Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1 - Kenapa Tidak Pulang

Mati!

Hidup!

Gantung!
Lompat? Apakah harus melompat?

Bodoh, tidak dulu!

Manik-manik ikan berwarna biru memancarkan cahayanya di bawah terik matahari, menari-nari tersibak angin, menggantung di bawah langit-langit balkon. Di antara angin siang dan udara petang, langit sore ini masih terlihat indah sebab matahari masih sibuk mondar-mandir di balik awan. Seorang remaja laki-laki duduk di atas bangku kayu ia melamun jauh, masih memainkan duri-duri kaktus mini di atas meja dengan ujung telunjuknya, yang tanpa disadari membuat permukaan buku jarinya memerah.

Embusan napas terdengar berat, mata cokelat pudarnya terlihat memuram. Ia memejamkan mata sambil menekan permukaan tangan pada tubuh kaktus mini tersebut. Beberapa jenak ia menikmati embusan napasnya lalu dengan sekuat tenaga membanting pot berbahan plastik berbentuk mangkuk berwarna oranye cerah di tangannya ke lantai. Alhasil, tanaman kaktus mini di dalamnya terburai di lantai. Ia membuka mata, tampak beberapa duri halus menghiasi dermis telapak tangannya yang memerah.

Remaja laki-laki itu meninggalkan balkon, masuk kamar kemudian duduk di bangku depan meja belajar. Ia menyalakan PC, menyumpal kedua daun telinganya dengan headphone, meniup-niup mikrofon yang melintang dari pipi hingga ke sudut bibirnya. Ia menunduk bosan sambil menunggu, belum sempurna layar PC menyala, dering ponsel membangunkan kepalanya.

Remaja laki-laki itu beranjak dari tempatnya duduk, melangkahkan kaki dengan lunglai ke ranjang. Beberapa saat hanya diam memandang ke arah ponselnya yang tergeletak di sprei. Remaja laki-laki itu pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sprei yang mana menindih benda pipih itu dan nyaris menelan suara deringnya yang gaduh.

"Aku pikir ganti nomor juga tidak akan merubah banyak hal dalam hidupku. Sial!" gumamnya dengan tatapan kosong ke arah langit-langit kamarnya yang bergambar awan putih di tengah langit biru. Ia terhanyut perasaan sepi, di balik mural langit-langit kamarnya, ia menjerit dalam hati; rasanya terlalu jauh menggapai singgasana si empunya semesta. Padahal ingin sudahi saja segalanya.

Ckk, memuakkan. Tiba-tiba, rasa gatal nan pedih membangunkan alam bawah sadarnya. Remaja laki-laki itu segera bangkit dan berlari ke kamar mandi yang letaknya di sebelah lemari pakaian. Beberapa jenak, ia mengamati telapak tangannya yang semakin memerah juga sedikit menimbulkan rasa nyut-nyutan.

"Oh, tangan berhargaku!" pekiknya sambil buru-buru membasuh tangan di bawah guyuran air keran. Ia menumpahkan sabun cair pada telapak tangan, lalu menggosoknya sekuat tenaga untuk menghilangkan sisa duri juga rasa gatal nan pedih yang menempel pada dermisnya.

"Gila! Apa yang aku lakukan?" gumamnya sambil komat-kamit meringsut pada buih-buih sabun di tangan. Walaupun demikian, matanya berbinar cemerlang. Ia kembali menggosok kedua telapak tangannya untuk beberapa saat, lalu lari kocar-kacir kembali ke ranjang saat ponselnya berbunyi lagi.

"Halo?" sapa remaja laki-laki itu dengan santun, ia meneguk ludahnya sambil sedikit menjauhkan layar ponselnya dari daun telinga. "Iya, Pa?" katanya masih serupa.

"Nasta Patri Jayagiri, kenapa lama sekali mengangkat panggilan dari Papa? Apakah seberat itu ponselmu? Seberat barbel seribu kilo?" ujar seorang pria di balik sambungan telepon. Suaranya yang gagah terkesan ngebas dengan sedikit sentuhan serak parau membuat remaja laki-laki itu meneguk ludah lagi.

"Maaf, Papa. Aku baru selesai membersihkan tubuh, baru pulang latihan," jawab remaja laki-laki itu dengan suara ramah. Lembut suaranya yang terdengar manis membuat pria itu berdeham. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Tidak ada. Papa pikir kamu keluyuran, soalnya tumben sekali tidak mengabari kalau sudah pulang, biasanya langsung post a pic ke Whatsapp?"

"Maaf, tidak sempat. Soalnya keburu mandi," sahutnya dengan suara lebih santai, "tapi, yang pasti aku tidak akan keluryuan, kok."

"Jangan lupa makan vitamin dan minum jus sayuran yang mamamu buat pagi tadi, akhir-akhir ini banyak anak muda yang terkena penyakit jantung, diabetes, kolesterol, GERD karena pola hidup yang tidak sehat. Awas kalau kamu jadi salah satunya!" desak pria itu terdengar sedikit membentak kecil.

"Iya." Nasta menjawab ringkas. Ia menatap celih pada jendela kamarnya yang terbuka menyibak wajah langit yang berangsur-angsur memucat tanpa sinaran senja.

Aku ... namaku Nasta Patri Jayagiri seorang anak tunggal dari keluarga Jagawana Jentara, anak dari seorang dokter spesialis bedah jantung. Juga anak dari Miswari Gandariyanti. Emm, mengagumkan. Remaja laki-laki itu menarik kedua sudut bibirnya ringkas.

Nasta mendesis kecil, nyaris seperti bisikan angin malam. Suaranya hilang ditelan senyum miring yang melengkung di wajah. "Nanti aku kabari kalau aku sudah ngantuk dan siap tidur!" kata Nasta dengan acuh tak acuh.

"Baiklah, kalau begitu jangan lupa untuk mengunci pintu, karena mamamu baru akan pulang lusa dari rumah saudarinya, selepas acara peringatan dua puluh tahun meninggalnya kakungmu," ujarnya sebelum menutup panggilan telepon. "Ingat pesan Papa baik-baik, ya?"

"Siap, laksanakan, Pak Dokter!" seru Nasta dengan semangat, meski wajahnya tampak tidak sejalan dengan suaranya yang meriah memecah sunyi.

Apa banget, sih? Lagian aku juga tidak akan kabur begitu saja tanpa membawa uang, bisa mati sendirian.

Nasta, panggil saja demikian. Remaja laki-laki yang kini berusia enam belas tahun dan sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA Negeri di Bandung itu mendesis pelan. Sosok siswa kelas satu SMA di kelas 10B itu melempar ponselnya sembarang di ranjang. Remaja laki-laki itu pun mendekati meja belajar, duduk termangu di depan layar PC sambil mendengarkan musik yang muncul tiba-tiba dari mulutnya sendiri.

New Page dari Intersection Tokyo, OST dari anime Black Clover itu mengalun lembut dari bibirnya, sedang masing-masing tangan sibuk pada tetikus juga papan ketik yang menyala warna warni saat sebuah gim daring muncul memenuhi layar. Nasta mengetuk-ngetuk kaki seirama permainan jemari pada tetikus dan papan ketik.

"Astaga! Aku hampir melupakannya!" Nasta bangkit dari tempatnya duduk, berpogoh-pogoh menuju balkon dan dengan sigap ia bersihkan tanaman kaktus yang dilempar sampai terburai beberapa saat lalu. "Aduh, bagaimana ini, bagaimana kalau Papa bertanya, tidak, tidak, bagaimana kalau Papa menyadari kaktus kesayanganku terluka?" Senyum miring terukir.

Nasta menganga sejenak, matanya bergulir tidak tentu arah. "Heh, kenapa repot?" monolog remaja laki-laki itu memasukkan kembali ceceran tanah ke dalam pot, yang kemudian ia tancabkan lagi kaktus di tengahnya sampai terlihat rapi.

Nasta mengendus udara yang mulai bercampur antara lembab dan kering dipertengahan petang. "Tololnya aku, harusnya aku saja yang membanting diri jatuh dari balkon, dan kenapa aku juga peduli pada hidup kaktus ini, harusnya kubiarkan mati saja!" gerutuknya sambil memukul-mukul kepala dengan sekuat tenaga.

Namun, beberapa saat kemudian ia tersenyum lebar. Nasta berteriak sekuat tenaga, setelahnya ia tertawa renyah sambil menjatuhkan tubuh ke lantai. "Begini rasanya jadi anak seorang dokter, mungkin besok Papa akan bilang daripada dibanting lebih baik dijus, lumayan bukan, tanaman kaktus kaya akan vitamin C, E, A, kalsium, karetonoid serta minyak esensial," Nasta tersenyum miring.

*****

Aroma sawi, lemon dan daun kale memenuhi seluruh penciuman Nasta. Remaja laki-laki itu menatap jenuh pada minuman berwarna hijau tidak terlalu terang itu. Ia meminumnya sekali teguk, lalu melengos dari dapur ke halaman samping rumah, di mana sebuah lahan kecil ditumbuhi rumput liar dan beberapa tanaman hias menyambutnya. Nasta biasa melakukan latihan pernapasan di sana, terkadang jika sedang teduh, ia bisa tiduran bahkan sampai mimpi indah saking nikmatinya. Sayang, tadi ia pulang lebih sore dan suasana hatinya juga sedang tidak kondusif.

Malam menyapa, aroma dinginnya yang menusuk menemani Nasta duduk di teras pinggir rumah sambil memainkan kaki di atas rumput yang sedikit lembab. Langit Bandung di jam tujuh malam ini sudah tidak secantik petang tadi. Entah karena keadaan pikiran Nasta yang sedang kacau atau karena memang demikian. Nasta hanya mendapati hamparan hitam yang pekat. Nasta menjatuhkan tubuhnya berbaring di lantai tanpa alas, menerawang wajah langit yang gulita.

"Apa yang akan aku sambut esok pagi? Apakah pagi yang sama dengan nuansa monokrom yang monoton. Ataukah pagi baru yang membawa kegilaan dalam kepalaku kabur? Dunia ini sebercanda itu, rupanya!" Nasta mengajak angin malam bercanda dengan senyuman lelahnya. Nasta menikmati bagaimana dingin menggelitik seluruh tubuh, ia juga menikmati bagaimana wangi rumput liar terjebak dalam penciumannya.

"Jika ini hari bebas, kenapa aku masih dihadapkan pada perasaan diawasi CCTV dua puluh empat jam?"

"Jika ini hari bebas, kenapa aku masih disandingkan dengan perkataan post a pic? Jelas-jelas sudah jiwaku terpatri di rumah ini."

Nasta cekikikan kemudian, tetapi matanya tampak berkaca-kaca. Senyum di bibir gemetarnya mengatakan bahwa ia tak lagi mampu bicara panjang lebar pada langit. Remaja laki-laki itu menendang-nendang udara hampa dengan kesal. Ia terus tertawa terbahak-bahak tetapi suaranya malah terdengar menyayat, ada yang tak mampu ditahan dalam dada. Nasta menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terlipat menyilang. Nasta tak beranjak meski angin berbuah tipuan kencang menerbangkan sepi. Percik-percik air mata langit pun terasa menyentuh dermisnya.

"Turunlah, turun saja. Jangan malu-malu! Tenggelamkan batas warasku dengan kegilaan. Meski terkadang kehadiranmu hanya membuatku semakin ragu dan hanyut dalam perasaan ingin mati saja!"

Nasta berteriak sekuat tenaga hingga buat wajah memerah masak, otot-otot leher pun menegang tampak mau putus. Keringat dan rinai air mata langit bercampur penuhi wajahnya. Nasta masih tidak beranjak. Ia menatap wajah gulita langit yang semakin tak menunjukkan eksistensinya. Kelopak mata remaja laki-laki itu terkunci rapat saat air mata langit berbuah amukan badai.

Nasta tak mampu menghadangnya, tetapi ia juga tak mampu menghindarinya sebab dingin yang semula menusuk berubah dekapan hangat rekaan berbisik, tidurlah dengan lelap, biar kubasuh hatimu, tidurlah dengan lelap, esok hal pertama yang kau lihat adalah mentari, kujamin itu. Nasta terhayut kidung langit yang membelah seluruh penjuru Bandung. Meskipun ia paham, bisikan itu hanya candaan dari hujan malam ini untuk menghibur protesnya pada setiap hal yang terjadi dari pagi sampai petang.

🌻

Publikasi perdana, 15 Mei 2023

a.n : Selamat siang, teman-teman penghuni dunia oranye. Tetangga Asa dan Meta hadir di sini. Sila nikmati karya ini sambil makan kudapan manis;)

Karya ini sedang mengikuti Nulis Maraton Rex Publishing Batch 3 dengan tema "Mental Health" #Nulismaratonrexpublishing2023

Nah, aku akan sedikit share jadwal update kisah Nasta dan dunianya. Catat di kalender, ya.

*JADWAL UPLOAD*

🌻BAB 1 pada Senin, 15 Mei 2023.
🌻BAB 2 pada Selasa, 16 Mei 2023
🌻BAB 3 pada Rabu, 17 Mei 2023
🌻BAB 4 pada Kamis 18 Mei 2023
dst setiap dua hari sekali. (Dengan kata lain, BAB 5 akan update pada Sabtu, 20 Mei 2023 dan seterusnya, untuk jam menyesuaikan ehehe;))

Oke, mungkin itu yang aku sampaikan di pembukaan ini. Selamat nikmati kisah Nasta dan dunianya, tinggalkan jejakmu, berikan kesan dan pesanmu, jangan lupa bagikan kepada semua temanmu, ya👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro