Bab 4 - 2+2 pasti 4
Klub pecinta hewan ribut-ribut membahas soal acara pekan olahraga dan seni yang biasanya dilakukan di akhir semester dua setiap tahunnya pasca ujian kenaikan kelas. Nais sedang duduk sambil mengotak-atik kalkulator di tangannya, sesekali gadis itu memainkan bolpoin di tangan kirinya sebab ia kidal. Anak-anak mendekati mejanya, berkumpul mengelilingi Nais yang begitu asyik berbincang dengan berbagai angka dan rumus yang terlihat begitu ruwet.
Ponsel Nais berdering, ia melengos dari kerumunan setelah pamit untuk menjawab panggilan dari sang bunda. Nais berdiri di balkon aula sekolah, gedung dua lantai itu menjadi tempat terbaik untuk melihat berbagai mobilitas sekolah, dari mulai penjaga sekolah yang bersih-bersih, satpam yang jaga pos dan gerbang, anak-anak yang ramai-ramai main bola kaki ataupun berbagi wilayah dengan yang main basket, suasana pelataran perpustakaan dan gerbang menuju kantin. Pandangan Nais berpendar pada anak-anak yang tengah bermain bola kaki, terlihat dari anak kelas 10B, C sampai E bercanda tawa di bawah sana membuat Nais tersenyum.
“Halo, Bunda? Ada apa?” tanya Nais dengan lemah lembut. Suara nyarinya yang renyah membuat Aundari di balik sambungan teleponnya malah tertawa.
“Bunda sudah daftarkan kamu les bahasa Jepang. Senin depan sudah bisa ambil kelas sore, ya?”
“Oke, Bunda!”
“Ya sudah, selamat belajar. Pulang nanti dijemput Ayah atau pulang naik apa?” tanya Aundari sedikit mengembuskan napasnya pelan.
Nais berdecak pelan. “Dengan teman-teman naik angkot seperti biasanya. Jangan khawatir, sebentar lagi juga pulang. Di klub juga tidak ada kegiatan selain melamun dan main ponsel sendiri-sendiri,” ungkap Nais tertawa kecil.
“Ya sudah, sampai jumpa di rumah. Hati-hati pulangnya! Jangan naik angkot kosong, ingat duduk di dekat pintu, ya, biar kalau ada apa-apa bisa menyelamatkan diri!” Aundari mewanti-wanti dengan nada bicara tegas sedikit mendesak. Sedangkan Nais hanya cekikikan mendengar suara bundanya tersebut.
Punggung Nais ditepuk seseorang, Barran berdiri di sebelah Nais, sosok teman satu klub juga satu kelasnya itu menatap Nais dengan lembut. Barran Bimasenna, sosok remaja laki-laki pecinta hewan liar itu mengembuskan napasnya sambil menatap ke langit. Barran pecinta singa, ia bakhan seorang kolektor barang-barang berbau singa, entah itu kaos gambar singa, miniatur mainan singa, sampai punya topeng kepala singa dan semua serba singa. Kata Barran, singa itu lambang kekuatan.
“Kamu dapat telepon dari siapa?” tanya Barran masih bersidekap di balkon sembari menikmati langit sore Bandung lengkap dengan anginnya yang anggun.
“Dari Bunda, Ran. Kenapa? Terkesan seperti bukan dari Bunda?” sahut Nais dengan tawa renyah sambil mendelik tatapan cerdik.
“Iya, soalnya kamu teleponannya di luar. Kalau dari bundamu atau ayahmu biasanya di dalam tidak masalah,” jawab Barran tersenyum canggung.
“Tidak enak saja, teman yang lain, kan, sedang mengobrol masalah porseni dan kebun binatang yang mau ditutup karena kasus uang pangan yang dibawa kabur sama orang bule itu, tuh. Masa iya, aku teleponan di saat orang-orang lagi serius membahas warta ter-uptodate,” tutur Nais sambil geleng-geleng kepala lembut.
Di tengah asyik berbincang ditemani sepoinya angin kota Parahyangan, sebuah bola plastik melambung ke balkon hampir mendarat di wajah Nais, untungnya, Barran yang sigap nan tangkas lekas menangkapnya. Barran menoleh pada Nais yang telihat terperangah kaget. Barran tersenyum kecil, katanya, “Kamu tidak apa-apa, Nai? Biji matamu mau kabur, tuh!”
“Hih, ya, jelas kenapa-napa, dong! Bolanya sepersekian detik lagi nimpuk wajahku, Ran!” sahut Nais dengan nada suara kesal.
“Woi! Lempar bolanya, dong!” teriak seorang remaja laki-laki yang tak lain adalah Nasta, sosok siswa berseragam olah raga itu melambaikan tangannya sambil melompat-lompat. “Ran, lempar bolanya!” Nasta kembali berteriak lebih kencang.
Barran seketika melemparkan bola itu seperti perintah Nasta, remaja laki-laki itu mengacungkan jempolnya lalu lanjut bermain bola kaki bersama kawanannya. Barran melirik Nais kali ini sambil tersenyum dengan simpulan yang manis. Barran berucap, “Nasta seperti ponsel yang di-charge full setiap harinya. Anak itu seperti gasing, di mana ada dia pasti ada keramaian!”
Nais tertawa mendengar menolong Barran, gadis itu menoleh dengan tatapan saksama. Binar bola matanya yang cokelat pekat menjurus warna hitam membuat Barran tiba-tiba blushing sampai memalingkan wajahnya ke sembarangan arah. “Tidak kayak kamu yang hanya menclok di klub pecinta hewan ini, ya?” goda Nais bersiul-siul menyoraki.
“Tidak juga, ah. Ya aku kagum saja, Nai. Nasta benar-benar merubah stigma kalau anak laki-laki itu tidak bisa berprestasi seperti anak perempuan. Buktinya, Nasta bisa bahkan dia lebih rajin, lho, dari anak-anak perempuan di kelasnya, mungkin di sekolah ini dia laki-laki paling rajin?” cicit Barran sambil senyum-senyum sendiri dengan narasi pendeknya.
“Sebetulnya hidup kita itu sederhana, Ran. Kayak dua tambah dua pasti empat. Tidak akan jadi enam atau sepuluh. Begitu pula Nasta, dia belajar dia pasti pandai. Tidak ada orang belajar jadi bodoh atau bego. Kalaupun sudah belajar tidak merubah apa pun, bukan karena tidak berhasil, cuma tidak sungguh-sungguh saja,” tutur Nais menepuk-nepuk pundak Barran yang lebih jangkung dari dirinya.
“Emm.”
“Bukan emm, tapi memang benar. Aku dulu menganggap matematika itu cuma ya formalitas di sekolah untuk memenuhi nilai. Setelah kupelajari dan aku senangi, ternyata ilmu matematika itu sebuah kepastian, hukumnya mutlak, karena kalau salah caranya, salah juga isinya. Kan, kita hidup gitu, Ran. Kalau salah bergaul ya salah juga hasil yang kita tuai dari pergaulan itu. Kalau kita belajar pada guru yang salah, ya, salah juga ilmu yang kita dapatkan.”
Barran mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. “Pulang, yuk! Sudah sore nanti keburu hujan, soalnya sudah masuk musim pancaroba, suka tiba-tiba badai saja besoknya gersang!” ajak Barran melengos kembali ke dalam aula.
Namun, Nais masih berdiri di balkon, ia dengan asyiknya memandangi bagaimana Nasta bermain bola kaki. Biasanya Nais melihat anak itu latihan bersama Merpati Putih atau tengah bercanda ria bersama anak-anak di kantin untuk membahas gim daring. Nais merasakan ada senyum lain darinya hari ini, senyum maut dengan gingsul tunggal itu benar-benar membuat pipi Nias kemerahan jadinya. “Lho, kenapa tiba-tiba membayangkan Nasta latihan pernapasan di lapangan, ya? Wajah seriusnya malah lebih ganteng!” Nais tertawa tergagap-gagap sambil menepuk-nepuk dahinya minta ampun.
Di lapangan, Nasta masih sibuk oper bola sana-sini. Remaja laki-laki itu juga sempat menoleh pada balkon di mana Nais masih berdiri di sana, bedanya kali ini gadis itu sudah berdiri seorang diri tanpa Barran, sosok siswa paling terkenal di kelas 10E karena suaranya, wajahnya, serta hobi uniknya mengumpulkan mainan dan tek-tek bengek persingaan. Nasta menendang bola di kakinya ke sembarang arah. Remaja laki-laki itu duduk lesehan bersama anak-anak lainnya.
“Eh, Ta, kamu bukannya harus sudah dipingit, ya, sebelum tanding di kejuraan nanti?” tanya salah seorang siswa, ia adalah Nugi Arigana, sosok blasteran Sunda-Maluku itu memandang saksama.
“Kamu pikir aku pengantin? Aku atlet, mana ada acara dipingit, Nu!” Nasta membusungkan dadanya sambil memandang santai. Walau aku ingin seperti itu, dipingit seperti pengantin mengurung diri menikmati waktu yang aku inginkan. Menikmati sepi tanpa harus merasa kesepian. Menikmati gelap tanpa harus merasa sesak. Aku ingin menikmati waktu diamku bukan karena aku lelah. Aku ingin berbaring tanpa batas, meluruskan punggungku sambil menikmati musik tanpa tugas atau tuntutan untuk terus berlari dan menghasilkan banyak medali.
“Dah ah, aku balik duluan. Telat mandi ganteng bisa luntur!” tandas Nasta meninggalkan gerombolan siswa berseragam olah rasa serupa dirinya di tengah lapangan.
“Cowok ganteng justru kalau tidak mandi, Ta!” celetuk seorang Saraga Osman Dzaki anak seorang pemain voli naturalisasi asal Jerman itu. Saraga memandang Nasta dengan tatapan cemerlang. “Kayak aku gitu!” katanya tertawa congkak.
“Iya, ganteng, cuma disenggol jatoh!” ledek Nasta tertawa terbahak-bahak, alhasil sepasang sepatu melayang mendarat di bokongnya. “Dah ah, ayo balik, keburu sore nanti. Ramalan cuaca katanya bakal hujan deras.”
“Kamu balik naik jemputan lagi?” tanya Nugi.
“Kayaknya balik sendiri, naik angkot. Kenapa?” jawab Nasta dengan sunggingan senyum kecut.
“Nebeng aku saja, motornya aku simpan di warung seblak belakang sekolah.” Nugi bangun dari duduk.
“Tidak perlu merepotkan. Aku bisa pulang sendiri, soalnya aku juga harus cek gula darah di tempat Papa.” Nasta nyengir lebar. “Makasih, Nu, lain kali, deh. Sekalian kamu ajarkan aku gimana cara nyetel motor!” imbuh Nasta cekikikan.
“Betako saja dihajar, naik motor kagak bisa!” Saraga mendesis pelan. Remaja laki-laki dengan rambut jagung kemerah itu berkacak pinggang.
“Eh, atlet bermobil, ya, tidak naik motor.”
“Iya, mobil angkot!”
Ketiga remaja laki-laki itu tertawa terbahak-bahak sambil saling rangkul. Berjalan menuju tepian lapangan membereskan bola serta gawang yang mereka pakai bermain barusan.
Nais di balkon masih berdiri tegak, membaui aroma senja yang kentara dengan sedikit wangi guguran daun kering yang terbawa angin dari lapangan. Barran mendaratkan tangannya di pusat kepala Nais, berbalik gadis itu mendapati senyuman hangat di wajah Barran yang tidak terlalu putih tidak juga hitam, ya, standar cowok berkulit sawo matang. Matanya bulat tidak terlalu padat, sebab tepiannya runcing tegas, hidungnya mancung tidak terlalu bangir, bibirnya merah sedikit gelap. Di saat yang sama, Barran terkesima, wajah jelita Nais sangat manis. Wajahnya kecil, dagunya tirus, hidungnya mancung kecil, kulit wajahnya putih bersih di bagian pipinya merah alami seiras bibir mungilnya yang merah ceri.
“Ayo, pulang, Nai!” ajak Barran menarik kepala Nais masuk aula. Langkah kaki gadis itu terpogoh-pogoh mengimbangi langkah Barran.
“Wih, sudah siap!” Nais memekik sambil tertawa renyah saat mendapati tas ranselnya sudah tampak rapi tergeletak di atas meja.
“Ayo, pulang. Tante Aundari pasti merindukan anak gadisnya yang bawel!” kata Barran cengengesan, “Biko mungkin kelaparan menunggumu!”
“Terima kasih, Ran!” kata Nais menepuk-nepuk dadanya dengan ceria. Ia pun mencangkok tas ranselnya dengan sigap.
“Siap!” seru Barran semangat.
🦁
Publikasi 21 Mei 2023
Pembaharuan bab dua hari sekali, ya. Sampai bertemu hari Selasa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro