Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15 - Kalibrasi Hujan

Nais mendengarkan keluh kesah Nasta bersama senandung hujan di antara rupawannya senja dan murungnya wajah langit. Nasta tak mampu mengangkat kepalanya, begitu pun Nais, ia masih setia membelai punggung remaja laki-laki itu.

“Kamu boleh menangis, semua rasa sedih adalah anugrah. Menangis bukan tanda kita itu lemah. Hati kita bukan baja, bukan pula karang, hati kita itu kumpulan perasaan yang jika satu di antaranya mengembang, pastilah meledak.”

Nasta mengangkat kepalanya, ia menatap Nais dengan tatapan kecewa. “Kamu tidak merasa jijik ada laki-laki yang menangis di depanmu, Nai?” tanya Nasta dengan lirih.

“Kenapa harus jijik? Aku malah bangga kamu bisa menangis, tandanya kamu manusia, dan aku tidak salah mengagumimu sebagai manusia kuat,” jawab Nais sambil tersenyum.

Nasta memiringkan kepalanya canggung. “Tapi aku nangis, aku menye-menye, aku cengeng banget, Nai!” desis Nasta sembari mengembuskan napas pelan.

“Sekelas langit saja bisa menangis, kenapa kita tidak bisa? Seseorang bilang, menangis itu bukan hanya karena cengeng, atau merasa lemah. Sekelas yang mendapat rezeki nomplok segede gunung saja bisa menangis. Aku percaya seseorang bisa menangis sebab dia punya hati, Ta.”

Nais cekikikan sambil memalingkan wajahnya ke langit. “Barran pun, dia menangis, Ta. Padahal dia bilang singa jantan itu mengaum, pada kenyataannya setiap makhkul yang memiliki hati pasti akan menjumpai perasaan sedih juga menangis,” lirih Nais dengan lemah lembut.

Nasta memeluk Nais dengan lembut. “Terima kasih, Nai. Terima kasih karena kamu telah menjadi orang pertama yang melihat aku menangis dan mau mendengarkan aku,” bisik Nasta.

“Kembali kasih karena Nasta mau percaya padaku, terima kasih karena Nasta mau membagi tangis Nasta padaku sore ini,” Jawab Nais sambil tersenyum lebar.

*****

Aundari mendekap Nais yang memandang jauh ke langit, malam ini jendela anak gadisnya terbuka lebar padahal hujan masih belum benar-benar pergi dari bumi bersama angin malam yang dingin. Aundari menyuguhkan teh pahit dan bandros-kudapan berbahan tepung ketan, santen juga parutan kelapa.

“Terkadang Bunda takut kalau membiarkan Nais berada di satu tempat sendirian,” ujar Aundari memirsa dengan lekat-lekat.

Nais mengangkat alisnya sambil menyuapkan bandros yang masih hangat ke mulutnya sekali hap. “Kenapa, Bun?” tanya Nais dengan suara menggumam.

“Takut orang nyangkanya kamu itu dukun. Habisnya itu mulut kamu komat-kamit tidak karuan.” Aundari mengusap kepala Nais. “Emang sedang menghafal apa lagi sampai setiap waktu komat-kamit gitu?”

“Kata seseorang kalau tidak bicara pada dunia, maka bicaralah pada dirimu sendiri.” Nais tersenyum, ia kembali berujar, “hanya sedang latihan public speaking.”

“Kenapa tidak bicara pada Bunda saja?”

“Emm, tadinya mau sama kaca, tapi malu. Ini latihan sambil membayangkan ada lautan audiensi di sana,” kata Nais tertawa renyah sambil menunjuk ke arah langit yang membentang di atas kepala.

“Emang latihan untuk acara apa?”

“Ya, persiapan saja. Tidak untuk acara-acara tertentu.” Nais meneguk habis teh pahit di cangkir. Untuk beberapa saat ia terdiam, dalam benak, ia memang sedikit malu jika bibirnya komat-kamit tanpa sebab, seperti otaknya terus mengajak berbincang hal-hal random. Namun, kali ini ada alasan lain kenapa Nais demikian. Nais ingin ketika bertemu dan bicara dengan Nasta tak ada lagi canggung, kaku ataupun perasaan malu. Nais ingin Nasta nyaman bicara dengannya setelah sore tadi ia menangis dan berkisah tentang lukanya yang tersembunyi di balik senyuman.

“Emm, jangan lupa belajar Bahasa Jepang dengan rajin, jangan kecewakan Ayah. Kamu sudah janji akan selalu menjadi yang terbaik untuk dirimu sendiri, Nai.”

“Iya.”

«)“Setiap orang tua pasti bangga anaknya berprestasi. Tapi, bagi Bunda prestasi saja tidak cukup, Nais harus bisa bermanfaat untuk orang banyak dan jangan pelit ilmu, oke?”

Nais memeluk tubuh Aundari dengan erat. Ia menyesap aroma tubuh wanita itu dengan gemas, bagaimana tidak aroma tubuh sang bunda tak pernah berubah meski Nais semakin dewasa. Aroma penuh kasih dan sayangnya itu selalu sama. Semerbak aroma wangi malaikat tanpa sayap.

Di sudut kota Dago lainnya, Nasta berdiri di depan Jagawana setelah ketahuan berbohong. Nasta tidak berniat pada siapa pun karena hari ini sudah memang turun begitu deras. Nasta hanya mengatakan kalau ia ada di sekolah untuk mengerjakan sesuatu. Sayangnya, sang wali kelas tidak mengiyakan hal itu. Katanya, semua anak tidak punya kegiatan apa pun selain belajar mengajar seperti biasanya.

Jagawana menggebrak meja, ia menatap ke arah Nasta dengan picingan mata marah. Nasta hanya menunduk sambil memeluk pinggang. Jagawana mendengkus dengan ledakan amarah yang luar biasa membuat Nasta panas dingin. Nahasnya, meskipun Miswari mencoba untuk menyelamatkan Nasta tadi serangan malam ini, Jagawana tidak menganggap hal itu sebagai ajakan damai.

“Terus kamu ke mana?” tanya Jagawana dengan ketus.

"Nasta di sekolah, Nasta tidak ke mana-mana, Pa. Memang ada yang harus Nasta kerjakan!” jawab Nasta dengan suara gemetar. Dalam hati sudah tak sabar ingin menunjukkan bekas luka yang Nais obati. Akan tetapi, Nasta tidak seberani itu.

Jagawana menarik tangan Nasta dengan cengkraman kuat, tepat pada bekas luka kemarin akibat gagang pompa. Nasta meringis, tetapi ia juga tidak sanggup mengangkat kepalanya.

“Papa mau lihat tugasnya!” desak Jagawana menggusur Nasta menuju kamar remaja itu.

Seketika Nasta mengembuskan napasnya dengan pelan. Ia mengikuti bagaimana Jagawana menyeret setiap langkah kecilnya. Pintu ditendang Jagawana, tampak kamar Nasta yang rapi tanpa ada cacat. Jagawama mendorong tubuh Nasta hingga nyaris tersungkur.

“Tunjukkan tugas yang kamu kerjakan!” perintah Jagawana dengan tatapan picik, “Papa mau lihat!”

Nasta menarik napasnya, ia mendekati ranselnya yang menggantung di dinding dekat lemari buku. Nasta lekas mengeluarkan beberapa kertas HVS, ia pun membawa kertas itu pada Jagawana. Sambil tersenyum pedih disertai tatapan tegar, Nasta menyodorkan kertas tersebut.

“Aku dan temanku mencatat sekaligus membuat beberapa pintasan dari rumus-rumus matematika. Bukan hanya itu, kami menggabungkan gambar dan angka untuk mempermudah mengingat rumus. Kami sedang mempersiapkan diri untuk klub matematika. Kami ingin membuat klub khusus untuk mereka-mereka yang merasa kesulitan saat belajar matematika,” jelas Nasta dengan senyuman getir.

“Kalau begitu setidaknya kamu kabari Papa atau Mama!” Jagawana membuang muka dari hadapan Nasta. Pria itu melengos keluar dari kamar sang anak. “Buatkan saya kopi,” katanya pada Miswari yang berdiri canggung di ambang pintu.

“Baik, Kang.” Miswari mendelik ke arah Nasta. Bukannya mengikuti Jagawana, Miswari malah masuk ke kamar Nasta lalu mendaratkan telapak tangannya di pipi Nasta cukup keras.

“Sudah Mama bilang, jangan pernah kecewakan Papa! Paham tidak, Ta? Harus Mama apakan kamu supaya kamu bisa mengerti?” sulut Miswari, “Mama bilang jangan pernah sakit, jangan pernah gagal, jangan pernah membuat Papa marah, jangan membuat orang-orang memandangmu sebagai anak yang ckk ... Mama tidak suka kalau Papa memandang apa yang kamu lakukan sebagai sesuatu yang tidak berguna.”

Nasta menjatuhkan tubuhnya ke ranjang tatkala sang mama meninggalkan kamar. Ia memeluk lututnya yang gemetaran. Nasta menunduk patah hati.

*****

Suasana pagi di meja makan masih sama tegangnya dengan waktu semalam. Hujan pun masih enggan berkemas, mentari masih berbaring di singgasananya. Nasta menikmati sarapan pagi hari ini bersama Nizar yang diundang Jagawana sejak pukul enam pagi. Sebetulnya, tidak setiap hari Nizar ngampus pagi atau ada kelas dari jam tujuh, kadang kala ia masuk siang bisa jam sepuluh atau jam satu. Namun, karena Nizar aktif di organisasi, entah Hima atau UKM. Jagawana pikir, tidak masalah kalau ia antar jemput Nasta setiap paginya.

“Ayo, dimakan,” kata Miswari pada Nizar.

Laki-laki itu pun lekas menyantap sepiring nasi uduk dengan lauk ayam serundeng yang gurih. Nizar memandang ke arah Nasta yang terlihat tidak semanis biasanya.

“Tante masak sendiri? Sebanyak ini?” ujar Nizar menggulirkan kedua bola matanya menyapu setiap masakan yang disajikan di meja makan.

Miswari duduk di sebelah Nasta. "Sebagai ibu dan istri dari dua orang yang jarang sekali makan di luar rumah, dan pilih-pilih ... ya risikonya setiap hari begini,” jawab Miswari seraya tersenyum.

“Sedap!” puji Nizar cekikikan, “pantas saja Om Jagawana bugar, ternyata selain menjaga olahraganya, amunisinya juga tidak kaleng-kaleng,” goda Nizar mengerling ke arah Jagawana yang seketika saja mengembangkan senyum manis syarat makna.

“Masih pagi, Zar,” kata Jagawana mengangkat alis matanya. Pria itu pun melirik Miswari dengan tatapan picik.

“Ya, justru katanya kalau pagi lebih menyenangkan, hitung-hitungan pemanasan!” Nizar tertawa renyah. Miswari pun mendaratkan sendok di tangannya di punggung tangan Nizar bergantian ke tangan Jagawana.

“Hus, bicaranya kalian itu, ya. Sudah, ayo, sarapan, nanti terlambat!” kata Miswari.

Sementara itu, Nasta sibuk dengan sarapannya, sama sekali tidak mengangkat kepalanya dari atas piring. Ia makan, sayangnya, semua terasa seperti melintas saja di kerongkongannya. Ia kenyang, sayangnya, tak sedikit pun terasa memenuhi perutnya.

“Aku sudah selesai!” ujar Nasta membawa piring bekas makannya ke wastafel. “Kak, aku tunggu di depan, ya, mau pakai sepatu dulu!”

“Iya, sebentar lagi aku selesai!” sahut Nizar.

Jarum jam terus bergulir, setengah tujuh lebih lima Nasta dan Nizar baru berangkat. Nasta di balik boncengan Nizar tak banyak bicara. Walaupun Nizar memberikan segudang cerita. Nasta merasa tidak tertarik dan tidak punya banyak tenaga untuk menjawab.

Nizar menolehkan pandangannya ke arah spion, ia mendapati Nasta melamun. Nizar membunyikan klakson dan membuat Nasta terperanjat. “Kenapa, Ta?” tanya laki-laki itu.

“Tidak kenapa-napa memangnya kenapa?” balas Nasta malah balik bertanya.

“Tidak ada yang lebih menyenangkan di dunia ini selain menemukan teman yang satu resonansi,” kata Nizar tiba-tiba saja. Nasta tersenyum.

“Om Jagawana bilang kamu mau buat klub matematika. Emang matematika menyenangkan, ya?” tanya Nizar tertawa renyah.

“Gimana gurunya. Kalau asyik, ya, matematika bisa menyenangkan.” Nasta angkat bahu.

“Kamu tau tidak, matematika adalah ilmu yang dipakai hampir di semua bidang dalam kehidupan. Seseorang bilang, sesuatu yang paling tidak diminati adalah sesuatu yang sejatinya sangat diperlukan.”

Entah kenapa, Nasta tiba-tiba mengingat Nais dengan senyum manisnya. Kepala Nasta pun tertuntuk bersandar di punggung Nizar. Orang yang paling terlihat kuat adalah orang yang paling jago menyembunyikan luka hatinya.

🍉

Publikasi 12 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro