PART : 2
“Kak Yas, jadi berangkat ke Meulaya jadi relawan?” tanya Heni saat kami makan malam.
“Mau gimana. Memangnya ada alasan buat aku nyanggah nggak ikut?”
“Iya sih! Akak single, nggak ada tanggungan, riwayat kesehatan juga okay!”
Mataku meliriknya sekilas sambil tangan menyumpal mulut dengan sesuap salad.
“Kamu udah dapat kabar keluargamu belum?” tanyaku.
“Udah kok, Kak. Alhamdulillah mereka selamat.”
“Alhamdulillah ....”
“Dokter Fery dah pulang, Kak?”
“Udah tadi, aku nyampe dia pulang. Kenapa?”
“Oh, nggak papa.” Heni cengengesan sambil menggeleng kecil.
“Fery juga ikut nanti ke seberang. Nama dia juga ada di daftar,” kataku pula.
“Oh, ya?” Mata Heni membulat.
“Dia nggak cerita?”
“Nggak. Diam-diam bae dia. Aku juga nggak ketemu dia pas masuk shif malam hari ini,” tukas Heni. Suaranya terdengar berdengung, mulutnya sedang penuh dengan ramen.
“Ih kalian pergi, aku sepi dong di sini.”
“Heleh, sepi apanya. Anak-anak yang lain juga banyak.”
“Iya, tapi nggak asik diajak ngerumpi kayak kalian. Ha ha ha.”
Bibirku langsung maju mendengar ocehannya.
Petugas IGD memang lumayan ramai. Dokter umum yang jaga sebagai garda depan ada beberapa orang. Diketuai oleh Dokter Spesialis Emergency Medik. Ada juga internis. Belum lagi beberapa perawat.
Ada juga anak-anak koas yang magang. Sebenarnya, ya biasa saja. Namun, Heni entah kenapa lebih sering dekat denganku dan Dokter Fery.
Selesai makan malam, tugasku adalah, mengecek kondisi beberapa pasien. Malam ini pasien IGD tidak terlalu ramai. Setelah itu, aku, Heni dan beberapa teman-teman nakes yang lain sedang duduk sambil berbincang.
“Woy, dr. Felicia nggak datang malam ini. Kak Yas, dia minta kamu yang jaga.” Heni menyela di tengah perbincangan.
“Iya. Barusan aku baca chat pribadi dia. Katanya dia lagi cek keluargaanya yang kena Tsunami,” sambungku kemudian. “Dokter Teddy datang ‘kan?” tanyaku.
Anak-anak di sana pada menggeleng tidak tahu. Dokter Teddy adalah internis di IGD sedangkan dr. Felicia adalah Dokter Spesialis Emergency Medik, sesuai dengan gelar di ujung namanya. Sp.EM.
Tidak lama hujan turun deras. Setelah berbagi tugas kami berbagi waktu jaga. Aku sedang merebahkan badan di sofa sejenak. Saat separuh kesadaranku mulai hilang, tiba-tiba suara seorang perawat datang memanggil.
“Dokter Yasmin! Ada pasien baru IGD!”
Sedikit tersentak, aku membuka mata. Kemudian bangkit dan menuju ruang rawat IGD. Saat hendak melangkah ke sana, dari pintu lobi ada pasien yang sudah berada di emergency strecler sedang dibawa menuju ke sini. Di sisinya, selain nakes, ada beberapa orang mengenakan pakaian hitam dan satu orang lelaki berpakaian biasa.
“Dia korban gempa,” ucap seorang lelaki berpakaian hitam dengan topi hitam juga di kepala. Lelaki ini bahkan basah kuyup. Ada air yang menetes di ujung-ujung rambutnya.
“Dokter bedah. Kami butuh dokter bedah segera.” Lelaki berpakaian biasa yang tadi bersama pasien bersuara. Aku menatap mereka bergantian.
“Baik. Kami cek dulu pasiennya ya, Pak. Segera kita ambil langkah lanjut.” Aku melangkah masuk ke ruang IGD.
“Anda Dokternya?” Lelaki yang berpakaian hitam tadi bertanya padaku. Mulutnya tertutup masker berwarna senada.
“Saya Dokter jaga,” jawabku sambil menoleh seketika tertegun. Wajah lelaki ini, sorot matanya. Kenapa terasa ada sesuatu yang ... berbeda?
“Cepat lakukan sesuatu. Anak itu sudah kehilangan banyak darah,” katanya. Aku tersentak.
“Tentu,” jawabku tegas.
Lelaki berpakaian biasa tadi sudah tidak ada di sana. Ternyata ia sudah menyusul lebih dulu ke dalam. Aku masuk dan mengecek kondisi pasien. Seorang anak kecil berusia kisaran di bawah lima tahun. Ada luka yang sudah terbalut di area perutnya. Anak itu sudah tidak sadarkan diri.
“Ventilator, Dokter. Cepat. Dia sudah tidak kuat!” Lelaki berpakaian biasa tadi bersuara lagi. Kulihat ia juga begitu berantakan.
Para perawat segera mengganti pakaian basah bocah lelaki tadi. Sedang lelaki berpakaian biasa yang kuduga ayah anak ini terus saja memberi intruksi ini dan itu. Apa yang kulakukan seiring dengan apa yang ia katakan. Ada yang aneh. Sepertinya ia banyak tahu tentang medis.
Kulihat luka yang terbalut di perut anak kecil itu. Ada patahan kayu yang menancap di perutnya. Lumayan dalam. Ya Tuhan, kasihannya dia.
“Cepat hubungi Dokter Kevin. Anak ini harus segera dioperasi!”
perintahku pada Desy. Perawat jaga yang tugas malam ini juga.
Ventilator sudah terpasang. Anak itu berada di ICU sekarang.
“Apa Dokter Kevin sudah datang?” tanyaku pada Desy di depan ICU.
“Belum Dok. Dia sudah dalam perjalanan.”
“Baik. Bagaimana kondisinya?”
“Belum stabil. Denyut jantungnya lemah.”
“Kamu sudah bilang ‘kan sama Dokter Kevin operasi harus segera dilakukan?”
“Sudah, Dok.”
Aku keluar dari ruang ICU. Ada ayah anak itu duduk dengan wajah panik di sana.
“Sabar ya, Pak. Dokter yang akan mengoperasi anak bapak sedang dalam perjalanan. Ruang operasi juga sudah disiapkan.”
“Kapan operasi bisa dilakukan?”
“Tinggal menunggu Dokter Kevin saja.”
“Anastesi?” tanyanya memburu.
“Dokter anastesi sudah stanby. Insyaa Allah operasi akan segera dilakukan setelah Dokter Kevin tiba.”
Laki-laki itu mengangguk patuh.
“Banyak berdoa, ya, Pak. Semoga putra Bapak bisa segera selamat melewati masa kritis ini. Siapa namanya?” tanyaku.
Jeda sesaat. Laki-laki itu menatapku lekat seperti memastikan sesuatu.
“Hideo,” ucapnya lemah.
“Hideo. Nama yang bagus.”
“Bapak kelihatan lelah sekali. Baju juga basah kuyup begini. Saya carikan ganti, nanti ganti baju dulu ya, Pak.” .
“Maaf, Dok. Saya jadi merepotkan,” ucapnya sungkan. Aksen bicaranya juga terdengar berbeda. Dari postur tubuh dah wajah, lelaki ini berkebangsaan asing. Namun sepertinya ia paham berbahasa negara ini.
Aku lalu meminta Bona perawat jaga IGD membeli sepasang pakaian untuknya. Bona malah kembali dengan beberapa helai pakaian. Ternyata ia meminta para rekan-rekan perawat lain mau memberi pakaian juga untuk Ayah Hideo.
Dengan cepat mereka membantu sukarela. Aku tersenyum haru melihat itu. Ayah Hideo sudah berganti pakaian saat aku kembali selesai salat subuh di musala. Saat aku sedang berbincang dengannya seorang laki-laki berpakaian hitam yang datang bersama mereka tadi malam datang menghampiri kami.
“Bagaimana kondisi putranya?” tanya pemuda itu datar.
“Masih sama. Operasi akan dilakukan pagi ini. Dokter Kevin baru tiba. Ia sedang bersiap.”
“Syukurlah,” jawab laki-laki itu.
“Mmm ... maaf, kalian bersaudara?” tanyaku pelan.
“Bukan. Pemuda ini yang menolong kami terbang ke sini untuk membawa Hideo mendapatkan pertolongan,” jawab Ayah Hideo pelan.
“Oh.” Aku menoleh lelaki berpakaian hitam itu. Ia sepertinya masih menggunakan baju yang sama. Artinya baju itu masih basah atau kering di badan.
“Anda butuh baju ganti juga? Biar saya carikan,” tawarku ramah.
“Nggak perlu,” jawabnya kaku yang terdengar aneh buatku.
“Kami biasa begini. Bukan hanya aku yang basah kuyup. Anggotaku juga,” ujarnya datar dan terdengar angkuh.
“Pak, Hideo sudah aman di sini. Kami tinggalkan kalian di sini, ya.” Lelaki itu berkata pada Ayah Hideo.
“Baik, Pak. Terima kasih banyak sudah menolong kami. Akhirnya Hideo bisa cepat mendapat penanganan.”
“Sama-sama.”
“Mmm ... saya pamit dulu ke musala, ya. Saya belum salat. ” Ayah Hideo pamit.
“Baik Pak.” Pemuda misterius dengan postur tubuh tinggi tegap itu merunduk saat Ayah Hideo pamit pergi.
Ia pun lalu melangkah pergi juga.
“Bang. Maaf. Apa ... kalian tim SAR tempat asal Hideo dan ayahnya?” tanyaku menghentikan langkah pemuda misterius itu. Dari Heni aku tahu mereka berasal dari pulau kecil bagian timur seberang pulau Simeulue.
“Bukan,” jawabnya datar tanpa menoleh. Posisinya sedang membelakangiku.
“Lalu?” tanyaku lagi sambil menelengkan kepala ke kiri. Pemuda itu terlihat hanya bergeming saja.
“Kapten Yu! Lapor! Perintah sudah dilaksanakan!”
Terdengar suara dari arah depan tempat kami berdiri. Pemuda berpakaian yang sama. Lelaki yang kuajak bicara tadi lalu melangkah tegas tanpa menjawab sama sekali. Misterius dan ... angkuh.
Kapten? Apa mereka ....
♕♕♕
Lagi-lagi sarapan di kantin, sarapan yang agak kesiangan. Biasanya aku sarapan sebelum pukul sembilan. Sengaja aku sarapan dulu sebelum pulang. Supaya sampai di rumah tinggal bersih-bersih dan istirahat.
Pagi ini aku sedikit lebih lama beranjak pulang dari biasanya. Entah kenapa, hati tergerak sekali untuk menunggu sampai operasi Hideo selesai. Operasi sudah dimulai sejak pukul 07.00 tadi. Kulihat arloji. Sekarang sudah pukul 10.00.
Selesai sarapan, aku beranjak kembali ke IGD.
Saat tiba di sana, ada beberapa wartawan yang sedang memburu berita. Mungkin mereka meliput berita tentang kejadian gempa tsunami kemarin khusus kondisi rumah sakit umum Simeulue ini. Tak acuh, aku langsung masuk ke dalam menemui Fery.
“Fer, Dokter Kevin udah keluar?” tanyaku.
“Kurang tau. Lagi ngoperasi tadi 'kan?”
“Hooh. Eh, itu wartawan udah dapat izin?” tanyaku.
Fery hanya mengangkat bahu. “Udah kali. Mana mungkin mereka berani liput kalau nggak izin.”
Benar juga, aku mengangguk-angguk kecil. Langkah kakiku lalu melangkah ke ruang operasi. Sampai di sana, ternyata operasi sudah selesai. Hideo sudah dibawa kembali ke ICU.
Sampai di ICU, kulihat ada pemburu berita tadi, sedang berusaha hendak mewawancarai Ayah Hideo. Mungkin karena mereka salah satu korban gempa tsunami asal pulau terpencil. Dari Ayah Hideo kutahu, kayu yang menancap di perut Hideo tersebab ada pohon tumbang saat mereka hendak berlindung ketika gempa terjadi.
“Hideo sedang dalam gendonganku saat pohon di tepi jalan tumbang. Waktu itu kami sedang berlari untuk berpindah ke halaman yang luas. Tak disangka pohon itu tumbang saat jarak kami tak terlalu jauh darinya. Kami sempat berusaha menghindar. Tapi ternyata ada dahan kecil yang sempat tertancap mengenai perut Hideo yang sedang dalam gendonganku. Ibu dan saudaranya selamat. Aku hanya terluka sedikit. Tapi Hideo yang terluka parah,” urai Ayah Hideo malam itu.
Saat aku bertanya bagaimana kayu itu bisa menancap di perut lelaki kecil berparas mirip dengannya itu.
Ayah Hideo terlihat menolak untuk diwawancara. Lalu pergi menjauh. Namun di sana, para wartawan itu lanjut melaporkan kondisi terkini di sini. Saat bersamaan, di sebelah utara tempatku berdiri, kulihat ada Dokter Kevin berjalan bersama beberapa perawat
“Dokter Kevin!” Kakiku langsung melangkah mendekati dia. Dokter Kevin berhenti lalu menoleh.
“Maaf, Dok. Gimana operasi Hideo?” tanyaku.
“Alhamdulillah berjalan lancar, Dear. Kita lihat perkembangan selanjutnya. Semoga ia bisa lekas pulih. Diagnosamu membantu. Kerja bagus, Girl.” Dokter Kevin tersenyum hangat.
Beliau itu memang begitu. Beberapa tahun lagi usianya menginjak setengah abad. Namun dari segi wajah dan kondisi tubuh yang tampak selalu fit, orang-orang tidak tahu kalau usianya lebih tua dari yang terlihat.
Kami lumayan dekat. Bicara dengan beliau seperti berbicara dengan sosok Ayah. Jangan heran kalau dia suka bicara sambil memanggil ‘Dear', ‘Girl’, 'gadis cantik'. Ia memang begitu. Itu juga yang membuatku merasa nyaman dengannya. Mungkin karena sejak kecil aku selalu merindukan sosok Ayah.
Setelah tahu kabar itu, aku beranjak pulang. Ayah Hideo, sudah tidak terlihat lagi di depan ICU. Mungkin beliau sedang sarapan. Sejak kemarin, banyak para perawat dan dokter yang sukarela memberi bantuan untuk beliau. Karena tahu mereka datang dari pulau kecil timur Simeulue. Harus menyebrang dulu untuk ke sana. Pulau Tapah namanya. Pulau kecil yang jauh lebih kecil dari pulau Simeulue ini.
♕♕♕
Keesokan hari, para nakes yang akan dikirim ke Meulaya bagian Barat Korsear diizinkan tidak masuk kerja. Untuk mempersiapkan diri sebelum keberangkatan. Di rumah, aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan selama bertugas di sana. Toha menelepon saat tahu aku akan jadi relawan gempa ke Meulaya.
“Ncu, serius kau, Ncu?!”
“Iya. Ini udah siap-siap. Besok kami berangkat,” jawabku.
“Alah, dilarang pun kau bukannya bisa. Cemana lah kubilang. Hati-hati lah kau, Ncu, di sana. Jaga kesehatan. Banyak lah pahala kau Ncu. Nolong orang.”
Spontan aku tertawa mendengar ocehan sahabat dekatku ini.
“Ncu, kemarin aku ketemu orang misterius. Aku pikir dia tim SAR. Soalnya dia datang sama beberapa orang pake seragam hitam bawa pasien anak kecil korban gempa dari Pulau Tapah bersama ayahnya.”
“Terus?” tanya Toha meminta kulanjut.
“Bawaannya keren, Ncu. Wkwkw! Pertama kali liat dia kayak gimanaaa ... gitu. Matanya membius. Eh rupanya angkuh banget. Aku tanyain, jawabannya nggak jelas. Misterius! Huh!”
“Ceile ... membius bah! Hahaha. Jadi kau naksir?”
“Naksir?! Ya, nggak lah! Masa secepat itu. Ya ... cuma mau cerita aja. Biar kau tau aku ketemu cogan. Hahaha.”
“Heleh, ketemu cogan pun kau bukannya mau. Udah berapa cogan yang kau jumpai. Dokter Kimmy tu, kurang ganteng apa rupanya? Nggaknya kau mau sama dia.”
“Hahaha. Ganteng aja nggak cukup, Ncu!”
“Terooooss?!”
Aku hanya menjawab dengan tawaan membahana mendengar Toha bertanya begitu.
“Eh, ada untungnya juga aku jadi relawan, Ncu. Jadi nggak tiap hari ketemu Dokter Kimmy. Gerah juga tiap hari ditekan dia. Harus ini, harus itu.”
“Hahaha. Aku khawatir sama kamu, Yasmin,” kata Toha seolah dia itu Dokter Kimmy.
“Ish, udah deh. Nggak usah cerita dia.”
Seputar kisah perjalanan selama di sini, aku memang sering bercerita pada Toha. Lewat panggilan telepon, atau lewat chat. Toha banyak tahu tentang apa saja yang aku jalani. Begitu juga dia banyak cerita tentang kisah dia bersama Khayyisa.
Keesokan harinya, kami berkumpul kembali di rumah sakit sebelum dilepas pergi. Ada sepuluh orang yang ditugaskan untuk pergi. Empat dokter dan enam perawat.
Di antaranya aku, Fery, Bona dan Desy.
Setelah acara pelepasan selesai, Heni memelukku sambil mengucapkan hati-hati dan bilang akan merindukan kami. Dasar Heni. Aku tertawa melihat wajah cemberutnya saat dia menangis karena kepergian relawan hari ini.
Saat hendak naik ke bus, tiba-tiba Dokter Kimmy datang. Ada tas ransel di tangannya. Hhh, kenapa Dokter Kimmy?
Ia bergabung dengan para lelaki yang sibuk menyusun perbekalan kami ke bagasi. Begitu semua siap, bus mulai berjalan. Kulihat Dokter Kimmy ikut naik ke dalam bus. Ia melangkah berjalan mendekat ke kursiku duduk.
“Des, boleh tukar tempat duduk nggak?” tanyanya pada Desy yang duduk bersamaku.
Mata ini seketika terbelalak.
What? Ini Dokter kok nggak ada kabar ngikut?
“Oh iya, Dok. Boleh-boleh ....”
Desy, tanpa aba-aba dengan senang hati bangkit dan pindah. Aku hanya ternganga melihat dia menghilang begitu saja. Dokter Kimmy lalu mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
“Hai, Yasmin,” sapanya sambil menoleh dan tersenyum.
“Do-Dokter, Dokteeer ...,” ucapku terbata. Namun dia malah tertawa.
Aduh. Siapa saja, tolong bilang, Dokter satu ini cuma ngantar aja ‘kan? Jangan ada yang bilang kalau dia ikut juga jadi relawan! Au!
♕♕♕
Dari Bandara Simeulue, kami terbang ke bandara Kamaru. Sampai di sana, naik bus lagi untuk sampai ke lokasi bencana. Ternyata butuh perjalanan 12 jam juga untuk bisa sampai ke Meulaya dari Bandara Kamaru.
Sampai di Meulaya, bergabung dengan para nakes yang ada, kami diberi tempat tinggal di tenda-tenda dekat dari pengungsian warga. Sedih. Perih. Saat melihat kondisi porak poranda, dengan lumpur yang menggenang hingga ke tengah kota. Maasyaa Allah. Pilu rasanya.
Saat kami tiba, matahari sudah menyapa. Kami beristirahat sejenak di dalam tenda setelah perjalanan jauh dan melelahkan. Sebab untuk sampai ke sini Bus tidak bisa masuk dengan mudah. Kami sempat berjalan beberapa kilo untuk sampai ke pengungsian.
“Yasmin, kamu udah makan?” tanya Dokter Kimmy dengan kepala menyembul masuk ke dalam tenda.
Aku yang baru saja rebah, seketika terlonjak. Padahal baru saja separuh kesadaran ini hilang. Sudah susah payah aku berusaha tidur sebentar saja. Kini wajahku meringis. Desy yang di sampingku terkikik-kikik geli.
“Udah, Dok. Udah kok. Dokter makan lah. Saya udah tadi sama Desy. Ya, ‘kan, Des?” Lemah, kupalingkan wajah ke arah Desy. Gadis itu mengangguk geli.
“Oh. Bagus lah. Kamu harus jaga kesehatan. Tenaga kita dibutuhkan di sini,” katanya lagi.
Duh. Jadi tidak enak dengarnya. Di sini kan ada Desy juga. Memangnya cuma aku yang meski dijaga kesehatannya saat ini? Ya Allah.
♕♕♕
Aku sedang membalut luka seorang korban tsunami saat suara seorang lelaki berseru memohon pertolongan. Bersama ia dan dua orang tim SAR sudah ada seorang korban yang berlumur lumpur seluruh tubuhnya.
Seorang nakes yang kini kutahu namanya Fika, sigap menyambut dan menolong korban tadi. Fika adalah relawan yang berasal dari kota ini.
Tidak ada tim baginya, ia hanya sukarela saja ikut membantu karena kebetulan ia sedang menetap sementara di area terkena tsunami sebelum bencana terjadi.
Tidak ada waktu bersantai selama di sini. Yang ada adalah sibuk dengan ke sana ke mari membantu siapa saja yang butuh pertolongan. Kakiku bahkan rasanya keram, tapi dengan kondisi yang begini mencekam, rasa keram itu aku kesampingkan.
Melihat tangis mereka yang menjadi korban begitu memilukan, bagaimana bisa aku mengeluh hanya karena kaki yang keram. Malah, tidak jarang tangisku juga pecah tanpa perintah disela menyaksikan pemandangan yang memilukan di sini.
Baru kemarin kami sampai, tapi sudah banyak pengalaman yang aku dapatkan. Suara tangis bayi dan anak-anak terdengar di mana-mana. Mereka kehilangan orang tuanya. Anehnya ada beberapa orang anak ditemukan di reruntuhan gedung, saat tim SAR menemukannya dalam kondisi penuh lumpur, luar biasanya anak itu masih hidup. Padahal sudah tertimbun lumpur beberapa hari. Jelas hanya karena kuasa Allah saja itu bisa terjadi.
Hari-hari di sini kami lewati dengan sibuk menolong dan mengobati banyak korban. Dokter Kimmy, sesekali memberiku minum disela kesibukannya. Kali ini, hatiku tidak lagi berusaha menolak bantuannya. Diapun tidak lagi menekanku harus ini dan itu. Kami semua terbius dan fokus pada kondisi yang 180° sangat jauh berbeda dengan kondisi kami di rumah sakit biasanya.
Aku menemukan seorang lelaki paruh baya yang tertimpa pohon kelapa di antara tumpukan lumpur dan sampah-sampah bangunan saat berjalan menyisiri area bencana yang luasnya tak terjangkau mata. Lelaki itu, kutemukan saat ia berusaha meraung. Suaranya nyaris hanya terdengar samar-samar.
“Seseorang! Siapa saja, tolong ke sini ...!” teriakku keras. Agar tim yang menyisiri area bencana dapat mendengar.
Serta merta beberapa tim SAR yang ada di dekat kami berlari mendekat. Sebagian dari mereka berpakaian loreng. Entah, siapa saja nama mereka aku tidak kenal. Yang kami tahu saat ini adalah sebisa mungkin saling bahu membahu, membantu dan mengerahkan tenaga untuk bisa menyelamatkan siapa saja yang butuh pertolongan.
Butuh beberapa orang untuk bisa membebaskan korban dari sana. Setelah ia berhasil dibebaskan dari tumpukan itu, lelaki itu lalu dibawa ke posko untuk mendapat pengobatan.
Kulihat sudah ada Fery yang mengambil alih menolong korban barusan. Setelah itu aku berjalan lagi menyisiri area, sementara tidak ada korban baru yang butuh bantuan di posko. Ada Fery dan beberapa nakes lain di sana.
Kakiku melangkah ke arah reruntuhan gedung. Entah gedung apa, sudah tak nampak lagi bentuk awalnya. Samar kudengar suara tangis seorang anak kecil tersedu-sedu.
Gegas aku berlari ke asal suara. Tepat dekat reruntuhan, ada seorang gadis kecil sedang menangis di samping seorang lelaki yang tergeletak tak berdaya.
Mungkin itu ayahnya! Langkahku berhenti tepat di dekat mereka.
“Adik ....”
“Ayah ... Ayah ...!” tangisnya tak henti berderai. Tangannya tak henti menggoyang-goyang tubuh lemah sang ayah.
“Iya, Dik. Kita tolong ayahnya. Sebentar, ya ....”
Tanganku mengecek nadinya, masih ada di sana. Lelaki ini sepertinya kehabisan tenaga. Tubuhnya melemah. Ia butuh bantuan oksigen. Itu yang tidak ada di dalam tas perlengkapan medisku.
Aku menjerit meminta tim SAR datang mendekat. Dua orang lelaki berpakaian loreng datang dengan tandu dan membawa lelaki itu ke posko. Sementara gadis kecil tadi berada dalam gandenganku.
“Ayah ... Ayah ....” Mulutnya tak henti memanggil sang ayah. Dari postur tubuh usianya sekitar lima tahunan.
Sampai di posko, Desy menyambut.
“Oksigen, Des!” perintahku gegas.
Desy sigap memasang selang oksigen ke mulut lelaki itu. Sementara, aku membersihkan lumpur yang melekat pada wajah gadis kecil tadi. Ia masih terus menangis sambil melihat ayahnya yang sedang mendapat pertolongan medis.
Beberapa menit, tangisnya terhenti. Aku lega. Setelah itu kubersihkan tubuhnya. Ada luka di bagian tangan dan kakinya. Setelah mengobati lukanya, kuganti pakaiannya dengan pakaian seadanya yang kami bawa. Pakaiannya kebesaran. Namun, paling tidak masih bisa ia kenakan.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar suara derit tanpa putus dari EKG yang terpasang di tubuh ayah si gadis kecil.
“Dokter Yasmin!” Desy berseru.
Serta merta aku berdiri, dan melakukan pemompaan dengan menekan dada pasien sedalam 5 cm sebanyak 30 kali dengan kecepatan satu hingga dua tekanan per detik. Oh Allah. No!
Kuulang lagi memompa agar denyut jantungnya kembali. Kali ini dengan kecepatan 100 kompresi dada per menit. Berulangkali mencoba, ternyata sama. Suara derit dari monitor EKG tetap tak berubah.
“Dokter ....” lirih Desy lemah seakan ingin menyadarkanku.
“Ayah ....” Gadis kecil itu turun dari kursi dan mendekat ke tubuh ayahnya. Suaranya terdengar bergetar lemah.
“Yah ....!” Ia menggoyang-goyang tubuh itu berulangkali. “Ayah ....” Kini suaranya makin parau. .l
Tiba-tiba dia histeris sambil masih terus memanggil ayahnya yang tidak merespons lagi. Goncangan tangannya makin kuat hingga membuat tubuh itu berguncang.
Desy membujuk gadis kecil yang tersedu itu dan menjelaskan ayahnya tertidur. Namun gadis itu marah dan membantah kalau ayahnya hanya sedang main-main.
Bona dan beberapa tim medis di sana ikut membujuk. gadis itu malah makin histeris dan marah. Salah satu tim medis terdengar mengumumkan jam kematian sambil menangis.
Melihat itu, seketika dadaku sesak. Kaki ini terasa tak berpijak. Suatu respons tubuh yang menolak lupa tentang masa tak enak. Ingatanku mengulang kejadian berpuluh tahun lalu. Saat seorang gadis kecil bernama Yasmin Rezvan menangis tersedu-sedu, menolak keras untuk menjauh dari jasad Papanya yang ia duga hanya sedang tertidur pulas.
Saat itu, di rumah sakit, orang-orang, termasuk Mama, membujukku untuk mau mengizinkan jenazah Papa diurus segera.
Namun aku histeris dan marah. Mama meraih tubuhku, untuk menjauh. aku memberontak hingga terlepas dan meraih wajah Papa, seketika menggoyangnya kuat.
“Pa ... bangun Pa! Yasmin nggak suka Papa gini. Udahan dong main-mainnya!” Sambil tersedu aku histeris dekat wajah Papa.
“Yasmin. Papa tidur, Sayang. Kita keluar dulu, yuk ....”
“Nggak mau ...! Nggak mau! Papa bangun, Pa!”
Mama menggendongku paksa. Lagi-lagi aku memberontak dengan menghentak-hentak kaki kuat.
“NGGAK MAO! NGGAK MAO! LEPASIN! MAMA! NGGAK MAO! PAPA, TOLONG YASMIN!”
Tak henti aku memanggil-manggil Papa hingga berteriak agar ia mendengar dan membuka mata. Dalam benakku, Papa hanya sedang bergurau, itu hanya sebuah main-main belaka. Namun, sayangnya dugaanku salah. Papa tidak mau berhenti dari main-mainnya. Aku kesal. Papa tidak mau membuka lagi matanya untuk melihatku sebentar saja. Dan ternyata, aku memang tidak pernah lagi melihat mata teduh Papa selamanya.
Hari ini, di depan mata, kulihat seorang gadis kecil sedang menjerit histeris mengguncang-guncang tubuh ayahnya hingga lelah. Gadis itu memeluk erat dan merebahkan kepalanya di atas tubuh sang ayah, enggan melepaskan.
Sementara itu di sini, aku luruh ke tanah. Air mata ini tak henti sudah. Kututup wajah yang mulai sembab dengan kedua tangan. Ya Allah. Sakit sekali di dalam sini. Hiks!
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak. Cepat update ini. 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro