perantauan. Pertanyaannya begitu amat."
"Teman-temanmu yang lain sudah pada nikah, loh. Malah ada yang lebih muda."
"Ya, kan, beda. Lagian aku juga masih mau kuliah lagi. Kali aja nanti bertemu pangeran kampus," canda Nayra.
Ibu mengacak rambut anak sulungnya gemas. "Bisa aja kamu jawab, ya."
"Ayah dan Ibu udah tanya begitu dari sebelum aku lulus sampai aku mau kuliah lagi. Nayra paham keinginan kalian, tapi yang namanya jodoh, kan belum tahu," tegas gadis itu.
"Iya, paham. Ibu cuma nggak mau kamu terlalu lama begini. Apa perlu kami datangan Alvin ke rumahnya?"
"Apa, sih, Bu?!" suara Nayra sedikit meninggi.
"Dari pada nunggu lama. Ini udah bulan Juli, tahun depan umurmu udah seperempat abad, loh."
"Sudahlah, Bu. Aku juga tahu. Sabarlah sebentar, Nayra juga sedang berusaha, nggak ongkang-ongkang kaki saja,"
Ibu dan anak itu saling pandang. Tidak ingin memperpanjang, Nayra pun kembali ke kamar dan menutup pintunya rapat. Mata gadis itu lurus dengan langit-langit kamar. Namun, cabang di otaknya semakin menyebar. Ia menghirup oksigen lebih banyak, dengan sekali embusan besar Nayra memejamkan mata sebelum kembali bernapas normal.
Di tengah tidurnya, samar terdengar percakapan ayah dan ibu dari luar kamar. Jelas percakapan itu mengenai kejadian Nayra dengan sang ibu. "Au, ah, besok juga nikah," batin gadis itu kesal.
Keesokan pagi, Nayra sudah berdandan rapi. Rambut gelombangnya kini terikat. Kaos yang terbalut kemeja membuat sang anak sulung tidak ada kesan anggun.
"Mau kemana?" tanya ibu yang menyiapkan makanan.
"Bayar kos, Bu. Sebelum direbut yang lain. Kaya jodoh," jawab Nayra. Ibu mengerutkan dahi mendengar jawabannya
Gadis itu memakai helm, kemudian melajukan sepeda motor. Ia tidak lagi terpikirkan mengenai Alvin maupun perdebatan dengan ibu kemarin. Ia hanya ingin segera ke kota perantauannya dulu.
Selesai sudah Nayra membayar uang muka kos di Kota Malang. Ia kemudian berkeliling kota kelahirannya, dan berhenti di taman. Ia berdiam di ayunan taman sambil menikmati es teh lemon.
Ponsel gadis itu berdenting. Nama sahabat lamanya tampil di layar.
Danira
Nay, udah berminat kenalan?
Alis Nayra bertaut. Jarinya dengan lincah mengetik balasan.
Baru juga kemarin ditolak,
udah nawarin lagi.
Ya ... Mumpung ada yang mau. Atau mundur?
Gadis itu diam sejenak. Kini ia masih kaku untuk membalas. Belum sempat mengetik, ponsel Nayra kembali berdenting.
Mau nggak? Dia baik. Udah kerja juga, nggak neko-neko juga
Jari Nayra masih belum tergerak. Setelah sekian menit, ia pun mengetik balasan.
Oke. Bismillah.
Yakin?
Insyaallah
Danira mengirimkan kontak bernama Irhaz. Gadis berkacamata itu pun membuka profil kontak yang ada di layarnya. Potret resmi seorang lelaki berwajah oval, tirus, berambut lurus, dan memakai jas menjadi tujuan utama. Nayra langsung menelepon sahabatnya.
"Udah kirim foto aja. Mukadimah dulu, gitu," ucap Nayra dalam telepon.
Danira tertawa kecil. "Biar cepet aja gitu. Gimana?"
"So so," jawab Nayra singkat.
"Dia juga sudah aku kirimin foto kamu, kok. Tapi, belum kontaknya. Kalo kamu bilang 'iya', aku kirimin kontakmu."
Nayra kembali terdiam. Pikirannya kembali berkelana.
"Nay? Lu masih di situ, kan?" tanya Danira.
Gadis berambut gelombang itu tersentak. "Masih, kok. Iya, kirimin aja kontakku."
Tidak terasa matahari mulai membakar kulit Nayra. Ia bergegas menuju motornya untuk pulang. Perjalanan Nayra cukup sunyi. Biasanya gadis itu memasang earphone dengan lagu berputar di dalamnya. Kali ini, kesunyian itu membuat pikirannya melayang.
Sampai rumah, ia tidak berniat menyampaikan kabar yang diterima. Nayra tidak ingin membuat anggota keluarga berharap lebih mengenai kisah cintanya. Ia langsung menuju kamar untuk istirahat.
Mata gadis itu terpejam tanpa memeriksa ponselnya lagi. Namun, ketenangan tak berpihak padanya. Kepala Nayra berisik dengan pikiran yang menimpa akhir-akhir ini. "Apa benar aku udah siap nikah?" batinnya. Ia bernapas berat, kemudian menutup wajahnya dengan bantal.
Hai, Nurma Tamtam kembali membawakan cerita kehidupan seorang dewasa baru dan segala tuntutannya.
Semoga suka
~HAPPY READING~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro