Bab 14 - Ucapkan Selamat Tinggal
Nizar mendaratkan telapak tangannya di pusat kepala Nasta sebelum anak itu naik nebeng boncengannya. Nizar yang duduk di depan kemudi memandang kedua bola mata Nasta yang sepertinya tidur dengan nyenyak.
“Aku dengar kamu sudah sehat, makanya aku jemput dan benar kamu sudah nunggu di pagar. Kenapa tidak kabari kalau hari ini mau masuk?” tanya Nizar yang benar-benar perhatian di mata Nasta.
“Niat hati mau coba ke sekolah naik bus kota, tapi keburu Kak Nizar datang,” jawab Nasta dengan celih.
“Emangnya berani?” Nizar memberikan helm kepada Nasta. “Belagu banget, baru saja sembuh sudah cari mati lagi!”
Nasta duduk di balik punggung Nizar, ia menatap pantulan wajah laki-laki di dapannya itu di spion. Nasta mendesis, “Berani lah!”
“Emm, ya sudah turun saja, aku berangkat sendiri saja, sudah setengah tujuh lebih sepuluh juga!” kelakar Nizar sambil mendelik nakal.
“Eh, jangan dong, nanti Tata terlambat, Kak!” pekik Nasta memukul punggung Nizar secara spontan sedang Nizar hanya tertawa renyah.
“Tidak bisa, papamu memintaku untuk selalu mengantarmu kalau bisa menjemputmu, sayangnya aku selalu kuliah sampai malam!” kata Nizar santun.
Dalam hati Nasta melenguh, janganlah, aku cukup terbelenggu dengan kehadiranmu setiap pagi kalau ditambah sore, makin saja berat kepalaku.
“Asal kamu tau, perasaan khawatir seseorang terkadang bisa membunuh orang lain perlahan-lahan … berlaku untuk perasaan sayang juga,” bisik Nizar tersenyum samar.
Nasta bersidekap di dada. “Apa maksud Kak Nizar?” tanyanya dengan raut kesal.
“Papamu, mungkin dia khawatir dan saking sayangnya padamu. Bayangkan, jika kamu pergi dan tidak kembali, menyakitkan bukan?”
“Ngawur!”
“Aku bicara soal kamu yang latihan tanpa henti sampai muntah darah dan rawat inap. Aku bicara soal ambisimu!”
Nasta menatap dingin.
*****
Salam hangat selalu Nasta dapatkan dari semua orang, dengan berbagai bentuk lengkung senyuman yang membuat dadanya terasa sakit. Nasta berjalan sambil menunduk, tubuhnya dibalut jaket bertudung warna hit bergaya whole thumb.
“Pagi Tata!” sapa sekawanan siswi, seketika Nasta mengangkat kepalanya sambil tersenyum.
“Morning, Nasta. Have a nice day, Tata!” celetuk kelompok siswi lainnya sembari cekikikan menyodorkan biskuit cokelat juga minuman ringan rasa rasberi.
“Pagi juga, terima kasih!” jawab Nasta dengan senyuman ramah sambil menerima bingkisan itu.
“Semangat latihan MP nanti sore, ya!” Mereka bersorak semangat. Nasta pun mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya.
Nasta melangkahkan kakinya ke arah koridor area kelas sebelas, dari belakang terasa seakan sepasang kaki lainnya mengikuti. Nasta tak mau berhenti, tetapi hatinya meminta untuk menoleh. Nasta menolehkan kepalanya, mendapati Nais tersenyum manis ke arahnya dengan begitu ceria. Nasta tersentak, sempat menoleh lagi ke arah depan. Remaja laki-laki itu mengatur napasnya perlahan tak sadar jika Nais sudah berjalan di samping dirinya.
“Sudah sehat, Ta? Tiga hari kelas sepi tanpa kamu, rasanya seperti tidak ada yang ….”
“Yang mengganggu nilaimu, ya?” Nasta menatap dengan saksama.
Raut wajah Nais berubah mendadak, sesaat setelahnya tersenyum lagi. “Kalau begitu aku duluan, ya? Aku harus menemui Barran!” potong Nais berjalan mendahului.
Nasta berdiri di balik setiap langkah Nais, gadis itu terlihat menunduk setelah percakapan ringan barusan. Nasta meremas bingkisan biskut di tangannya, ia pun meremas kotak minuman perisa rasberi di tangan kirinya dengan sekuat tenaga hingga terburai. Tetesan airnya mengotori lantai juga membuat lengket jemari.
Nasta beranjak, ia memutar tubuhnya menuju kamar mandi. Di sepanjang langkah, Nasta merasa kesal. Dari grup yang dibuat wali kelas, Nais terus menunjukkan perkembangannya. Ia terus mendominasi nilai matematika, ia juga semakin aktif melakukan diskusi di grup, bahkan ia tak segan membagi ilmu dan kepandaiannya mengolah rumus pada teman-teman sekelas.
Di kelas, Nais seketika duduk dengan manis sambil mengeluarkan kotak sarapannya yang berisi singkong keju yang aromatik gurih. Meja Nais seketika diserbu anak-anak satu kelas, termasuk Zia dan Sahia yang baru saja nonggol dari kelasnya di sebelah.
“Nai, besok bawa sarapan kayak gini sekilo napa! Sekotak gini doang nggak bikin kenyang,” protes satu siswa sambil menjilat sisa bumbu di jarinya.
“Nanti aku bilang Bunda, ya.” Nais twrsenyum ceria.
“Nai, bawa bandros lagi, dong, enak tuh potongan kelapanya!”
“Eh, ulen buatan bundamu juga enak sekali, rasa beras ketannya berasa banget, tidak bikin enek!”
“Iya, iya, gandasturi yang waktu itu kamu bawa juga tidak kalah enaknya! Meni gurih pisan!”
“Ah, terfavorit mah nasi tutug oncom, ngeunah pisan, Nai! Hayu, urang botram deui!”
“Hihi, kalian bisa saja bikin aku senang. Nanti aku bilangin Bunda, siapa tau Ayah mau mancing, nanti aku minta Bunda buat liwetan biar kita botram lagi!” seru Nais dengan wajah berseri-seri.
Nasta memasuki kelas tepat saat Nais melemparkan pandangan matanya ke arah pintu. Nasta merasakan dadanya bergetar begitu hebat. Ucapannya di koridor beberapa waktu lalu, apakah membuatnya tersinggung?
“Sini bergabung, Nais bawa singkong bledug!” kata anak-anak menyambut Nasta. Remaja laki-laki itu pun seketika bergabung, ikut menikmati kudapan gurih itu cukup lahap, walaupun tak bisa makan banyak karena berminyak.
Nais yang hanya berdiri melihat teman-teman kelasnya menikmati hasil masakan sang bunda tersenyum manis, ia juga merasa tersentuh saja tatkala Nasta ikut menikmati. Seperti yang diketahui semua orang, kadang Nasta tidak makan jajanan atau kudapan sembarangan.
“Jangan lupa habiskan, besok aku bawa bekal lagi!” seru Nais riang.
*****
Senja menjadi lebih pekat, padahal hujan turun dengan derasnya. Nasta yang duduk di bangku kayu—di luar kelas, di bawah jendela—mengayun-ayunkan kedua kakinya. Nais duduk di sebelahnya sambil mencondongkan tubuhnya sedikit bungkuk, dengan kedua tangan bertumpu di bangku. Nais melirik wajah Nasta yang ditutup tudung jaket hitamnya.
“Kamu terlihat kusut saat pelajaran matematika tadi, kenapa, belum sehat betul, ya?” lontar Nais dengan suara lembut.
“Bukannya kamu senang kalau aku kusut? Aku pikir orang yang suka matematika tidak suka ada orang lain yang lebih pandai darinya!” jawab Nasta tanpa menoleh.
“Kamu tau tidak, kenapa matematika itu tidak banyak orang suka?” tanya Nais menatap saksama sedangkan Nasta hanya menarik sebelah sudut bibirnya kecut. “Karena tidak semua orang mengerti.”
Nasta membalik wajahnya pada Nais, keduanya saling memandang, bahkan ketika kilat menyambar wajah bumi sekali pun keduanya bergeming.
“Seperti dirimu, yang tersenyum, diam-diam mengancam, diam-diam menginginkan peringkat satu di kelas, bukan begitu? Ah, atau jangan-jangan kamu ingin menjadi juara umum IPA?”
Nais sedikit terkejut oleh pernyataan Nasta, tetapi gadis itu malah tersenyum manis. “Hari ini, kamu bersembunyi di balik jaket bertudung, menyembunyikan tanganmu, tapi aku melihat luka itu mengintip dari sana!” kata Nais sambil menunjuk kelingking Nasta.
Nasta seketika menarik tangannya terkepal di samping tubuhnya. “Ini bukan urusanmu,” desis Nasta kesal.
“Sejak dulu melihatmu seperti kumbang lumut. Bersembunyi, tapi saat keluar, sayapmu memancarkan cahayanya.” Nais memujinya.
Nasta memalingkan wajahnya merasakan hawa panas menyeruak keluar dari dada. Debar suara jantungnya terdengar bersahutan gemuruh hujan. Ini adalah kali pertama dalam hidup Nasta duduk berdua dengan seorang gadis. Bodohnya, Nasta sadar kalau gadis di sebelahnya adalah satu-satunya gadis yang membuatnya merasa berdebar sambil merasa takut.
“Kamu tau anemon laut? Orang-orang memandang aku mungkin menarik dan cantik, tapi kamu memandang aku membahayakan, itu hal yang adil,” ujar Nais dengan nada bicara yang dingin.
“Lantas kenapa kamu mencoba tersenyum kepadaku jika bukan karena ada maksud tertentu?” tanya Nasta mendesak.
“Apa salah jika aku ingin mengenali dirimu atau belajar darimu? Dari siswa yang begitu berperan penting dalam pandangan bahwa anak laki-laki itu tidak bisa pintar, tidak bisa berprestasi seperi anak perempuan? Tidak bisa rajin dan hanya memikirkan main, main, dan nongkrong?”
Ucapan Nais sukses membuat Nasta bangkit dari duduknya. Ia melirik Nais dengan pandangan jijik. Nasta berkata, “Tidak bisa, karena aku tidak berniat membagi semuanya pada siapa pun. Hidupku untuk memburu dunia.”
”Padahal aku mengagumimu,” lirih Nais membuat Nasta pergi begitu saja.
“Mimpiku begitu berarti, Nai. Seperti bernapas di dasar lautan, semua napasku begitu berarti, dan aku tidak berniat membagikan semuanya untuk siapa pun.”
“Tapi aku tau, Nasta tidak seperti itu, lho. Nasta yang selalu tersenyum, dia tidak pernah keberatan jika teman-teman memintanya untuk berdiskusi soal PR, kata Nugi, Barran juga Gara … Nasta itu guru yang tidak berpakaian guru, dia teman yang bisa memberikan bahu, otak juga isi otaknya pada mereka yang tanpa minta balasan.”
“Tapi kalian tidak menyadari betapa kecilnya aku, betapa terpuruknya aku, bukan?”
Nais memegangi tangan Nasta, ia pun menggulung ban pergelangan jaket whole thumb yang remaja laki-laki itu kenakan. Terlihat bekas luka keunguan di atas dermisnya. Nais menuntun Nasta kembali duduk di bangku. Gadis itu merogoh ranselnya, ia mengeluarkan kotak P3K yang hampir mirip dengan kotak pensil ke bangku. Sebuah botol berwarna cokelat dengan tutup hijau ia keluarkan.
Aroma minyak urut begitu pekat bergumul di udara. Nasta meringis merasa pening dengan baunya, tetapi Nais dengan lembutnya mengoleskan minyak berwarna cokelat gelap itu ke tangan Nasta. Ia sesekali memikatnya pelan, meski begitu Nasta meringis sambil memandangi bagaimana jemari Nais menyentuh setiap lukanya.
“Sejak pagi luka ini menggusik diriku, tapi aku tau, pasti kamu tidak mau orang-orang melihat ini. Apakah aku orang pertama yang menyentuh lukamu?”
Nasta mendaratkan kepalanya di bahu Nais sambil menangis. Sebelah tangannya mencoba menutupi mata, sambil berusaha kuat untuk tidak menangis lebih keras. Sayangnya, Nasta merasa kalau rasa sukanya pada Nais tidaklan sia-sia. Entah mengapa, Nasta merasa kalau Nais benar-benar membuatnya nyaman.
“Sedari lama aku selalu melihat dirimu, ikon klub pecinta hewan, sosok paling rajin di kelas 10E, siswi paling tidak caper di sekolah, kamu sosok yang membuat hatiku berdegup cepat. Aku merasakannya hari ini … kalau kamu itu cinta monyetku.”
Nais mengusap lembut kepala Nasta. “Pasti lelah untukmu, Ta!”
Nasta tersentak sambil mendongak berpandangan dengan Nais dalam jarak sepersekian jengkal saja.
🐒
Publikasi 10 Juni 2023
Tidak terasa bab 13 lagi huhuhuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro