Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 43

"Jadi apa yang menindas kita? Itu adalah pikiran kita sendiri, jelas!"

(Epictetus)

🕊

"Tragis banget, mana belum sampe sehari kalian nikah," komentar Elea setelah Fikri menyelesaikan ceritanya.

Lelaki itu baru menyelesaikan salat Asar ketika memutuskan untuk mendatangi rumah sang kakak dan menceritakan perihal keinginan Faza.

Begitulah adanya. Sebab didesak oleh Faza, Fikri terpaksa mengantar sang istri malam itu juga ke rumah Abah. Betapa tidak enak suasana malam itu, baik kakak perempuan dan kakak lelaki Faza menatapnya tajam. Entah apa yang mereka pikirkan  mengenai lelaki yang baru saja menjadi ipar mereka. Untungnya Abah tetap tenang seperti biasa, hanya menepuk-nepuk bahu menantunya, sambil tersenyum menyuruh agar bersabar.

Rumah sederhana yang dibelinya beberapa waktu lalu dari hasil kerja keras dan warisan Ahmad menjadi lebih sepi. Pun hati lelaki itu yang merasa gusar, tidak tenang. Ada keinginan untuk menjemput Faza kembali, tetapi sudut hatinya yang lain berbisik, mungkin saja gadis itu sedang butuh waktu.

"Udah hari kedua, Mbak. Aku harus gimana?"

Elea mengedikkan bahu. "Jangan tanya Mbak. Ini masalah kalian, udah saatnya kamu belajar memutuskan. Diskusi lagi sama Faza. Pahami keinginan dia. Toh, niatnya juga pengen bahagian kamu, kan?"

Fikri mencelos. "Dari awal aku udah bilang kalau aku nggak nuntut apa pun dari dia. Dia setuju, Mbak. Dia setuju untuk ngadopsi anak aja daripada harus melahirkan."

Elea bersandar di sofa, tangannya bersedekap di depan dada, dan atensinya menatap lurus ke arah sang adik.

"Sebenarnya yang kamu mau apa, Fik?"

Fikri tercenung, ia menghela napas panjang. Entahlah, yang ada di pikirannya saat ini adalah masa depan Faza. Lelaki itu ingin membahagiakan istrinya, menjalani hari dan menua bersama, memijak bumi untuk bertemu surga.

"Aku nggak mau kehilangan Faza. Itu aja, Mbak. Karena alasan itu juga aku menikahi dia."

Elea mengangguk-angguk.

"Terus, keinginan Faza apa? Kamu udah tanya?"

Fikri menunduk.

"Sebelum nikah, dia nggak bilang apa-apa, Mbak. Nggak ada omongannya yang secara spesifik menjelaskan keinginannya, tapi malam itu ... dia tiba-tiba bilang pengen punya anak kandung."

Ya, lelaki itu tahu persis keinginan sang istri. Oleh sebab itu, kepalanya tertunduk dan tidak sanggup diangkat. Sepersekian detik kemudian, ada yang luruh dari mata lelaki itu, mengalir melewati pipinya yang lekas diseka. Elea memangkas jarak, mengusap punggung Fikri.

"Jemput Faza, bicarain lagi. Bicarain semua ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, harapan, dan rencana masa depan kalian. Kalau ada yang berubah seiring berjalannya hubungan kalian, dihadapi berdua. Yang Mbak tau, salah satu dari kalian nggak boleh egois. Kamu punya harapan, Faza punya keinginan, dan kalian bertanggung jawab atas pilihan kalian masing-masing."

Fikri masih terpaku ketika Elea memeluknya hangat.

"Karena Mbak juga perempuan, Mbak paham bahwa nggak ada yang salah dari keinginan Faza," bisiknya halus.

🕊

Fikri ragu-ragu mendorong pintu pagar rumah Abah. Namun, seperti kata Elea, ia harus menyelesaikan persoalan mereka secepatnya. Derit besi pagar seperti tidak menginterupsi pemilik rumah. Biasanya Abah menunggu di luar, tetapi sosok itu tidak ada di sana. Fikri melirik arlojinya. Pantas saja, sudah hampir magrib. Abah biasanya menunggu waktu magrib di masjid.

Ia berjalan pelan setelah memarkirkan motornya di bawah pohon mangga. Diketuknya pintu rumah, berharap ada orang di sana. Gayung bersambut, Faza muncul dari balik pintu. Tatapan mereka sempat bertaut lama sebelum setetes air mata Faza mengalir, disusul bulir-bulir lain.

Ia meraih tangan Fikri, menempelkan punggung tangan tersebut di dahi, kemudian dikecupnya lama. Angin yang berembus terasa berhenti, seperti memberi jeda pada mereka. Waktu seakan melambat ketika rasa rindu dua insan itu beradu temu. Fikri meraih kepala Faza, kemudian dikecupnya kening sang istri dengan lembut.

"Sehat?"

Faza hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan. Setelahnya, ia menginstruksikan Fikri untuk masuk, yang langsung diikuti oleh lelaki itu. Namun, sang istri belum juga berhenti meneteskan air mata.

"Kenapa nangis?" tanya Fikri lembut pada sang istri yang senantiasa menunduk.

Faza menggeleng. Ia sibuk menyeka air mata dan menormalkan napas. Dadanya terasa sesak sejak tadi, saat kehadiran Fikri tertangkap retinanya kala membuka pintu pagar. Ketika salam terdengar dari mulutnya, bertambah dalam isaknya. Dan, ketika keningnya dicium lembut, pertahanannya runtuh.

"Aku kira Mas Fikri marah. Aku kira Mas Fikri nggak akan jemput aku. Aku kira Mas Fikri kecewa. Aku kira—"

"Maaf," potong Fikri cepat. Agaknya, ia tidak sanggup mendengar nada pilu Faza yang berucap sambil terisak. "Maaf, saya egois."

"Saya cuma nggak mau kamu pergi. Saya nggak mau kamu jauh. Saya nggak mau dunia kita berbeda. Saya nggak mau kamu tinggalin saya. Maaf, maaf karena saya cuma mikirin keinginan saya aja, tanpa mempertimbangkan keinginan kamu."

Hening lagi. Dua insan itu benar-benar membiarkan diri mereka larut dalam ketenangan semilir angin yang membuai senja. Cahaya jingga mulai menelusup di antara jendela dan fentilasi rumah, bersamaan dengan suara muratal yang terdengar samar dari masjid. Dua orang itu tengah berusaha berdamai dengan keegoisannya masing-masing.

"Maaf, Mas. Aku minta maaf."

Setelah berhasil menguasai diri, Faza buka suara.

"Semuanya salah aku, Mas sama sekali nggak salah. Mas bener, kita pernah bicarain hal itu sebelumnya, tapi aku malah berulah. Mas bener, dari awal juga Mas bilang kalau Mas nggak menuntut apa-apa dari aku. Aku juga minta maaf kalau perkataan aku malam itu nyakitin hati Mas, kesannya kayak merendahkan harga diri Mas. Aku ... aku kebawa emosi. Aku minta maaf.

"Semalam Abah bilang, kalau rida suami adalah rida Allah, murka suami adalah murka Allah. Makanya a–aku ... a–aku ... aku takut kalau perkataanku bikin Mas marah. Mas marah, kan? Walaupun Mas nggak ngebentak aku, Mas pasti kecewa. Mas pasti capek punya istri kekanak-kanakan kayak aku, ya? Plin-plan dan kayak nggak punya pendirian?"

"Faza ...."

Faza menyeka pipinya. Kali ini, ia mengangkat wajah agar atensinya bisa menatap lurus ke arah Fikri. "Aku udah mikirin ini baik-baik. Aku ... aku nggak apa-apa ngadopsi anak. Kalau memang aku nggak bisa melahirkan pun, nggak apa-apa. Mas itu imamku, ke mana pun kiblat yang Mas arahkan ke aku, aku akan ikut. Aku tau maksud Mas baik, Mas nggak egois kalau—"

"Faza, berhenti dulu."

"Bentar, aku belum selesai. Ntar lupa mau ngomong apa kalau dipotong-potong."

"Sebentar aja, berhenti dulu. Saya jadi bingung kalau kamu lanjut ngomong."

Akhirnya Faza menurut. Fikri menyandarkan punggung dan menatap cahaya oranye yang mulai hilang, berganti warna menjadi ungu kehitaman di langit. Harus bagaimana sekarang? Padahal sepanjang jalan tadi, lelaki itu sudah memutuskan untuk membiarkan Faza melakukan keinginannya. Padahal sepanjang jalan tadi, ia sudah mencoba mengikhlaskan segala skenario buruk dalam benaknya dan mengizinkan Faza menentukan pilihannya.

Namun, jika kondisinya kembali berubah, ia harus apa? Mengapa menghadapi Faza bisa serumit ini?

"Kata Mbak Elea, nggak ada yang salah dengan keinginan kamu—menjadi perempuan seutuhnya yang bisa hamil dan melahirkan." Ia tangkup wajah Faza dan mengunci pandangan gadis itu agar hanya tertuju pada netranya.

"Saya memang punya kekhawatiran tentang penyakit kamu. Saya takut kamu menggantikan nyawamu nanti, walau dengan anak kita sekalipun. Saya takut langit kita nggak akan sama lagi setelah itu. Saya takut ditinggal lagi. Saya takut ketika malam-malam harus menghadapi tangisan anak kita sendirian, tanpa kamu.

"Kamu tau? Hampir setiap malam setelah melamar kamu, saya mikirin hal itu. Mikirin itu aja udah bikin frustrasi. Dari awal, saya udah tau kalau keinginan saya menahan kamu supaya nggak mengandung itu egois. Maaf."

Faza tersenyum tipis kemudian mengusap pipi Fikri yang sudah dialiri air mata yang menganak sungai. Lelaki itu sungguh jujur dengan perkataannya. Suaranya bergetar ketika berujar, kekhawatirannya begitu solid hingga sulit dihadapi.

"Kekhawatiran Mas terlalu tinggi. Umur itu bukan dokter yang tentuin, loh. Nggak apa-apa, Mas, insyaallah aku ikhlas—"

"Tapi, kamu punya otoritas terhadap dirimu sendiri, Mafaza. Dulu, sekarang, nanti, sampai kapan pun. Kamu punya hak memilih dan menjatuhkan keputusan dan saya nggak berhak mengintervensi impian kamu. Jadi, untuk terakhir kali saya tanyakan lagi. Apa keinginan kamu yang sebenarnya, Ayna Mafaza?"

Faza tertunduk beberapa saat sebelum mantap berujar, "Atas izin Mas Fikri, aku pengen jadi perempuan seutuhnya. Aku pengen bisa mengandung dan sempat melahirkan."

Azan Magrib berkumandang bertepatan ketika Faza menyelesaikan ucapannya. Jika boleh jujur, bahu Fikri mendadak terasa berat, demikian pula kepalanya. Namun, keputusan Faza tentu harus ia hormati. Lagi pula, soal usia, memang hanya Tuhan yang berhak menentukan. Ia hanya berharap, kekhawatirannya tidak akan terjadi.

"Pulang, ya? Malam ini tidur di rumah kita," ujar Fikri setelah azan selesai.

Faza mengangguk. Sudut bibirnya melengkung sempurna, entah apa yang membuatnya begitu bahagia hingga tidak melunturkan senyumannya. "Tunggu Abah pulang, ya?"

🕊

"Apa, Mbak?"

Fikri baru akan memasukkan makan malam ke dalam mulutnya ketika pernyataan Elea justru membuat makanan itu jatuh dari tangannya. Faza yang duduk di seberangnya ikut menoleh sebab terperanjat oleh respons suaminya. Fikri menegakkan punggung dan mengatur napas.

"Kalian nggak nonton berita?"

"Belum pasang antena langganan," jawab Fikri seadanya. Ia kemudian mengaktifkan pengeras suara agar Faza bisa ikut mendengar.

Di seberang, napas berat Elea terdengar sesak.

"Pesawat Zidan jatuh tadi sore."

"Mbak? Serius?" Faza bertanya spontan. Ia bahkan sudah pindah posisi, memepet Fikri untuk memastikan tidak salah dengar.

"Iya, lagi rame banget ini beritanya. Kalian cek live di hp kalian aja, deh."

"Terus Zidan gimana, Mbak? Udah ada kabar? Selamat?"

Situasi hening beberapa saat, hingga suara yang terdengar hanyalah detak jantung masing-masing dan jam dinding. Fikri baru mengira koneksi mereka terputus ketika Elea terisak.

"Nama Zidan ada."

Faza menghela napas panjang dan berucap, "Alhamdulillah." Sementara itu, menyadari intonasi sang kakak yang—menurutnya—menggantung, Fikri memperkuat zikir dalam hatinya. Entah mengapa ia merasa gelisah.

"Di daftar korban yang nggak selamat."

Saat itu juga, ponsel tergelincir dari tangannya.

🕊🕊🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro