Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 44

"Di waktu seperti ini, belajarlah menyendiri, karena tidak semua yang kamu cintai akan selalu singgah dan selalu ada."

(Said Ramadhan Al-Buthi)

🕊

Setelah menempuh perjalanan panjang, Fikri, Elea, dan Faza sudah tiba di kediaman Zidan. Afra tidak kunjung mengangkat pandangannya sejak dimulai pengajian. Sesekali atensinya bahkan tampak kosong. Wajahnya pucat bukan main, sambil memegang mushaf, tangannya bergetar. Terkadang mertuanya membisiki, menenangkan.

Setelah pengajian selesai, Fikri, Faza, serta Elea menghampiri Afra. Perempuan dalam balutan abaya hitam itu tersenyum hambar, membuat tiga mereka meringis ngilu. Mata belok Afra seperti kehilangan cahayanya, lenyap tidak bersisa. Di pipinya, masih menjejak bekas air mata. Baik Fikri, Faza, maupun Elea hanya diam membisu, tidak berani memulai kata, takut membuat retak lagi hati Afra.

"Afra udah larang Mas Zidan pergi, tapi Mas Zidan nggak mau dengar," celetuknya tiba-tiba. Sontak ketiga pasang mata kini beralih pada Afra.

Faza menelan ludah. Ia sudah akan menangis, tetapi urung karena Fikri melarang. Biar Afra saja yang menangis. Tugas mereka adalah untuk menjadi sandaran, bukan untuk memancing perhatian.

"Dia jadi yatim," sambungnya lagi sambil mengelus perut yang sudah membulat sempurna. Ini adalah usia kandungan yang kedelapan. Butuh waktu sebulan lagi agar bayi itu lahir dan menyapa dunia. Namun, saat menyapa semesta nanti, tidak ada ayahnya di sana. Betapa perihnya hati mereka membayangkan hal tersebut.

"Afra baru bahagia sama Mas Zidan, loh, udah pergi aja. Kenapa buru-buru, ya?"

Afra melirik satu per satu tiga orang di hadapannya. Ketika atensinya jatuh pada Fikri, ia tersenyum.

"Mas Zidan itu baik. Baik banget."

Fikri mengangguk, tidak menafikan perkataan Afra sama sekali.

"Sekarang, Afra harus ke mana, ya? Afra harus bergantung ke siapa?"

"Ke Allah, ya, Mbak," jawab Faza halus. Ia merengkuh tubuh Afra yang kaku dan hangat. "Mbak juga boleh bergantung ke aku. Mbak boleh bergantung ke Mas Fikri."

Afra tidak menjawab. Tangannya kemudian melingkar, memeluk erat pinggang Faza, kemudian terisak-isak di sana. Hingga lima menit kemudian, posisi mereka tidak berubah. Satu-satunya yang berubah adalah jilbab Faza yang mulai basah.

🕊

"Mas Fikri, sering-sering bantu Mbak Afra, ya?" ucap Faza sambil mengoleskan lotion di kakinya. Fikri hanya berdeham sebagai jawaban.

"Kasihan Mbak Afra. Bakal butuh banget figur suami di saat-saat kayak gini, belum lagi nanti kalau baby-nya lahir."

"Afra ada orang tuanya, Faza. Dia juga punya mertua di sana. Dia nggak butuh Mas."

"Ih, ini beda."

"Beda gimana?"

Faza menerawang langit-langit. "Beda pokoknya. Mas Fikri harus banyak bantu Mbak Afra. Harus sering ada di samping Mbak Afra. Nanti kalau Mbak Afra tiba-tiba butuh, gimana?"

Fikri menutup laptop dan melepas kacamatanya. "Faza, lihat Mas dulu."

Faza meletakkan lotion kemudian memutar tubuh menghadap Fikri.

"Mas paham kamu prihatin sama kondisi Afra. Mas paham, saat ini kamu lagi mikirin gimana rasanya kalau kamu ada di posisi Afra. Mas paham kalau kamu tulus bantu Afra, tapi kamu juga harus paham batasan kamu. Mas itu masih suami kamu, bukan kewajiban Mas urusin Afra. Nanti kalau timbul fitnah gimana?"

Faza mengerucutkan bibir.

"Mas nggak suka sama narasi kamu 'Harus sering ada di samping Mbak Afra'. Yang Mas tanggung itu kamu, bukan Afra. Pas akad, Mas nyebutnya nama kamu, bukan Afra. Mas nggak akan mengabaikan Afra, kalau itu maunya kamu, tapi intensitas Mas ketemu Afra juga harus diminimalisir supaya nggak jadi fitnah. Mas akan bantu kalau memang cuma Mas yang bisa bantu, tapi nggak semua hal harus Mas yang persiapkan.

"Suami Afra memang udah nggak ada, tapi kita harus tetap menghormati almarhum. Meski Mas Zidan udah pergi, Afra nggak otomatis jadi tanggungan Mas. Mas bukan siapa-siapanya Afra. Paham, ya, cantiknya Mas?" Fikri tersenyum lembut sebelum mendaratkan kecupan ringan di kening Faza, membuat gadis itu melongo.

"Uwaaah, aku salah tingkah! Ngomongnya jangan begitu, ih!"

Fikri tergelak melihat istrinya kelimpungan menutup wajah. Pipinya tampak merah, matanya membola indah, sedangkan bibirnya mengerucut lucu.

"Kebiasaan kalo bujuk aku. Tapi boleh, kan, kalau aku sering main ke tempatnya Mbak Afra? Kata Mbak Afra juga, dia mau pindah ke rumah bapaknya minggu depan."

Fikri mengangguk. "Asal jangan kecapekan."

Faza mengangguk. "Soalnya mau sekalian."

"Sekalian apa?"

"Sekalian belajar tentang kehamilan. Untuk persiapan sembilan bulan ke depan," balas Faza sambil menahan senyum.

Sementara itu, Fikri termenung sebentar saat berusaha memahami ucapan istrinya. Kepalanya kadang cepat tanggap mengambil kesimpulan, tetapi entah mengapa sangat lambat dalam merespons kode dari Faza.

"Mas juga belajar dari Mas Harsa, deh. Sembilan bulan lagi, Mas bakal jadi ayah, loh."

Tidak tahu mengapa, air mata lelaki itu meluncur turun.

🕊

"Jangan lari-lari!"

"Kamu pergi dan pulang kerja biar Mas yang antar jemput. Jangan naik angkot."

"Bajunya kepanjangan, kalau nanti jatuh gimana?"

"Meskipun mual, harus tetap minum susu sama vitamin, ya."

"Belanjaannya Mas yang bawa aja. Kamu nggak boleh angkat yang berat-berat."

"Nggak usah beresin rumah, biar Mas aja."

"Nggak usah masak, biar Mas aja."

"Pegang tangan Mas. Kalau kepeleset gimana?"

"Jangan kebanyakan jajan, Mafaza. Banyak micin, nggak baik."

"Selama hamil, kamu ambil cuti aja, gimana?"

"Jangan keluar rumah kalau urusannya nggak mendesak."

"Hari ini ke rumah Afra lagi? Nggak usah, ya. Kan kemarin udah."

Banyak lagi peringatan-peringatan Fikri yang diterima Faza selama dua bulan terakhir. Padahal perutnya masih rata, tetapi lelaki itu sudah overprotektif. Kadang perempuan itu merasa bahagia sebab merasa sangat diperhatikan, tetapi tidak jarang ia juga menjadi jengkel sebab kebebasannya mulai sangat dibatasi oleh sang suami. Ini tidak boleh, itu tidak boleh.

Setiap malam, sebelum tidur, Fikri juga sering memperhatikan wajah sang istri yang cepat sekali terlelap. Sesekali ia mengusap kepala Faza, menyalurkan doa pada Tuhan untuk selalu melindungi bidadarinya. Terkadang, lelaki itu gelisah karena cemas. Takut kelak, mereka akan berjalan terpisah. Akhirnya, lelaki itu tertidur dengan beban kegelisahan yang tidak kunjung reda.

"Mas Fikri! Ayok, ih, buruan! Mbak Afra udah hampir bukaan sepuluh!" teriak Faza dari teras. Fikri tersentak, sesaat seperti lupa bahwa dirinya sejak tadi tengah menunggu Faza bersiap-siap.

Lelaki itu bangkit, menghampiri Faza yang sudah tidak sabaran. "Mas aja yang pergi. Kamu di rumah aja, ya?"

"Aku ikut."

"Udah malam, Faza. Nggak bagus buat kamu."

"Aku ikut," tegas Faza, tidak luluh oleh larangan Fikri.

"Faza, dengerin Mas, ya? Nanti kalau sakit gimana? Gimana kalau masuk angin?"

"Ya sakit aja. Ntar minum obat. Nggak ribet, tuh."

"Nggak boleh sembarangan minum obat. Ingat, kamu ini lagi-"

"Aku tau! Aku tau harus jaga kesehatan karena lagi hamil! Tapi Mas ini kenapa, sih? Aku nggak suka, ya, Mas larang-larang aku. Mentang-mentang Mas itu suamiku, jadi Mas ngerasa boleh ngambil kebebasan aku gitu aja? Apa salahnya, sih? Aku juga nggak pengen kenapa-kenapa! Mas egois banget, tau, nggak?"

"Maksud Mas-"

"Aku mau ini, nggak boleh, itu juga nggak boleh! Sama Mas, semuanya nggak boleh aku lakuin! Mas mikir, nggak, sih? Kadang aku tuh capek dikekang! Sekalian aja aku dirantai, dipasung!"

"Mas takut!" bentak Fikri, membuat Faza yang kaget seketika mematung. "Mas takut kamu kenapa-kenapa. Mas takut kamu terluka dan berdarah! Mas takut kamu kelelahan! Apa kata dokter? Kandungan kamu berisiko. Kamu paham, nggak, sih, soal kesehatan kamu? Kamu, kan, yang pengen punya anak? Mas izinin, tapi kamu ngeyel!"

"Loh? Sekarang Mas nyalahin aku? Mas nyalahin aku karena pengen punya anak? Mas ngigau atau gimana, hah? Bukannya Mas juga mau? Kok jadinya aku kayak salah banget di mata Mas? Ngeyel apanya? Padahal apa yang Mas bilang selalu aku turutin, lho!"

"Udah, Mafaza."

"Udah apa? Udah, terima aja kalau aku memang salah? Udah, terima aja kalau Mas Fikri mau kekang-kekang aku? Mas Fikri nggak mikir? Aku juga capek. Setiap pagi muntah-muntah, tapi tetap maksain minum susu karena Mas Fikri suruh. Badan aku lebih cepat capek, tapi aku nggak dibolehin ke mana-mana buat refreshing, sebentar aja-"

"Mafaza!" sentak Fikri, nadanya lebih tinggi daripada biasanya. Mendengar itu, Faza mencicit. Air matanya mulai banjir. Sementara itu, Fikri menormalkan napas, menyelaraskan kembali ritme jantungnya agar stabil lagi. Ia sadar bentakannya membuat Faza takut.

Hening di antara mereka terjeda sedikit lama hingga klakson mobil Harsa terdengar dari luar pagar rumah mereka.

"Kamu pergi sama Mbak Elea aja. Mas jalan sendiri."

"M-Mas, jangan lupa pakai jaket."

Tanpa menghiraukan perkataan Faza, Fikri menyalakan motor dan pergi meninggalkan istrinya yang masih tergugu. Lelaki itu sengaja mengambil jalan memutar agar tiba lebih lama. Isi kepalanya sedang bertengkar saat ini, membiarkan tubuh diterpa angin malam, berharap bayu bisa membawa serta kegundahannya.

Kecepatan motornya diturunkan, lelaki itu sesekali mendesah berat ketika pikiran negatifnya muncul lagi. Memang ia pernah bilang akan mengizinkan Faza mengandung. Namun, ketika pertama kali kabar bahwa istrinya tengah hamil terucap, lelaki itu gundah bukan main. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mengerti. Selama ini, yang dilakukannya hanyalah memberi perlindungan, tetapi sang istri tidak dapat menangkap maksud baiknya.

Satu jam lamanya Fikri berputar-putar di alun-alun. Ia baru akan melanjutkan putaran yang entah ke berapa ketika Elea menelepon, mengatakan bawa bayi Afra sudah lahir sejak satu jam yang lalu. Lelaki itu terpaksa melenggang menuju jalan rumah sakit walaupun untuk saat ini ia sedang tidak ingin bertemu Faza.

Fikri berhenti tepat di depan ruang bersalin. Sudah ramai di sana. Baik orang tua maupun mertua Afra sudah hadir, bergantian masuk untuk menjenguk. Lelaki itu tersenyum kikuk ketika tidak sengaja bertatap wajah dengan bapak Afra. Canggung sekali senyum mereka.

Selain itu, Faza sejak tadi menunduk, menggenggam tangan Elea. Sepasang manusia itu sama-sama tidak berani saling tatap hingga ketika dipersilakan masuk, Elea sengaja tetap di luar, membiarkan adik dan iparnya masuk berdua tanpa peduli betapa dinginnya situasi mereka saat ini.

Afra menyambut bahagia, pun eskpresi Faza yang berubah menjadi cerah kala atensinya menangkap sosok bayi di pelukan Afra. Bayi laki-laki yang sehat, lahir pada pukul 21.45 WIB.

"Anteng banget, ya, Mbak?"

Afra tersenyum. "Iya, baru habis minum susu."

"Mbak udah kasih nama?"

Afra mengangguk. "Namanya Thariq." Afra menatap langit-langit, kemudian sebulir air mata jatuh di pipinya. "Mas Zidan pengen kasih nama itu kalau anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, mau dikasih nama Najma."

Rasanya getir sekali ucapan Afra. Perempuan yang sudah sah menjadi seorang ibu itu cepat-cepat menyeka wajah ketika air matanya susul menyusul tidak henti.

"Artinya 'bintang', Faza. Katanya biar anak ini nanti bisa jadi penunjuk arah untuk orang tuanya. Biar tetap bisa bersinar dalam kegelapan. Duh, maaf, jadi mellow."

Sekarang, bukan hanya Afra yang menangis, sebab Faza pun ikut-ikutan menitikkan air mata. Bahkan sebelum hamil pun, Faza cenderung cepat merasakan kesedihan orang lain, apalagi ketika mengandung. Emosinya sangat labil. Sedikit-sedikit menangis, sedikit-sedikit marah.

"Thariq bakal terang banget cahayanya nanti. Ya, Nak? Soalnya ibunya hebat." Faza mengusap pelan kepala bayi laki-laki yang tidur lelap dalam dekapan Afra.

"Amin. Makasih, Aunty."

Faza cengar-cengir dipanggil begitu.

"Mas Fikri sariawan?"

"Hah?" Kaget sebab namanya tiba-tiba disebut oleh Afra, Fikri hanya planga-plongo.

"Diam aja soalnya dari tadi."

Lelaki itu tertawa canggung.

"Masuk angin dia, Mbak." Faza yang menjawab, asal ceplas-ceplos saja. Tidak etis rasanya jika sikap mereka yang memang sedang tidak akur merusak suasana. Afra mengangguk lalu tergelak.

"Faza mau coba gendong? Mumpung Ariq lagi tidur."

Faza menggeleng. "Masih merah banget, Mbak. Ngeri aku tuh."

"Nggak apa-apa. Kamu kan udah biasa pegang bayi."

Meski ragu, Faza tetap melangkah. Tadi memang sempat takut salah, tetapi seperti yang Afra katakan, Faza memang sudah ahli menggendong bayi.

Thariq sempat menggeliat ketika dekapan ibunya berpindah, tetapi tetap diam dalam gendongan Faza, tidak protes dan tidak menangis sama sekali. Justru yang saat ini menangis adalah Faza. Lagi-lagi, merasakan tangannya dihuni oleh satu makhluk mungil itu menyentuh bagian terdalam hatinya.

Fikri sebaliknya, hanya termenung melihat interaksi sang istri dengan Thariq. Begitu damai dan bahagia. Bisakah, di kesempatan berikutnya, ia menyaksikan hal itu lagi?

🕊🕊🕊

Yoru kembali lagi~
Vote komennya jangan ketinggalan, yaa. 😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro