Teori 41
---Silakan dibaca di waktu luang---
"Perempuan itu sangat mencintainya, sehingga ia menyembunyikan nama sang pria dalam kata-kata, yang maknanya hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
"Mau jadi makmum saya? Fik, sumpah, norak!"
Fikri bersungut-sungut ketika Elea lagi-lagi meledek aksinya dua hari yang lalu. Sang kakak tampak seperti akan sakit jika tidak mengolok-olok adik lelakinya yang kini tengah memerah kedua telinganya. Elea masih tertawa sambil memukul-mukul bahu Fikri, tidak membiarkan sang adik duduk tenang.
"Ih, Mbak tuh nggak kepikiran kamu bisa ngomong kayak gitu, mana di halaman rumah, di depan Abah lagi. Urat malu kamu ketinggalan di mana, sih?"
Fikri mencelos. Jujur, ia juga tidak mengerti mengapa kalimat itu keluar spontan dari mulutnya di waktu yang—mungkin—tidak tepat. Masalahnya, setelah mengatakan hal—yang menurutnya—memalukan tersebut, Faza hanya mematung dan tanpa memberi respons apa pun, langsung naik ke boncengan Abah dan pergi. Ingin rasanya Fikri mengulang waktu dan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Masalahnya, sejak dua hari ini, Faza tidak memberi kabar dan menolak panggilan dari Elea. Ketika menjemput Chesa pun, gadis kecil itu mengatakan bahwa Ibu Faza pamit pulang duluan, tidak seperti biasa yang bahkan rela menungguinya sampai dijemput. Lelaki 28 tahun itu merasa bersalah. Padahal bisa saja mendatangi Abah, tetapi ia malah tidak berani, teringat tingkah konyolnya.
"Faza nolak aku, ya, Mbak?"
Elea menghentikan tawanya dan meraih segelas air untuk diteguk. "Memangnya dia bilang kayak gitu?"
"Enggak, sih."
"Nah itu. Dia kan nggak bilang apa-apa."
"Itu dia masalahnya. Dia nggak bilang apa-apa dan terus dia menghilang. Itu kode biar aku mundur atau gimana, ya, Mbak?"
Elea menuntaskan tegukan terakhir, meletakkan gelas itu kembali di atas meja, dan mendaratkan atensinya di wajah gusar sang adik. Ditatap lamat-lamat rahang tegas warisan Ahmad yang ditumbuhi rambut-rambut tipis. Kemudian netranya singgah pada ujung rambut Fikri yang mulai jatuh menyentuh bahu. Bola mata sang adik pun tidak menetap pada satu posisi, benar-benar gelisah.
Beberapa detik kemudian Elea tersenyum kala menyadari bahwa Fikri sudah mulai berani mengambil keputusan entah sejak kapan.
"Kamu serius dengan Faza?"
Fikri melirik Elea dan terdiam sesaat. "Aku bingung, Mbak."
Jawaban Fikri selalu tidak dapat ditebak dan Elea sudah terbiasa dengan hal itu.
"Dulu waktu dengan Afra, aku nggak pernah bisa melawan kehendak hatiku sendiri. Dulu waktu dengan Afra, aku nggak pernah takut kalau ada orang lain yang datang untuk ambil dia. Waktu dengan Afra dulu, aku berdiskusi banyak hal, tapi nggak ada yang berubah. Semuanya stuck di satu tempat."
Fikri mengalihkan padangannya ke jendela dapur.
"Pas di dekat Faza, semua yang terjadi bertolak belakang. Aku selalu denial tentang keberadaan dia, peran-peran dia, tapi entah kenapa aku ngerasa nyaman. Di perjalanan pulang, aku mikir, Mbak. Kalau nggak ketemu Faza, aku nggak akan ketemu Abah. Kalau nggak ketemu Abah, aku nggak nemu jawaban. Kalau nggak ketemu Faza, aku nggak akan tau kebenaran tentang Mama. Aku akan tetap jadi orang bodoh sampai mati.
"Dia pernah nyelamatin Mbak pas pendarahan. Dia juga pernah nyelamatin Afra di jembatan. Dia juga yang selalu temenin Chesa main sambil nunggu dijemput. Pas Papa masih ada, dia juga yang bantu-bantu Tante Anis, padahal posisinya dia bukan siapa-siapa di keluarga kita, kan, Mbak? Dia mau bantu desain dan promosiin kafe aku, sampai bisa stabil setelah renovasi."
"Jadi kamu tuh---"
"Tapi udah, Mbak, sekadar gitu aja. Maksudnya, aku nggak begitu suka sama dia. Kadang aku juga marah kalau tindakannya impulsif yang kadang sampai gak mikirin kondisinya sendiri, lupa kalau dia punya trauma berat. Kesal banget, Mbak. Memangnya seistimewa apa orang lain dibanding dirinya sendiri? Kalau dia celaka gimana, Mbak? Ceroboh banget." Elea melongo ketika Fikri memotong perkataannya.
Elea mengangguk-angguk antusias. Jarang sekali Fikri menceritakan orang lain dengan semangat sampai-sampai menyerobot perkataannya.
"Makanya itu, Mbak ... aku takut kalau keduluan orang lain. Aku nggak mau melepas apa pun lagi, Mbak, entah itu hidayah Allah, atau Faza."
Fikri merasa telinganya makin panas, begitu pula wajahnya yang langsung dipalingkan menghindari tatapan jenaka Elea.
"Ngomong langsung, ya, sama Faza. Kasih tau dia apa yang kamu rasain. Mbak yakin dia punya rasa juga sama kamu, kok. Pelan-pelan, jangan langsung to the point, nanti dia syok."
"Tapi gimana? Jawab telepon kita aja, dia nggak mau, Mbak."
Elea mengerling. "Abah kayaknya bisa diajak kerja sama, deh."
🕊
"Ayo, Bah, Faza udah si---eh?"
Fikri mengangkat dagunya yang sejak tadi tertunduk kala suara Faza hinggap di telinganya. Gadis yang sudah cantik dengan gamis marun itu seperti beku sebentar menyadari kehadiran Fikri di sana. Sejurus kemudian, ia membuang wajah dan menunduk.
"Perginya sama Fikri aja, ya? Asam urat Abah kambuh ini rasa-rasanya." Abah mengurut-urut lututnya.
"Ih, si Abah. Sakit banget? Ya udah, perginya nggak usah hari ini, besok-besok aja tunggu Abah sembuh. Mana, Bah, yang sakit? Biar Faza urut." Gadis itu langsung berjongkok, mengurut pelan batok lutut Abah.
"Yah, jangan. Abah pengennya sekarang. Dari semalam, lho, udah pengen durian."
"Ya masa lagi kambuh kayak gini mau makan durian? Makin sakit nanti."
"Bayangin kalau nanti Abah mati, tapi belum sempat---"
"Abah, ih! Jangan bawa-bawa mati. Takut."
Abah terkekeh, sedangkan Fikri berusaha menetralkan detak jantungnya. Ia tidak mengerti bahwa memandang Faza, rasanya sudah beda. Sekarang dadanya malah berdesir hangat.
"Sama Fikri perginya. Satu jam aja, lho, ya, jangan lama-lama."
Faza menghela napas panjang.
Sebenarnya Fikri merasa tidak enak karena sepertinya Faza pun merasa terpaksa bertemu dengannya. Habis, bagaimanalah? Ketika di sekolah Chesa, Faza menghindar. Ditelepon pun tidak digubris sama sekali. Seperti saran Elea, hanya Abahlah yang mampu membuat anak gadisnya luluh dan mau tidak mau bertemu Fikri.
Faza berjalan duluan setelah menyalami Abah. Fikri ikut menyalami dan kali ini, nasihat Abah sebelum lelaki itu pergi menjadi makin panjang. Kalau sudah tiba waktu salat, segera berhenti dan cari masjid terdekat. Jika Faza sudah benar-benar tidak mau bicara, tolong antar dia pulang. Fikri mengangguk saja, sekaligus berterima kasih sebab Abah mengizinkannya bertemu Faza.
Gadis itu mengambil posisi duduk di jok kedua, enggan duduk di sebelah Fikri. Selama perjalanan, ia tidak kunjung bicara, matanya fokus menatap satu per satu penjual durian di pinggir jalan dan ketika mendapati penjual langgananannya, ia menyetop Fikri dan turun.
"Sekarang kalau mau bicara udah harus bayar, ya? Makanya hemat ngomong kalau lagi sama saya?"
"Hah? E--eh, bukan gitu." Faza gelagapan.
"Mafaza."
"Hm."
"Maaf kalau perkataan saya tempo hari bikin kamu nggak nyaman, tapi saya serius tentang itu."
Fikri tetaplah Fikri. Padahal sebelumnya ia sudah menyiapkan kalimat yang akan keluar dari mulutnya agar tidak langsung berterus terang seperti yang Elea katakan, tetapi pada praktiknya, ia tetap gagal. Seperti kata Elea pula, kini Faza malah bungkam. Situasi menjadi sangat canggung.
"Aku nggak mau, Mas, maaf."
Mobil itu berdecit ketika Fikri tiba-tiba menginjak rem. Beberapa pengendara terdengar mengklakson, bahkan bersumpah serapah, menyumpahinya yang berhenti mendadak di tengah jalan. Faza menunduk makin dalam, tidak berani mengangkat pandangannya, sedangkan Fikri mengusap wajah pelan. Ia menarik napas panjang sebelum kembali melajukan mobil.
"Boleh saya tau kenapa?"
Lelaki itu cukup kecewa ketika kalimat penolakan itu keluar dari bibir Faza, tetapi ia sadar bahwa dirinya tidak boleh memaksakan kehendak. Jadi, dengan segala pengendalian diri terbaik, Fikri merendahkan nada suaranya agar tidak menyentak gadis yang tengah menunduk itu. Namun, walau begitu, Faza tetap diam.
"Karena hubungan saya dengan Papa kurang baik? Karena saya nggak akur sama Tante Anis?"
Faza menggeleng. Gadis itu tahu persis bagaimana kacaunya Fikri setelah ditinggal Ahmad. Selama ini ia juga berusaha memahami posisi lelaki itu berhubungan dengan rasa tak acuhnya terhadap Anis.
"Karena saya pernah nggak percaya agama?"
Lagi-lagi Faza menggeleng. Bukan tugasnya menghakimi tingkat keimanan orang lain.
"Karena saya nggak ramah? Atau---"
"Bukan. Alasannya bukan berada di Mas Fikri dan apa pun yang berkaitan dengan itu," potong Faza cepat.
Fikri menepikan mobilnya saat sudah hampir dekat rumah Faza.
"Aku. Alasannya aku."
Fikri mengernyit, tidak mengerti maksud Faza.
"Aku ... aku sakit. Sakit yang kata dokter, berisiko untuk punya anak. Mas Ghazi ninggalin aku karena itu dan aku rasa ... Mas Fikri juga lebih baik cari perempuan lain yang sehat. Yang bisa kasih Mas Fikri keturunan."
Faza menangis, Fikri tercenung. Ia bahkan lupa bahwa Faza mengidap hemofilia. Namun, sejurus kemudian lelaki itu tersenyum.
"Saya Fikri, Mafaza. Saya bukan Ghazi. Kamu tau kenapa saya memilih kamu?"
Isak Faza masih mendominasi.
"Karena cuma kamu, perempuan selain keluarga saya yang pernah ketemu Papa. Cuma kamu, yang dari mulut Papa langsung direstui dengan saya---konteksnya mungkin saat itu menurutmu---Papa bercanda, tapi saya yakin, ada keseriusan dalam omongan Papa. Di antara orang lain yang berusaha membuat saya berubah, hanya keberadaan kamu yang menggerakkan hati saya, atas izin Allah.
"Saya bertemu dengan Abah dan segala pandangan bijaknya, jalannya dari kamu. Saya ketemu Papa dan mendekat ke setiap penjelasan dari masa lalu, jalannya juga dari kamu. Saya ketemu Ezra, jalannya juga dari kamu. Kalau hari itu kamu nggak ngelawan rasa traumamu, kami mungkin kehilangan Mbak Elea dan Ezra sekaligus. Jadi, apakah salah kalau saya nggak mau kamu pergi? Demi Allah, saya sudah kenyang menyesal ditinggal oleh orang-orang yang saya sayang."
Fikri berujar dengan sangat tenang, seperti ombak yang mengejar bayu pada ritme yang indah.
"Saya menikah untuk mencari tempat pulang, Mafaza, dan saya melihat itu di kamu. Saya melihat cinta di setiap tindakan cerobohmu. Bukannya ketika Allah memanggil hamba-Nya untuk pulang, Dia memanggil jiwa-jiwa yang tenang ke rumah-Nya? Saya mau mendekat lagi ke Allah, dengan jiwa yang tenang dan itu bisa saya capai ketika dekat denganmu."
Fikri melirik Faza dari spion depan. Gadis itu sudah mulai reda isaknya, hanya tertinggal sisa air di sudut matanya.
"Menikah itu sunnah dan memiliki anak juga bukan merupakan suatu kewajiban. Saya nggak menuntut apa pun dari kamu. Saya nggak mau kamu larut dalam spekulasi buruk tentang penyakitmu. Saya nggak mempermasalahkan hal itu."
Hening. Fikri menyandarkan kepala dan membuka sedikit jendela mobil, membiarkan angin mencuri rasa lelahnya. Jika setelah ini pandangan Faza tidak berubah, lelaki itu sudah pasrah. Ia telah menjelaskan apa yang ingin ia sampaikan dan jika gadis itu tetap ingin pergi, tidak apa-apa. Ia untuk yang kesekian kali, akan berusaha ikhlas.
"Mas Fikri ... boleh tolong anterin aku ke makamnya Umi?"
🕊🕊🕊
Ho-ho, Yoru kembali!
Masih dalam suasana Syawal, Yoru mohon maaf, lahir dan batin, ya.
Di kota Yoru, cuaca lagi panas-panasnya. Dorm kalian gitu juga, gak?
Kalau iya, banyakin minum air putih, ya. Jaga kesehatan, jangan sakit-sakit.
Daan, jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah! (>y<)
Follow Tiktok Yoru juga: @nijinoyoru_ ya, untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro