Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7 - Melebur Raga

Jika dunia ini bising, mungking isi kepalanya lebih bising. Panggilan untuk bunuh diri selalu hadir. Mengadu pilu, mengajak simpati berdiskusi agar lebih peduli pada diri sendiri, rayunya. Namun, desakan untuk mengakhiri hidup dan menyulap rasa sengsara menjadi bahagia selalu hadir, mendominasi. Nasta berdiri di bawah guyuran hujan, berharap ia akan demam saat tiba di rumah nanti. Dengan begitu mungkin ia akan diizinkan untuk tidak latihan terakhir sebelum ulangan. Bahkan Nasta berharap dalam doanya, kalau ia sakit … ia juga bisa istirahat tidak belajar. Karena persetan dengan belajar, menambah kegilaan saja.

Hujan semakin menenggelamkan Nasta di bawah langit Dago yang biru keunguan. Pekat aroma tanah lembab berbaur udara tipis membuat Nasta hilangan cukup banyak napasnya. Sesak mencekik toraknya, bersimpuh di tengah rapatnya pohon-pohon tua di atas jembatan gantung berbahan kayu. Nasta tidak ingin pulang meski waktu saat ini sudah pukul setengah tiga sore, dan ia juga tidak mengabari kedua orang tuanya kalau saat ini latihan ditunda, tak ada jam tambahan di luar kelas.

Nasta juga berpikir kalau ia tak akan pulang dalam keadaan basah kuyup. Namun, ia harus bergegas sebelum taman jembatan ini ditutup petugas sesuai jam operasionalnya. Nasta berjalan tertatih-tatih keluar dari jembatan tersebut. Sesak butakan matanya, bahkan membuatnya kehilangan arah. Entah jalan apa yang akan ditempuhnya, menikmati sisa waktu yang ada atau kembali untuk menyelamatkan masa depannya. Setelah dipikir dengan pikiran tidak jerninya, Nasta pikir sakit hanya akan membuatnya lebih sakit.

Nasta berteriak sekuat tenaga, ia pun kembali bersimpuh di ujung jembatan gantung tersebut. “Aku mengutuk hujan sore ini. Kuharap kau turun lebih deras! Tenggelamkan aku, tenggelamkan rasa sedihku. Hanya kau yang mampu menyelaraskan tangisku dengan senandungmu. Kuharap dunia berubah saat kau reda!” rintihnya sambil memeluk tubuh kuyup yang terasa begitu kurus dan menggigil.

Nasta tertatih-tatih dalam setiap langkahnya, keluar dari kawasan taman hutan kota tersebut. Ia tidak berniat untuk naik kendaraan apa pun. Ia ingin menikmati waktu kaburnya hari ini bersama call of the void-nya yang terus mencaci, berteriak di dalam kepala. Katanya, jatuhkan tubuhmu ke jalan, jatuhkan, jatuhkan, maka semua rasa sakitmu akan tertinggal di sana, bersama tubuhmu, bersama genangan darahmu.

“Persetan denganku, tersenyumlah sampai di rumah nanti!” lirih Nasta dengan iba yang sudah tak bisa lagi antara hujan atau tangisnya.

Nyaris dua jam ia habiskan untuk berjalan kaki tanpa hasrat ingin pulang sebetulnya. Namun, luntang-lantung tidak jelas juga untuk apa, Nasta pikir demikian. Remaja laki-laki itu membuka gerbang rumahnya. Suara pintu diketuk cukup lama, Nasta tidak menyangka kalau pulang ke rumah ternyata tidak langsung disambut oleh ibunya.

“Mama? Mama? Di rumah ada orang?” teriak Nasta masih mengetuk-ngetuk pintu rumahnya dengan sekuat tenaga. Dari arah gerbang terdengar suara klakson mobil yang membuat telinga Nasta sakit luar biasa. Remaja laki-laki itu menoleh.

Mobil biru tua memasuki pekarangan rumah, pagar yang terbuka otomatis dengan mengandalkan sensorik terhadap getaran yang tercipta dari ban mobil membuat Nasta tidak perlu repot membukanya. Tampak sepasang heels berwarna putih gading mendarat di tanah. Payung berwarna marun dengan ukiran bunga anggrek putih terbuka di depan pintu mobil. Nasta hanya memandang rendah bagaimana sang mama keluar dari mobil biru pemberian Jagawana saat wanita itu berulang tahun ke tiga puluh tujuh.

Derap langkah anggun Miswari di atas sepatu hak tinggi super runcing itu membuat Nasta sedikit ciut. Pasalnya, ia kuyup dan buku di dalam tasnya juga kuyup tidak akan salah lagi. Namun, sebisa mungkin Nasta tetap tenang. Ia hanya ingin cepat-cepat merebahkan tubuhnya di panjang. Kalau tegang sekarang, bisa-bisa sosok bernama Jagawana Jentara itu menghubungi seluruh pasukan Merpati Putih di sekolah. Mampus!

“Mama jemput kamu di sekolah, kok tidak ada?” todong Miswari sambil mencengkram lengan bahu Nasta.

“Nasta lupa mengabari kalau latihan hari ini libur, diundur ke jadwal pasca UKK, Ma,” jawab Nasta dengan senyuman kecil yang penuh keraguan.

“Terus kenapa hujan-hujanan begini?” tanya Miswari sambil melotot pada anak semata wayangnya tersebut. Suara tamparan di pipinya pun terdengar renyah.

Lidah Nasta gatal ingin mengumpat. Sayangnya, lagi-lagi jika membayangkan konsekuensi yang akan didapatnya, hal itu tidak sebanding dengan apa yang akan ia dapatkan. Nasta meneguk ludahnya sambil tersenyum kecil.

“Nasta naik angkot, terus macet, Ma. Ada arak-arakan supporter bola. Pas turun di balkot hujan, angkot Caringin-Dago lama,” jawabnya.

“Ya sudah, ayo, masuk. Tumben sekali ada libur latihan tapi Papa tidak mengabari,” gumam Miswasi sambil menggiring punggung Nasta masuk ke rumah. “Awas kalau bohong! Mama akan menghukummu!”

Nasta melirik sang mama, picingan ekor matanya yang tajam bersembunyi di balik helaian rambut basahnya. “Mas Syawal undur secara dadakan. Jadi, tidak ada pemberitaan via Line, Whatsapp ataupun Telegram,” sahut Nasta dengan suara cukup datar. Bahkan berekspresi pun tidak.

*****

Pagi menyingsing aroma embun, dari Sabtu ke Minggu lalu ke Senin rasanya begitu cepat, sekilat kedipan mata. Nasta membuka sedikit jendela rumahnya menunggu Nizar. Meskipun hari ini sedikit bindeng karena seharian kemarin berburu hujan, Nasta tetap tidak boleh izin, tidak mengirim surat sakit atau beristirahat di atas ranjang.

“Jangan lewatkan pemeriksaan bersama papamu, mengerti?” lontar Miswari sambil tersenyum ketus. Alhasil, Nasta pun hanya bisa mengangguk setuju.

Tak berselang lama dari itu, Nizar pun datang. Alhasil, Nasta buru-buru sebab benar-benar malas mendengar ocehan sang mama tentang pemeriksaan kesehatan.

“Ayo, berangkat!” kata Nizar dengan senyum cerahnya.

Nasta duduk tenang di boncengan sambil menikmati udara pagi Kota Bandung sembari mendengarkan cerita Nizar soal kampus yang cukup menarik. Setibanya di sekolah, Nasta segera memasuki kawasan kantin, rasa-rasanya ingin mencicipi bakwan jagung buatan Bibi kantin yang terkenal nikmat kalau dimakan pagi-pagi saat suasana kantin tidak terlalu ramai. Tanpa menyimpan ranselnya dahulu, Nasta melengos ke kantin. Sayangnya, semua tidak seperti yang dibayangkannya di motor barusan. Kantin cukup ramai dan kios gorengan Bibi juga sedang ramai dipakai anak-anak yang lainnya sarapan.

Nasta membalik tubuhnya, tetapi belum sempat ia melangkah segerombolan siswa yang baru saja datang ke kantin dari pintu depan memanggil. “Ta, ayo gabung!” ajak mereka sambil tersenyum.

Nasta yang masih di ambang antara pintu belakang kantin dan lorong menuju koridor perpustakaan juga wilayah jajaran kelas sebelas pun kembali memasuki kawasan kantin. Dengan tanpa canggung, Nasta bergabung dengan gerombolan siswa tersebut, yang tak lain adalah anak-anak dari klub musik juga film yang diketui oleh Nugi Arigana.

“Ta, selamat atas medali perunggu yang kamu kantongi beberapa waktu lalu di pertandingan pertemanan sejabar, ya?” tutur salah satu dari mereka sambil tersenyum manis.

“Selamat atas pencapaian anak-anak klub musik dan film juga atas keberhasilannya menembus seratus ribu subscriber di Youtube. Semoga kanal pribadi kalian bisa semakin sukses!” balas Nasta dengan tatapan penuh kasih. Pujiannya yang terdengar begitu manis dan lembut membuat anak itu terlihat blushing.

“Aamiin, aamiin. Nanti kita buatkan promo untuk ekskul Merpati Putih, ya? Kebanyakan bahas musik dan film yang disukai anak-anak di sekolah, kita malah lupa kalau sekolah punya daftar nama siswa dan atlet-atlet berprestasi,” kata anak itu cekikikan.

“Lho, kan, kanal Youtube kalian memang membahas soal musik dan film.” Nugi tertawa renyah. “Jangan aji mumpung, ya!”

“Aku tidak minta!” kata Nasta sambil tersenyum kecil.

“Bukan ke kamu, tapi ke ….” Nugi melirik temannya itu. Nasta pun tertawa renyah.

Di tengah obrolan yang sedang berlangsung, terlihat segerombolan cewek-cewek dengan bet seragam kelas 10A, 10C, dan 10E, gerombolan siswi yang selalu hilir mudik ke perpustakaan atau tepian lapangan hanya untuk jadi tim hore anak kelasnya main battle basket dengan anak kelas tetangga sebelah. Perasaan Nasta pun mulai tak enak.

“Hai, Ta!” sapa beberapa siswi, Nasta mengangguk kemudian.

“Pagi, Nasta?” sapa sebagiannya lagi.

“Pagi juga,” jawab Nasta dengan ramah.

“Halo, Ta, selamat pagi! Salam semangat dan salam sehat!” lontar seorang siswi pada Nasta sembari melambaikan tangannya dengan santun.

“Salam semangat dan salam sehat juga. Terima kasih,” sahut Nasta masih dengan senyum serta suara ramahnya yang renyah.

“Kembali kasih, Tata!” ujar gerombolan siswi itu dengan kompaknya.

Menikmati waktu pagi di kantin membuat Nasta lupa kalau hari ini ia harus membereskan buku di loker. Nasta larut dalam beberapa perbincangan hangat yang anak-anak tawarkan, dari mulai berbincang mengenai Merpati Putih, tentang sang papa yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit elit, perihal isi mading dengan potongan surat kabar yang memajang wajah juga prestasinya bahkan sampai beberapa anak minta swafoto, katanya untuk kebutuhan Instastory juga Snapchat mereka.

Bel berbunyi, semua anak berhamburan termasuk Nasta. Saat kaki hendak memasuki kelas, Nasta melihat sekilas bahwa Nais baru saja memasuki kawasan sekolah. Ia terbirit-birit menaiki anak tangga sambil menyeka peluhnya. “Oh, anak seaktif Nais yang dikenal rajin bisa terlambat juga rupanya,” gumam Nasta mendesis pelan disertai sungging senyum kecut. Nasta memasuki kelas dengan langkah santai, kedatangannya pun disambut hangat seperti biasa.

Bel berbunyi nyaring sekitar tujuh menit, setelahnya para guru berdatangan ke kelas. Hari ini di jam pertama anak-anak kelas sepuluh akan melaksanakan ujian Bahasa Indonesia.

“Halo, Anak-anak?” sapa ibu guru sambil menaruh tas juga bukunya di meja.

“Halo juga, Bu!” sahut anak-anak dengan serentak.

“Nasta, ayo, pimpin doa pagi hari ini.” Ibu guru tersenyum dengan manis, lembut tutur kata juga teduh sorot matanya membuat Nasta mengangguk.

“Untuk memulai hari yang lebih baik dari hari lalu, mari kita berdoa. Semoga Tuhan selalu memberikan kehidupan terbaik untuk kita di hari ini, hari esok dan seterusnya. Berdoa dimulai!” Nasta menautkan jemarinya, berdoa dengan khidmat sambil menundukkan kepala. Kuharap, Kau mendengar doaku. “Selesai! Beri salam!”

“Selamat pagi, Bu Ema!”

“Selamat pagi, Anak-anak. Silakan tas buku dan semua yang tidak diperlukan disimpan di depan. Hanya ada bolpoin, papan dada dan atau penghapus saja yang ada di meja. Kartu tanda peserta ujian jangan lupa!”

“Baik, Bu!”

🎏

Publikasi 27 Mei 2023
KangMas sudah diperbaharui. Cek, IG @Jejakava_ig di sana ada terdapat potongan quotes dan prentelan novel-novel Ava.

Pembaharuan dua hari mendatang, hari Senin, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro