Bab 2 - Timur sampai Barat
Alunan musik dari kecapi sunda memenuhi seisi ruangan yang didominasi kayu jati. Seorang gadis tengah duduk di depan sebuah kandang putih sebesar televisi tabung. Gadis itu menjentik-jentik jari tengah dan jempolnya di depan pintu kandang tersebut. Setelah beberapa lama, ia melenguh pelan.
"Ayah, sepertinya Zelo tidak mau keluar kandang!" ujar gadis itu sambil bangkit dari duduknya.
Seorang pria paruh baya keluar dari sebuah ruangan sambil membawa sangkar berisi burung kenari kecil berwarna oranye dengan highlight putih gading. Pria itu tersenyum dengan tatapan mata berbinar cerah. "Kucingnya baru datang tadi pagi, belum kenal bau badanmu, Nai."
Nais Agnimaya Puspadiana, gadis enam belas tahun yang berdiri dengan bibir cemberut itu mendesis. "Dulu Biko langsung akrab padaku," katanya dengan tatapan meremehkan.
"Itu Biko, beda kucing, beda jiwa, beda juga cara dia beradaptasi. Sama kayak manusia, ada yang langsung akrab saat kenalan ada pula yang tidak," jawab pria paruh baya itu sambil mengeluarkan burung kenari dari sangkar bertengger di tangannya.
"Ayah, apa kuda yang kita simpan di Lembang masih kenal aku? Kan, sudah hampir lima tahun tidak kita tengok karena Ayah selalu sibuk." Nais menatap dengan pandangan cemerlang. Senyuman gadis itu melengkung dengan sempurna.
"Kenal mungkin," sahutnya tertawa renyah. Setradji Kalingga, pria itu melengos dari ruangan tersebut. Ia melengos ke pekarangan rumahnya yang didominasi oleh tumbuhan obat tradisional, bunga-bunga hias warna-warni, kerajinan tangan berbahan kayu dan tembikar juga kolam air dari potok bambu. Setra-panggilannya, ia meninggalkan Nais si putri semata wayangnya di ruangan sederhana berdinding kayu, tempat hewan-hewan peliharaan tinggal dan dirawat, tempat bermain Nais yang letaknya bersebelahan dengan garasi.
Aroma mewangi dari cengkeh dan sereh membuat Nais rileks, gadis itu membaringkan tubuhnya di atas tikar mengkuang. Menikmati keindahan langit Bandung lengkap beserta anginnya yang sepoi di gazebo. Terlihat seorang wanita paruh baya berjalan dari arah dapur membawa nampan berisi piring beralaskan daun pisang, dua cangkir berbahan bambu di sampingnya. Wanita itu melirik Nais, ia tersenyum sambil menyuguhkan nampan di atas tikar.
"Ayah, tehnya sudah siap!" tutur wanita itu dengan anggun. Aundari Ranggita, wanita itu duduk di sebelah Nais sambil menunggu sang suami menghampiri gazebo.
"Bunda, aku ingin les bahasa, soalnya mulok di sekolah, kan, Bahasa Jepang, boleh, ya?" tanya Nais dengan bibir manyun-manyun merajuk.
"Les Bahasa Jepang? Kenapa harus les, kalau dengan nonton anime bisa? Jangan buang-buang uang dan waktu. Kalau les, nanti waktu mainmu berkurang, mau memangnya? Biko, Kurku, dan Zelo mau diapakan?"
"Ya, kan ...." Nais cengengesan.
"Sudah, sudah, jangan ambil ribetnya. Kemampuan berbahasa itu diasah, Sayang, bukan hanya les. Pada kenyataannya, kecakapan kamu yang akan dipakai di dunia nyata," kata Aundari menepuk-nepuk pipi Nais lalu mencubitnya dengan manja.
"Bilang saja tidak mau mengeluarkan uang lainnya," cibir Nais yang lalu meneguk teh hangat dalam gelas bambu sekali teguk.
"Kan, di sekolah kamu juga ada klub bahasa. Masuk sana aja, Nai. Lebih hemat, bukan?" ucap Aundari dengan senyum bijak.
"Tapi Nais sudah masuk klub pecinta hewan, Bun. Masa dua-dua gitu klubnya," protes Nais masih beragumen saja.
"Ya sudah, nanti bilang ayahmu. Uangnya, kan, selalu ayahmu yang pegang. Bunda hanya ketitipan." Wanita itu tersenyum dengan lebar, matanya berbinar cemerlang.
"Hah, malas. Jawabannya pasti tidak." Nais meniupkan bibirnya hingga terciptalah cipratan hujan lokal.
"Itu paham. Uang orang tuamu, kan, bukan hanya untuk les atau biaya sekolah kamu saja. Pengeluaran kita, kan, banyak, Sayang. Percayalah orang sukses tidak hanya belajar dari buku, mereka juga belajar dari mulut dan pengalaman orang. Maka dari itu carilah orang-orang pandai di sekelilingmu." Aundari membelai lembut pusat kepala Nais.
*****
Untouchable.
Begitu rasanya, Nais masih memandang wajah langit dari gazebo. Senja muram durja, rasa-rasanya si presipitasi cair sekejap datang. Nais mengamati bagaimana sinaran keemasan yang semakin memudar itu beranjak pergi dari hadapannya. Embusan napas panjang yang mencuat dari bibirnya terdengar gusar. Nais sadar, ucapan sang bunda tadi siang ada benarnya. Akan tetapi, ia juga ingin pergi haha-hihi seperti kawan-kawannya yang les di tempat les terelit yang hampir semua anak Bandung ada di sana. Apa daya, ekspektasinya selalu dihancurkan realitas hidup yang sama; terlalu egois.
Nais beranjak dari gazebo menuju rumah, ia harus bersiap untuk esok upacara seperti biasanya di hari senin pagi. Sebagai anak kelas satu, ya, perasaan takut terlambat masih sering terasa candu, entah kalau sudah kelas dua atau tiga, mau bolos saja tak perlu mikir keras rasanya. Nais tertawa sumbang, ia membayangkan akan lucu juga kalau esok terlambat, bisa mejeng di depan gerbang dulu sambil menunggu giliran lari keliling lapangan. Sayangnya, selagi sosok Setra masih mangkat kantor subuh, banyak alasan untuk pergi sekolah pagi-pagi.
Nais menjajaki anak tangga, kamarnya ada di lantai tiga, sedang lantai dua adalah kantor pribadi ayahnya yang bekerja sebagai seorang drafter atau biasa dikenal dengan sebutan draftsman, di sebuah perusahaan listrik negara. Nais menikmati wewangian kopi bali yang memenuhi lantai dua, sejenak gadis itu tinggal dan mengamati ayahnya tengah duduk sambil membersihkan kaca lemari. Lantai dua dengan dua kamar-satu kantor Setra yang tidak bebas dimasuki orang juga satu kamar mandi-yang dipenuhi rak buku, kertas-kertas gambar denah juga bangunan, komputer, laptop, televisi dan sebuah kulkas juga dispenser. Tempat yang memanggil Nais untuk berjalan mendekati ayahnya.
"Sore, Ayah Setra. Boleh aku bicara?" tanya Nais dengan suaranya yang anggun nan lemah lembut.
Setra menoleh pada Nais, pria itu mempersilakan anaknya duduk di sofa beludru depan televisi. Terlihat Setra mengawali langkah duduk terlebih dahulu. "Ada apa, Nai? Obrolan tadi belum cukup panjang memang? Kita sudah bicara tentang kebun binatang, lho. Masih belum puas kamu?" todong Setra menatap cerdas. Senyum liciknya membuat Nais tiba-tiba saja merasa malas untuk beradu isi kepala.
Nais kemudian mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. Gadis itu membalik tubuhnya. "Tidak jadi, nanti lagi saja. Ayah mungkin sedang sibuk," sahut Nais sembari melengos menuju anak tangga di ujung lantai dua dekat sebuah jendela kaca yang memamerkan keindahan daerah Dago. Lebat pepohonan pesisian kota Bandung dapat ditangkapnya dari jendela. Nais dengan langkah sebal menjejal anak tangga, hingga entakkannya membuat Setra berucap dengan sedikit nada lantang yang menggelegar.
"Anak jaman sekarang begitu, ya? Ditanya benar-benar malah kabur, nanti kalau tidak ditanya mengadu pada Tuhan, katanya tidak dipedulikan." Setra menyindir sambil tertawa kecil. "Mengadulah, tuh, pada orang-orang kalau katanya mereka broken home. Padahal, orang tuanya sudah mencoba bertanya baik-baik, lho," imbuhnya dengan nada meledek.
Nais menghentikan langkah, ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Ucapan ayahnya memang seratus persen, ah, tidak. Mungkin delapan puluh persennya benar. Nais menoleh sambil cemberut, ia memekik, "Ah, Ayah! Habisnya Ayah, sih, belum aku bilang, sudah suudzon aja."
"Emm, emangnya mau bicara soal apa, Nai? Kita menghabiskan banyak sekali waktu di gazebo, kamu cuma manggut-manggut seperti orang sedang baca mantra," canda Setra membuat Nais menggeram dengan keras.
"Ayah! Sudah, ah! Selalu, begitu selalu!" Nais merajuk.
"Nais! Ah sudah, selalu begini," balas Setra mengejek lagi. Tawanya yang renyah membuat seluruh dermis Nais memerah masak. Setra seketika menatap dengan lembut anak gadisnya yang masih berdiri di anak tangga sambil menggenggam bogem sempurna.
"Pergilah, kalau mau les bahasa. Kalau kamu rasa les matematika belum cukup, boleh-boleh saja. Ayah tidak keberatan. Hanya saja, lelah dan pusing tanggung sendiri. Ayah hanya menanggung biayanya saja," celetuk Setra kontak buat Nais membelalak kaget. "Iya, mau daftar kapan? Biar Bunda temani. Nanti Ayah titip Bunda uangnya. Tapi, mulai besok uang makan Biko, Kurku dan Zelo kamu yang tanggung."
"Setuju!" Nais mengacungkan ibu jarinya. Gadis itu melayangkan kiss manjanya pada sang ayah sebelum berlari kocar-kacir meninggalkan anak tangga.
"Jiwa muda, belum lelah, belum mau nyerah," gumam Setra sembari geleng-geleng kepala.
Di kamarnya, Nais lekas membanting tubuh ke ranjang. Berguling-guling senang, pasalnya ia akan banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan akan lebih banyak punya topik pembicaraan untuk di kelas atau saat kumpul di klub nanti. Nais mengap-mengap saking senangnya. Ia berkata, "Bersyukurlah kamu, Nai. Anak lainnya belum tentu seberuntung kamu!"
"Iya, Nai. Kamu beruntung, jangan lupa sungkem kamu sama Ayah dan Bunda!" jawab Nais cekikikan.
"Iya, iya, tidak perlu diceramahi begitu, aku sudah tau, kok. Itu sudah kewajiban!" protes Nais sambil mencak-mencak tangannya di udara.
Nais bangkit, berjalan memutari kamarnya sambil tertawa kecil. Ia memainkan jari-jari tangannya sambil menggoyangkan kepala bersenandung riang. "Iya, kalau tau, harusnya jangan maksa, Nai. Huh, ayo bersiap, besok tidak boleh terlambat, minta saja harus dituruti, bangun pagi kudu dibangunkan. Hadeh!" gumamnya memasuki kamar mandi.
Senandung kecilnya masih belum selesai, sambil membasuh wajahnya, Nais sesekali tertawa meski tidak ada hal lucu yang ia pikir patut ditertawakan. Nais menyinggungkan bibirnya. Seketika ada perasaan yang membuat air mata turun perlahan basahi wajah yang memang sudah basah. Nais menangis tersedu-sedu sambil memegangi tepian wastafel.
"Tunggu, kenapa aku menangis?" Nais tak mampu mengangkat kepalanya. "Ayolah, tidak ada waktu untuk menangisi hal yang tidak tau ujudnya."
Nais menatap wajahnya di cermin, ia menyeka setiap air mata yang luruh memenuhi wajah putih kemerahannya. "Tidak ada yang dapat menyeka tangismu kecuali dua! Tanganmu dan hujan deras di atas kepalamu!" Nais tersenyum tegar sambil mengusap pantulan wajahnya di cermin. Gadis itu melengos tinggalkan kamar mandi, beranjak menuju meja belajar. Menyambut wewangian yang khas dari serpihan arang, sisa-sisa karet yang bergosokan dengan kertas juga aroma karsa dari aljabar dalam matematika.
Yah kutau, akar empat ratus adalah dua puluh.
Yah kutau, tidak ada yang benar-benar ingin tau caranya menghapus lukamu.
Nais tersenyum simpul.
🐈
Publikasi 16 Mei 2023
Halo, selamat mengarungi perjalanan masa SMA buat kalian yang mungkin sering mood kora-kora;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro