Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13 - Sudah Waktunya Pergi

Belajar, bergadang, belajar, mabuk rumus, belajar, darah tinggi, turun naik darah rendah. Begitu rutinitas yang Nasta lalui dan berusaha ia sembunyikan dari sang papa. Nasta terus memisahkan diri dengan mengambil banyak latihan berbeda-beda setiap waktunya. Ia yang bekerja keras bagaikan kerbau bajak sawah, tidak peduli bagaimana perutnya terasa sakit dan ulu hatinya nyeri bagaikan orang ingin muntah.

Nasta hanya tidak suka dengan masalah yang terus datang dalam hidupnya. Di mana ternyata semua teman-teman di kelas adalah orang-orang hebat. Mereka pandai di mata pelajaran tertentu, mereka juga punya pesona yang diam-diam mereka kubur saat Nasta membuka mata yang kemudian mereka ledakkan di udara saat Nasta tutup mata. Nasta benci rasanya dikalahkan diam-diam. Seperti dikhianati oleh eloknya ombak, pada akhirnya Nasta tenggelam dalam perasaan lelah dan muak jadi satu.

Nasta terus berlari memutari lapangan, bahkan ketika latihan belum dimulai dan anak-anak serta para pelatih belum datang, Nasta sudah melakukan sprint sebanyak dua puluh dua kali sambil mengatur napasnya yang mulai keluar jalur. Panas matahari tidak lagi jadi menghalang, meski batu-batu kecil di permukaan lapangan sesekali menusuk telapak kakinya, Nasta tidak indahkan. Isi kepalanya pecah dengan berbagai tuntutan untuk menjadi lebih sempurna dari Nasta yang sempurna.

Nasta berlari semakin cepat hingga rasa sakit menarik otot betisnya dan paha bagian belakangnya menegang. Nasta ambruk dengan posisi tangan terhimpit tubuh juga kepala membentur permukaan lapangan yang kasar. Bau anyir pun tercium, menyeruduk rongga tenggorokannya yang kering.

“Nasta?!” teriak anak-anak Merpati Putih juga Syawal yang baru saja hendak memasuki lapangan, para satpam pun berbondong-bondong menghampiri.

“Nasta!” pekik Syawal segera memboyong tubuh Nasta yang terkulai lemas hampir kehilangan sadarnya.

*****

Satu yang membuat Jagawana merasa ditampar juniornya adalah perkataan sederhana yang terkesan menguliti dermis wajahnya.

“Dok, sepertinya Nasta sering kelelahan dan memaksakan ototnya bekerja keras,”  katanya dengan senyuman singkat.

“Anak saya olahraga dengan teratur. Dia juga mengerti cara menjaga kesehatan otot, organ vital, juga ketahanan tubuhnya. Dia ini atlet!” cecar Jagawana dengan emosian.

Nasta yang berbaring di ranjang yang terasa reyot dan dingin hanya bisa memandang kosong ke arah jendela. Tidur seorang diri di dalam ruangan serba berwarna hijau telur asin dan bau obat bius.  Dalam keadaan tidur tetapi sadar tak sadar, rumah sakit mewah ini terasa seperti jalan menuju neraka zamharir … dingin yang merontokkan sekujur tubuh remaja laki-laki itu.

“Otot bahu dan betis juga pahanya over stretching, suhu tubuhnya juga over heat, Dokter pasti paham kenapa ketika kita kelelahan jantung kita berdebar-debar lebih cepat dari biasanya, karena darah, udara yang memompa berkali lipat lebih cepat, dan panas suhu tubuh kita pun meningkat, kapiler pun bekerja keras di dalam tubuh, menyebabkan beberapa bagian dari dermis kita memerah masak,” papar dokter muda itu menatap dengan canggung.

“Jangan ajari saya soal itu!” bentak Jagawana. “Keluar kamu dari kamar anak saya! Dia butuh istirahat!” perintah Jagawana dengan tatapan mata berang.

“Baik, Dok!” ucapnya santun.

Nasta sebelumnya mendengar kalau dirinya cedera, ia tak bisa melakukan beberapa kegiatan yang memakai otot bahu juga kakinya. Namun, Jagawana keukeuh kalau Nasta baik-baik saja dengan apa yang ia lakukan dengan Merpati Putih. Benar, semua yang ada dalam Merpati Putih menenangkan jiwa Nasta, apalagi jika sudah masuk materi pendinginan dan semua tentang napas. Nasta merasa sangat damai dalam setiap desis napasnya yang keluar lewat celah gigi. Ia juga merasa semua energi buruk dalam dirinya sirna dalam setiap tarikan napasnya lewat kedua lubang hidungnya berganti energi positif yang memenuhi seluruh paru juga toraksnya.

Hanya saja, akhir-akhir ini nafsu menguasi dirinya, bukan lagi menikmati dalam keindahan dan ketenangan yang disuguhkan dalam setiap getaran yang ada. Ego mendorong Nasta terjun ke jurang nafsu, di mana hanya ada rasa ingin bergerak lebih banyak, berlatih lebih dan lebih untuk menikmati kemampuan dirinya, mengalahkan semua masalah yang setiap detik menyapa. Sayangnya, Nasta kalap. Ia tak mampu dengan semua yang ada dalam dasar hatinya. Perasaan yang terus mengatakan kalau mati dan mati adalah jalan terakhir untuk menghentikan rasa sakitnya ini.

Miswari membuka tirai kamar Nasta yang seketika menampilkan keadaan sebuah kawasan tidak terlalu elit tidak juga kumuh, tampak ada jalan rel kereta api juga hamparan lahan hijau yang sedang dibangun. Jagawana menarik tangan sang istri.

“Kamu bisa jaga anakku untuk hari ini? Sepertinya aku akan sibuk,” kata Jagawana dengan tatapan sendu.

“Tata juga anak saya, Kang. Kenapa harus dimintai begitu, memangnya saya akan ke mana sampai kamu berpikir begitu, Kang?” tanya Miswari dengan senyuman manis.

“Akang hanya khawatir, nanti kamu tidak bisa hadir ke acara posbindu dan posyandu, pasti ibu-ibu komplek menunggumu,” ucap Jagawana sambil mengecup lembut kening Miswari.

“Saya tau itu, tapi Tata juga anak saya, Kang. Saya yang melahirkannya, masa iya, saya tinggalkan.” Miswari memeluk erat tubuh sang suami.

“Kalau begitu aku pamit, kamu juga harus sehat, ya?” lirih Jagawana dengan lembut. Miswari pun mengangguk pelan.

Miswari menghadapakan tubuhnya ke jendela, sedang Jagawana kembali tugas. Beberapa saat setelah suaminya itu pergi, hanya ada rasa sepi yang mengisi lorong-lorong di hati Miswari. Ia menoleh saat Nasta mengerang di ranjang untuk bangun.

Miswari berjalan ke arah ranjang, dengan tatapan dingin dan air muka kecut. Miswari menampar Nasta. “Harus berapa kali Mama bilang sama kamu kalau kamu jangan sakit, jangan sakit, jangan sakit! Anak tidak tau diri. Tidak tau diuntung! Bikin malu orang tua saja,” maki Miswari.¹

“Ma—”

“Mama tidak akan pernah membelamu, kalau-kalau papamu murka. Itu tanggung jawabmu! Ingat, Ta, tugasmu adalah membanggakan kami. Bukan malah mempermalukan seperti ini!”

Nasta merasakan dadanya bergemuruh, ia hanya mampu menatap gamang pada selimut putih yang menutupi kakinya. Jika sang mama sudah mengeluarkan seluruh kosa kata bahasa ibunya, pertanda ia sudah tak mampu membendung perasaan marah serta murkanya.

“Ma … Tata ….”

“Terserah,” tandas Miswari keluar dari kamar inap Nasta.

Tak berselang lama, suara pintu diketuk. Terlihat Nizar membawa kantong kresek berwarna putih di tangannya. Ia yang masih mengenakan kemeja Hima kampusnya itu berjalan dengan senyuman yang membawa hawa segar.

“Gimana kabarmu?” sapa Nizar.

“Baik. Kakak kenapa ada di sini?” tanya Nasta dengan tatapan gelisah.

“Dari ibu negara, beliau bilang anak Bu Miswari masuk rumah sakit. Ya sudah aku mampir, tuh, aku bawa es kepala alpukat,” ungkap Nizar dengan tatapan manja.

Nasta mengangguk, tanpa sadar kepalanya tertunduk lemah. Beberapa detik setelahnya ia mendongkrak mendapati Nizar memirsa wajahnya. Tangan Nizar mendarat di belakang kepala Nasta.

Tina peurih jadi peurah. Anak merak kukuncungan¹. Tapi, apakah harus melukai diri sendiri seperti ini, Ta?” lontar Nizar.

Nasta hanya berdiam diri, di tengah hening yang tercipta menjadi batas antara Nizar dan dirinya.

*****

Nasta kembali ke rumah setelah mendapat beberapa perawatan dari sang mama setelah menerima seabrek nasehat dan makian dari wanita itu. Nasta meringkuk di atas bangku kayu menikmati udara petang di bawah langit Bandung hari ini. Jagawana tidak marah, entah kerena ia masih sibuk dengan tugas di rumah sakit, yang jelas Nasta tidak mendapatkan umpatan kemarahan Jagawana ketika dirinya berbaring di rumah sakit tadi.

Nasta turun dari bangku, kembali ke kamar lalu berbaring. Ia merasakan seluruh tangan kirinya sakit, begitu tangan kanannya terasa pegal. Otot betis dan pahanya juga terasa mangkel dengan sedikit sensasi sama-sama pegal.

Nasta menggulirkan kedua bola matanya ke sudut kamar. Ada dua buah kaki kayu berbentuk segitiga—balok kayu tegak lurus dengan dua kaki—yang memanggil namanya. Nasta beranjak dari ranjang, ia membawa dua kayu itu ke balkon. Nasta kembali ke kamar, membuka laci paling bawah lemari tempat menyimpan ransel dan perlengkapan olahraga. Nasta mengambil tiga gagang pompa yang lekas ia bawa ke balkon. Nasta menyimpan tiga gagang pompa itu berbaring menjadi jembatan pada kedua kaki kayu tersebut.

Nasta mengatur napasnya, ia mencoba untuk berkonsentrasi. Remaja laki-laki itu ingin memastikan kalau dirinya tidak sakit, ia sehat, dan ia bisa membuktikan bahwa ia belum kalah dari rasa sakit yang saat ini rasakan. Napas berembus kencang, Nasta mengangkat tangannya ke udara sebelum ia banting ke tubuh gagang pompa itu. Sayangnya, hanya bunyi nyaring antara tulang dan besi yang terdengar.

Nasta mengulum napasnya kesal, ia kembali menghujam tubuh gagang pompa dengan perasaan kesalnya yang tak lagi bisa dibentung. Berulang kali ia coba, tetapi lagi-lagi hanya suara nyaring dua benda itu saja yang terdengar. Rona merah yang berangsur keunguan menghiasi sisi kanan permukaan tangan Nasta. Rasa sakit nyut-nyutan pun andil menyelimuti tangan Nasta yang bergetar hebat.

Air mata Nasta berjatuhan, ia masih tidak menyerah untuk mematahkan gagang pompa tersebut. Sayangnya, ia gagal total. Nasta terjatuh duduk di lantai sambil memeluk rasa sakitnya. Hujan merinai, memercik ke balkon juga wajah Nasta. Perlahan-lahan hingga langit memuntahkan seluruh isi perutnya benar-benar menenggelamkan Nasta yang berbaring di balkon sambil menangis.

Di sudut kota Dago lainnya, Nais merasa berat. Bibirnya komat-kamit bersamaan jemari telunjuknya menusuk-nusuk bulir-bulir air hujan di balik kaca jendela. Nais menerawang langit, ia mengingat bagaimana Nasta latihan sore itu secara terpisah, dan hari ini grup dihebohkan dengan kabar Nasta jatuh di lapangan. Nais sedikitnya kecewa karena Nasta terkena musibah hanya selang lima menit dari angkot yang ditumpanginya jalan dari sekolah menuju rumah.

“Komat-kamit terus, kenapa, sih, Nai? Deep talk boleh deep talk kalau ada Bunda kenapa harus ngomong ke jendela?” seloroh Aundari sambil membelai rambut Nais.

“Tidak sedang kenapa-napa, kok, Bun. Nais sedang belajar bahasa Jepang, belajar kotoba-nya.”

“Coba, coba, Bunda ingin dengar,” pinta Aundari.

Ano … watashi no namae wa Nais desu. Juu roku sai desu. Eto … neko ga totemo suki desu.” Nais berucap sambil cengengesan, Aundari pun ikut cekikikan.

Yoroshiku onegaishimasu, juga,” seloroh Setra yang baru saja muncul di ambang pintu.

🎐

Tidak sunting dulu, ya. Kburu paket habis.
Publikasi 08 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro