Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12 - Bukan Bisikan, Panggilan untuk Mati

Nais merasakan tubuhnya begitu segar saat ia diantar sang bunda ke sekolah dengan motor tidak menggunakan mobil seperti biasanya. Memasuki gerbang, Nais mendapati Nasta tengah bercengkrama dengan seorang laki-laki yang begitu gagah mengenakan almamater dari universitas terbeken di Bandung, kampus elit yang dikenal dengan lulusannya arsitektur serta tekniknya yang tak pernah gagal.

Nais berpandangan dengan Nasta saat mahasiswa yang mengantar Nasta itu melengos dari gerbang sekolah. Kedua remaja itu saling menyapa, tersenyum manis bahkan berjalan berjalan masuk gerbang.

“Itu kakakmu, Ta?” tanya Nais dengan binar mata penasaran. Nasta menggelengkan kepalanya. “O … eheh … lupa kalau kamu anak tunggal sepertiku. Maaf, maaf,” kata Nais dengan wajah bersemu merah jambu.

“Tidak apa, kok.”

“Oh, iya, Ta, gimana PR matematika yang ditugaskan sama Bu Idina? Kamu sudah selesai belum?” todong Nais dengan semangat.

“Sudah. Kamu?”

“Sudah, tapi ada satu yang belum aku jawab. Susah soalnya!” jawab Nais dengan santai.

Nasta memandang wajah Nais dari samping, ada perasaan yang membuat detak jantungnya terpacu. Rasa khawatir yang membuat Nasta bersuara dengan lirih. Remaja laki-laki itu bertanya, “Masa?”

“Iya, susah. Aku tidak mengerti saja dengan soalnya. Aku menemukan jawabannya, tetapi Ayah bilang kalau hasil tepat didapatkan dari cara yang salah tidak akan sempurna.” Nais berdecak senang, “Ilmu matematika, kan, pasti, kalau jalannya adalah jawabannya salah juga. Seribu banding satu jika sebuah soal dengan rumus yang salah hasilnya benar.”

Nasta tidak percaya, ia merasa Nais tengah menyembunyikan sebuah benderang yang sebentar lagi akan gadis itu lempar ke arahnya. Nasta merasakan dadanya semakin dipenuhi rasa sakit. Remaja laki-laki itu menatap dalam senyuman Nais.

“Kamu cinta pada matematika karena apa?” tanya Nasta sedikit meninggi, tayapan matanya pun terlihat berkobar emosional.

Nais tersenyum. “Menyukai apa yang dibenci dunia. Aku mencintai apa yang dipandang menyulitkan dan membuat kepala pusing. Percayalah matematika itu menyenangkan,” jelas Nais.

“Lalu … kenapa kamu tidak mengerjakan semua soalnya? Kalau kamu merasa matematika itu menyenangkan?” desak Nasta menatap semakin emosional. Raut wajahnya pun berubah tegang.

“Kalau aku tidak bisa, apakah harus memaksakan diri untuk bisa? Aku tidak membuang waktu untuk itu. Aku mengerjakan soal yang lainnya, dan melewati soal itu, bukan tanpa sebab, aku memang tidak menemukan rumus yang pas, meski dengan rumus yang sama soal yang lain bisa aku kerjakan.”

Nais menyentuh bahu Nasta, remaja laki-laki itu seketika menghindar. “Maaf,” kata Nais dengan lembut.

“Kamu mau membantu aku? Katamu, kamu sudah mengerjakan semua soalnya. Kalau kamu tidak keberatan, boleh aku minta diajari olehmu?”

“Maaf, aku juga bukan orang yang pandai di mata pelajaran matematika. Aku duluan!” tandas Nasta meninggal Nais yang setia tersenyum dengan tatapan lemah lembut.

Dalam hati, Nasta merasa kalau Nais tidak sedang minta diajari, gadis itu tengah menyusun sesuatu yang Nasta terka kalau itu akan menghancurkan hidupnya sebagai juara umum 1 angkatan kelas 10 lalu. Nasta berjalan dengan cepat meninggalkan Nais.

*****

Angin meniupkan anak-anak rambut Nais, gadis itu berdiri di depan jendela kelas Barran, keduanya tidak lagi satu kelas, tetapi masih sering bercengkrama bersama. Nais bersandar ke dinding, di sebelah Barran yang tinggi gagah, Nais yang tidak terlalu tinggi itu tampak seperti kurcaci di sebelah raksasa.

“Nasta ternyata pintar juga, ya, nilai matematinya sempurna. PR yang dia kerjakan nilai seratus,” celetuk Nais dengan tatapan kosong ke langit.

“Dia emang pinter, kalau tidak pintar mana bisa jadi juara umum dan masuk IPA 1?“ jawab Barran dengan tawa meremehkan.

“Dah ah, aku ke kelas. Pulangnya jangan lupa bareng kalau kamu tidak ada latihan basket,” pamit Nais seraya menepuk-nepuk bahu Barran yang terasa padat.

“Aku ada janji sama seseorang, kamu pulang sendirian tidak apa? Tapi, bisa, sih, bareng. Cuma aku kayaknya turun di Padjajaran soalnya mau ke IP, gimana?” tutur Barran sambil manyun.

“Tidak usah deh, aku pulang sendiri saja. Nanti ganggu waktu kencan kamu!” jawab Nais tertawa cengengesan.

“Bukan pacar, kok. Hanya bertemu saudari satu ayahku, katanya pengin nonton film sambil ke Time Zone dan beli buku di Gramedia, sama mau beli cat kuku di Strawberry.” Barran tampak malu-malu kucing.

“Owalah, apalagi gitu, aku pulang sendiri saja, selamat menikmati waktu saling mengenal satu sama lain, Ran. Semangat!” seru Nais tersenyum lebar tanpa sadar kepalanya miring-miring sambil mengudarakan kepalan tangannya heboh. Barran mengacak-acak rambut Nais. “Ya sudah, aku ke kelas, dah!”

Di kelas, Nasta tengah duduk dengan serius sembari membaca sebuah buku tentang sejarah Kota Andalusia. Melihat itu, Nais merasa kalau anak itu benar-benar istimewa, bibir Nais tak sadar telah melengkung sempurna. Merasa seperti diawasi kamera pengawas, kepala Nasta mendongak, mendapati Nais memandangnya dengan raut wajah bodoh. Nasta seketika menunduk di saat yang sama Nais tersenyum kikuk. Ia pun bergegas duduk di kursinya.

Nais mengembuskan napasnya, Nasta pun sama. Rasanya benar-benar kacau, apakah Nais tengah memindai apa yang dirinya lakukan? Kalau iya, Nasta mungkin akan kehilangan apa yang biasa ia lakukan sebagai rutinitasnya. Nasta melirik Nais yang asyik memandang ke arah jendela. Gemuruh memanggil Nasta, lempar bukunya, lempar bukunya!

Nasta bangkit dari kursi sambil meremas buku di tangannya dengan erat. Remaja laki-laki itu berjalan keluar dari kelas. Ia berusaha untuk mengatur napasnya dengan lemah lembut. Sayangnya, ia merasa ada yang semakin bergemuruh saat ia memandang wajah Nais dari balik jendela kelas. Wajah cantiknya, senyum manis juga sorot mata ayunya benar-benar membuat kepala juga dada Nasta bergejolak.

“Woi, mau mabar tidak?” celetuk Nugi dan Saraga yang terlihat bergerombol di depan kelas Barran, mereka duduk-duduk lesehan sambil menaikkan ponsel mereka.

“Aku tidak bawa ponsel. Dah, ada buku yang harus aku cari di perpustakaan, besok lagi deh!” cetus Nasta meninggalkan koridor depan kelas.

Sementara itu, Nais merasa bertanya-tanya mengenai Nasta. Ia misterius, tetapi senyumannya selalu telihat memesona. Sorot matanya terkadang temaram, tetapi pandangannya melumpuhkan. Bibir Nais komat-kamit bak dukun baca mantra. Saat asyik mengoceh dengan isi kepalanya, meja Nais didatangi seorang gadis, siapa lagi kalau bukan Sahia, ia yang kini menjadi bagian dari kelas IPS 2 dengan nilai raport pas-pasan.

Sahia duduk di sebelah Nais, ia merelakan jam istirahatnya hanya untuk mengunjungi sahabatnya yang nyaris tak pernah keluar kelas karena selalu bekal makan siang. Sahia mencomot bibit Nais, gadis nyentrik agaknya boyish itu menyenggol rusuk Nais.

“Kebiasaan, orang lain bisa mikir aneh-aneh kalau bibirmu komat-kamit kayak bah dukun,” bisik Sahia membuat Nais terkejut.

“Ih, kamu, kapan datang?” Nais membelalak.

“Dari tadi, kamunya saja, tuh, melamun terus. Ada masalah? Biasanya kalau bibirmu sudah keriting begitu, pasti lagi banyak masalah?” simpul Sahia asal cakap.

Nais tertawa renyah, ia menampar lembut pipi Sahia. Embusan napas Nais yang lembut menerpa wajah Sahia. Nais pun berkata, “Aku hanya sedang menghafal, hari ini ada ulangan harian, dan jawaban yang diharapkan adalah textbook.”

Sahia bergidik ngeri, ia mencengkeram kedua bahu Nais dengan tatapan mata terbuka lebar. “Gila, sungguh gila, dikata muridnya robot apa? Emang ulangan harian mata pelajaran apa?” tanya Sahia dengan hebohnya.

“Kimia, tabel periodik senyawa dan unsur, lengkap dengan susunannya berikut massanya.” Nais balas menatap dengan cemerlang.

“Serem!” pekik Sahia dengan raut wajah cemberut kecut. Alhasil, Nais pun tertawa.

Apakah Nasta pergi untuk menghafal? Apakah ia menghindari keramaian untuk mempertajam ingatannya? Dia benar-benar sukar ditebak. Nais mencubit pipi Sahia. “Lebih serem lagi kalau aku ulangannya barengan kamu, pasti ricuh telingaku dengan suara bisik-bisikmu,” sindir Nais.

“Hih, mulutmu asem kayak keteknya Barran!” Kedua sahabat itu tertawa dengan nikmat.

*****

Nasta mendaratkan kepalan tangannya di dinding kamar mandi. Seluruh warga sekolah sudah bubar, tetapi ia masih harus di sekolah untuk latihan. Persetan dengan Jagawana, padahal tekanan darah Nasta baik-baik saja. Rasanya, wajar saja naik karena bergadang satu dua hari.

Nasta kembali memukul dinding, ia tak sadar jika hasil pukulannya itu membuat  benjolan buku jarinya—tulang yang menonjol saat jari ditekuk atau dkepal—memerah dan memar.

Aku benci, aku marah, aku muak.
Pukul lebih keras, Ta, pukul saja, tidak berguna, dasar tidak berguna.

Suara langkah kaki mendekati pintu kamar mandi, Nasta lekas menyembunyikan tangannya di dalam saku celana kelabunya. Ia berdiri di depan cermin sambil berpura-pura menyisir rambutnya dengan jemari. Terlihat Andhra berjalan membawa tas ransel berwarna kopi susu.

“Hai, Ta, kebetulan sekali kamu di sini. Hari ini Mas Syawal tidak bisa, jadi dia meminta aku untuk mengawasi latihanmu,” kata Andhra dengan senyuman manis.

“Mas tidak sedang bekerja memang?” tanya Nasta dengan tatapan sendu.

Andhra tersenyum seulas benang, laki-laki itu menghadapkan tubuh juga wajahnya ke cermin, ia pun memasuh tangannya dengan air kran. “Ada, tapi Syawal tidak mau mengecewakan papamu,” jawab laki-laki itu.

“Kenapa Mas mengorbankan pekerjaan Mas demi papaku? Memang itu ada untungnya untuk Mas?” Nasta mengepalkan kedua tangannya yang bersembunyi di balik saku.

“Selagi itu dipercayai bisa membuat dirimu baik-baik saja, dan bisa membuat papamu merasa lega kalau anaknya sehat, itu bukan masalah. Sudah tugas kami para pelatih untuk memastikan murid-muridnya dalam keadaan sehat jiwa dan raga,” tutur Andhra dengan suara serak basahnya yang lembut serta terdengar hangat.

Nasta hanya diam, kedua bola matanya terguncang, batinnya bergejolak. Nasta menarik satu tangannya keluar dari saku.

Pukul cerminnya, tidak perlu sandiwara lagi. Katakan, Ta, katakan!

Nasta mendaratkan tangannya di bahu Andhra. Remaja laki-laki itu pun memeluknya dengan erat, meski di balik punggung Andhra tangannya kesusahan mengatur emosi yang semakin membara menjadi bulatan bogem sempurna.

“Terima kasih, maaf kalau papaku membuat semua orang kerepotan!” rintih Nasta.

Andhra mengusap-usap punggung Nasta yang lebar, tak lupa ia juga menjitak pusat kepala Nasta dengan mesra. “Tidak, bintang idola yang satu ini tidak pernah membuat orang lain repot, kok. Ayo bersiap, tetapi jika kamu lelah, kamu boleh pulang,” kata Andhra.

“Katakan saja, hari ini kita latihan napas untuk membangun kembali jiwa kita yang kosong menjadi penuh energi positif.” Andhra kembali menjitak pusat kepala Nasta.

“Iya, Mas.”

🦓

Update malam hari;)
Publikasi 06 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro