Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 42

---Silakan dibaca di waktu luang---

Jika cinta tidak diterima, berpindahlah. Ketika cinta tidak dihargai, menjauhlah. Semoga waktu mengajarimu apa itu cinta sejati."

(Jalaluddin Rumi)

🕊

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayna Mafaza binti Abdul Karim dengan mas kawin emas 20 gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai."

Dengan mantap dan lugas, lafal tersebut terucap dari lisan Fikri. Degup jantungnya tak karuan kala netra teduh Abah berubah tajam menatap lelaki yang akan menjadi menantunya saat mengucap lafal ijab. Namun, setelahnya, Abah tersenyum hangat lagi, ketika Fikri berhasil tanpa harus mengulang lafal.

Para saksi tanpa ragu menyatakan kesahihan ritual ijab kabul, membuat beberapa tetamu memekik tertahan. Elea di belakang bertepuk tangan pelan, Afra berjengit sambil memegang tangan Faza. Wajahnya tidak lepas dari senyuman sepanjang prosesi akad berlangsung. Tiga orang itu memang khusus duduk di belakang, area perempuan dan laki-laki diberi batasan agar tidak bercampur baur.

Di samping itu, telapak tangan Faza mulai dingin. Gadis yang makin cantik dengan riasan dan kebaya putih panjang itu tidak berani mendongak sama sekali, seakan-akan kepalanya menanggung beban berat yang jika ia menoleh, beban itu akan tumpah. Elea senang sekali meledek, mengatakan bahwa adik iparnya malu-malu kucing.

"Mafaza."

Namun, ketika Fikri menjemput, ia tidak kuasa menahan pandangannya untuk menunduk lebih lama. Lelaki itu—suaminya—sudah berlutut di hadapannya, memanggil namanya dengan suara yang rendah. Meski patah-patah, Faza mengangkat dagu, hingga tatapannya berserobok dengan netra yang dibingkai alis tebal milik Fikri. Lelaki itu tersenyum, tetapi Faza malah menangis tiba-tiba.

"Eh, lho? Nanti make up-nya luntur, lho." Afra cepat-cepat menyodorkan tisu.

"Dia kenapa, Mbak?" Fikri juga bingung, pertanyaannya ditujukan pada Elea yang tampak tenang dan tidak panik sama sekali.

"Cuma perempuan yang tau rasanya," balas Elea. Perempuan itu mengusap punggung Faza. "Apa nggak mau nyambut tangan suamimu?" selorohnya, sadar melihat tangan sang adik yang sudah menggantung.

"Grogi, ih. Sanaan dikit, Mas. Aku sesak napas lihat Mas Fikri," kelakar Faza spontan. Sontak saja, orang-orang yang berada di dekatnya terkekeh, termasuk Fikri.

"Grogi, grogi. Ntar malam juga tidurnya sampingan," celetuk Afra yang langsung dihadiahi cubitan ringan oleh Faza. "Dah, sana. Kasihan Mas Fikri nunggu."

Faza mendongak sekali lagi, senyum Fikri masih sama. Gadis itu perlu beberapa detik meyakinkan hatinya untuk menyambut uluran tangan sang suami, membuat siapa pun yang menyaksikan jadi gereget sendiri. Sementara itu, Fikri masih pada posisinya, tidak bergerak, sabar menunggu Faza.

Tidak ada yang tahu, lelaki itu sejak akad menahan napas sebab dadanya terasa sesak. Hatinya penuh oleh haru, ada udara yang mendorongnya untuk menangis, tetapi selalu dinetralisir. Ia tidak akan menangis di depan banyak orang. Ketika melihat wajah Abah dan Faza bergantian, hatinya resah. Ia takut tidak mampu membahagiakan Faza seperti yang dilakukan Abah.

Namun, tepat ketika punggung tangannya dikecup oleh Faza, air matanya secara ajaib keluar tanpa permisi. Cepat-cepat diseka sebelum lebih banyak orang menyadarinya.

"Jangan cuma ngelap air mata sendiri. Tuh, air mata Faza juga diseka," ceplos Elea.

Fikri akhirnya menyadari bahwa kini, raganya bukan lagi menjadi miliknya seutuhnya, begitu pula Faza. Satu sama lain menjadi pelengkap dan penyempurna. Maka, ia gerakkan jempolnya untuk mengusap pipi sang istri, menyeka aliran air dari sana.

Dua bulan lalu, lelaki itu sudah pasrah. Ia akan menerima segalanya jika pernyataannya ditolak. Karena takut kehilangan, ia ingin gadis itu ada bersamanya, tidak pergi seperti Ahmad dan Laura. Tidak hilang seperti kepercayaan dan imannya. Menurutnya, perempuan itu adalah cinta dan bersamanya, Fikri bertekad untuk terus belajar bersama.

Ia pikir, Tuhan akan mengajarkannya ikhlas lagi di bab kehidupannya, tetapi tidak. Pemilik segala cinta itu bermurah hati membolak-balik hati para hamba. Di sudut-sudut doa anak Adam, ada janji-Nya untuk mengabulkan. Di untaian pinta lelaki itu yang naik ke langit, ada peran semesta untuk menyampaikan. Bahwa Tuhan, kali ini memberinya bahagia.

Masih tersimpan di memori Fikri ketika Faza bersimpuh di makam ibunya. Entahlah apa yang gadis itu diskusikan dalam tangis bisunya pada sang bunda yang terbaring jauh di bawah sana. Seakan bertanya, "Apa saya pantas?" padahal lelaki di sebelahnya tidak menuntut apa-apa. Setelahnya, gadis itu menghilang sepekan hingga ia muncul dan mengatakan, bahwa Tuhan sudah menetapkan hatinya pada satu pilihan. Ya. Itulah jawabannya.

Di hadapan lelaki itu, sekarang sang gadis sedang memberengut, menyeka air mata yang tidak kunjung berhenti. Dihapus, turun lagi.

"Nangisnya nanti aja, ya? Biar bisa bareng-bareng. Dilihatin orang banyak, loh, kamu sekarang."

"Kalau bisa, mah, ayo, tapi ini air matanya nggak bisa berhenti, gimana, dong?" balas Faza di sela isaknya.

🕊

"Mas Fikri, bantuin saya, dong." Setelah memberi selamat, Zidan berujar pelan.

"Kenapa?"

"Afra ngambek terus sama saya. Udah dua hari, lho."

"Sabar, Mas. Belum tiga hari juga," sahut Faza enteng kemudian terkekeh. Fikri menghela napas kemudian menoleh ke arah Faza yang segera menunduk saat ditatap begitu. "Maaf, maaf. Harusnya nggak bercanda, ya?"

Zidan mengangguk, agaknya tidak terbawa perasaan akan candaan Faza.

"Afra kalau ngambek gitu solusinya gimana, ya, Mas?"

Fikri menatap Faza sejenak sebelum menjawab pertanyaan Zidan.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Saya boleh jawab pertanyaan Zidan?"

Faza mengangguk cepat. "Kenapa nggak boleh?"

"Nanti cemburu."

"Yah, ge-er banget. Aku nggak cemburu kalau sama Mbak Afra, kok." Faza menyengir di akhir kalimatnya. Fikri mengangguk.

"Dia ngambek kenapa memangnya?"

Zidan menghela napas. "Saya harus ke Padang, Mas, urusin pesantren cabang di sana. Biasanya tiap dua bulan sekali saya ke sana, Afra selalu ngizinin. Tapi, kali ini beda. Dia nggak kasih saya pergi."

"Bawaan bayi kali, ya? Pengen di dekat ayahnya terus. Apalagi kandungan Mbak Afra udah delapan bulan, loh. Wajar kalau Mbak Afra mau ditemenin terus." Bukan Fikri, melainkan Faza yang menjawab. Habisnya gadis itu gemas menunggu jawaban Fikri yang tidak kunjung diutarakan.

Zidan tampak menimbang-nimbang. "Iya, ya? Saya juga nggak mau ninggalin Afra, tapi urusan pesantren memang penting banget. Di sana juga lagi ada masalah-masalah serius. Saya memang harus ke sana," gumam Zidan, atensinya tertuju pada Afra yang tengah duduk bersama Elea dan Chesa sambil menikmati puding.

"Nggak ada alasan, gitu, Afra larang Mas Zidan pergi?"

Zidan menggeleng, Faza mengerutkan kening.

"Coba bicarain baik-baik, Mas. Berusaha terus kasih pengertian ke Afra. Setau saya, Afra memang suka baperan, tapi dia nggak mungkin larang-larang orang lain tanpa alasan."

Zidan menatap lama atensi Fikri hingga pertemuan netra mereka menyebabkan kecanggungan bagi sepasang suami istri tersebut. Beberapa detik kemudian, Zidan malah tersenyum.

"Nanti malam saya bicarain lagi, deh, semoga Afra mau ngerti. Saya nitip Afra, ya, Fikri, Faza."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Zidan pamit. Sementara itu, dua insan yang sedang bersanding di pelaminan saling melempar tatapan bingung. Namun, sepersekian detik kemudian, mereka mengedikkan bahu bersamaan. Drama Afra Zidan bukan urusan mereka.

🕊

"Kamar mandinya udah saya siapin."

Faza yang baru saja muncul dari balik pintu berjengit ketika dikejutkan oleh kehadiran Fikri di depan kamar mandi. Lelaki itu sibuk mengelap rambut.

"Oh, iya. Makasih."

"Baju-baju kamu udah di lemari."

"Eh? Wah, kapan diberesinnya?"

"Tadi, dua jam yang lalu."

Faza nyengir ketika Fikri menekankan kalimatnya barusan. Perempuan itu tidak sadar sudah menghabiskan banyak waktu berbicara pada keluarga dan teman-temannya, meninggalkan Fikri sendirian di kamar dan tidak tahu harus melakukan apa sembari menunggu.

Gadis itu buru-buru mengambil handuk dan menyambar paper bag di atas meja rias, kemudian masuk kamar mandi.

"Mas Fikri jangan tidur dulu! Ntar aku mau ngobrol!" teriaknya dari dalam, berlomba-lomba dengan suara gayung yang menumpahkan air.

Lelaki itu mengangguk. Karena bingung harus melakukan apa, ia akhirnya memutuskan untuk membuka laptop. Mengecek ulang silabus pembelajaran, kemudian merancang materi perkuliahan dalam bentuk power point.

Sudah hampir tiga puluh menit berlalu dan pekerjaannya sudah selesai, tetapi Faza masih belum keluar. Akhirnya, ia beralih memeriksa tugas mahasiswa yang dikumpulkan ke email-nya. Hingga lima belas menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Faza keluar dengan setelan piyama dan blazer yang menutupi lengannya.

Ia ragu-ragu mengambil posisi di sisi ranjang sebelah Fikri. Ketika kasur itu bergerak, barulah Fikri sadar, Faza sudah di sana. Ia sempat membeku sejenak saat pandangannya jatuh pada wajah sang istri. Rambut hitam bergelombang sepinggang dan poni tipis yang membingkai wajah Faza membuat napas Fikri tertahan.

"Aku Faza, aku cantik. Udah, biasa aja ngelihatinnya. Masih kalah sama Mba Emma Watson, kok," celetuk Faza asal. Habisnya, jantungnya terasa lompat-lompat ditatap seperti itu oleh Fikri.

Merasa tertangkap basah, Fikri memalingkan wajahnya dan kembali menatap layar monitor dengan jantung yang terasa berdentum hebat. Astaga, bahkan wajahnya memanas. Ia sempat menoleh pada pendingin ruangan, memastikan benda tersebut betulan hidup. Karena kamar mereka mendadak terasa lebih panas.

"Demam apa gimana, sih? Kecapekan, ya? Mukanya merah. Coba lihat sini—"

"Saya nggak apa-apa," potong Fikri cepat sebelum kedua tangan Faza menangkup wajahnya. "Tadi mau ngomong, kan? Mau bicarain apa?"

Faza menarik tangannya kembali. Ia menghela napas panjang sebelum atensinya menatap manik mata Fikri.

"Aku ... pengen punya anak."

Fikri mengangguk. "Nanti, ya. Pas dokumen-dokumen nikah kita selesai, kita ke panti. Kamu boleh pilih anak yang kamu suka—"

"Bukan anak panti, Mas. Anak kita. Anak kandung," potong Faza cepat.

Fikri menutup laptop dan menatap istrinya lamat-lamat, sedangkan Faza memalingkan wajah, merasa terintimidasi oleh tatapan tajam Fikri. Ia memilin ujung piama, suasana canggung itu membuatnya jengah, tetapi ia memang harus mengutarakan keinginannya.

"Kita udah bicarain ini sebelumnya, Mafaza."

"Anu ... bisa dibicarain ulang, kan, ya?"

"Nanti kita cari yang masih bayi, jadi kita bisa ngerawat dan memantau proses tumbuh kembangnya. Laki-laki atau perempuan, nanti kamu yang pilih, saya ikut pilihanmu."

"Tapi bukan itu yang aku mau, Mas."

"Nggak semua keinginan kita itu harus terpenuhi, Mafaza. Jangan dipaksa."

"Tapi salah satu tujuan nikah, kan, mendidik anak, mempersiapkan keturunan untuk menjadi generasi rabbani."

Fikri menyentuh bahu Faza, perlahan membuat gadis itu menghadapnya. Sejak tadi, memang Faza berbicara sambil memalingkan wajah yang tertunduk. Lelaki itu juga meraih dagu sang istri, diangkat sedikit agar pandangan itu menyapa netranya. Astaga, mata Faza berkaca-kaca.

"Mafaza, kita sama-sama belajar, ya? Memang seperti yang kamu bilang, mendidik anak menjadi hamba yang bertakwa pada Allah itu adalah salah satu tujuan nikah. Salah satu, bukan satu-satunya. Kita bisa cari cara alternatif, adopsi anak. Berapa banyak anak-anak di luar sana yang serba kekurangan? Kita bisa bantu.

"Kita belajar cara mengikhlaskan, ya? Ikhlas sama kondisi kamu yang berisiko kalau melahirkan. Ikhlas sama jalan yang udah Allah tentukan. Ikhlas merelakan keinginan kita."

Jempol Fikri tergerak untuk mengusap air yang jatuh dari mata istrinya. Faza tertunduk lagi, kini isaknya makin terdengar jelas.

"Aku ... aku pengen jadi perempuan seutuhnya, Mas. Yang bisa mengandung dan melahirkan."

"Menjadi perempuan seutuhnya nggak perlu hal-hal kayak gitu."

"Mas nggak paham! Mas nggak paham kalau aku juga perempuan biasa! Aku pengen punya keturunan, pengen kasih Mas kebahagiaan!" Intonasi Faza tiba-tiba naik, membuat Fikri berjengit di tempatnya.

Mata Faza berkilat, air terus jatuh dari sana. Kini, gadis itu menatap tajam ke arah sang suami yang masih kaget.

"Saya nggak nuntut apa-apa dari kamu, termasuk kebahagiaan." Pembicaraan teduh beberapa menit lalu dari Fikri kini berubah dingin dan datar.

"Aku nggak percaya! Mas juga laki-laki biasa, kan? Jangan munafik, lah."

"Besok kita bicarain lagi, ya. Istirahat—"

"Mas juga laki-laki matang yang pengen punya penerus dalam keluarganya! Laki-laki yang harus menyalurkan hasrat biologisnya ke perempuan. Cinta platonik? Bohong. Laki-laki nikah untuk tujuan kebahagiaannya—"

"Mafaza!"

Sadar dengan apa yang diucapkan, Faza mencicit. Ini kali pertama Fikri mengangkat suara ketika berbicara dengannya.

Sementara itu, Fikri mengusap wajah. Ia tidak tahu Faza bisa berbicara sefrontal itu. Ia tidak bisa menyangka kata-kata penuh kebahagiaan yang biasa keluar dari mulut istrinya kini berubah bak pisau yang mengiris hatinya. Kata-kata itu pun kini menyentil harga dirinya.

Setelah menetralkan ritme napas, Fikri meletakkan laptop di atas nakas lalu membaringkan diri membelakangi Faza.

"Istirahat dulu, seharian kamu pasti capek."

"Aku pengen pulang ke rumah Abah."

🕊🕊🕊

Kok rasanya bab ini panjang banget, yak? (ㄒoㄒ)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro