Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 39

"Memaafkan adalah hal yang lucu. Ia menghangatkan hati dan mendinginkan kepedihan.

(William Arthur Ward)

🕊

"Mau ditemenin?"

Fikri menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Anis berdiri di ambang pintu. Menyadari kehadiran ibu sambungnya itu, Fikri meredam puntung rokok di asbak.

"Nggak, Tan. Makasih," jawab lelaki itu sekenanya.

"Kata Yusuf, kamu pengen ngobrol sama Tante. Bener?"

Fikri mendecih samar. Bocah itu bisa-bisanya memutar balik fakta.

Sebelumnya, Fikri memang meminta tolong pada Yusuf untuk mencari tahu tentang Ahmad. Segala hal yang ditinggalkan ayahnya, baik pesan, wasiat, atau apa pun itu yang kemungkinan besar diketahui oleh Anis. Namun, tampaknya adik sambungnya itu tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Lebih baik mempertemukan ibunya dengan Fikri. Yusuf malas menjadi perantara.

"Tante duduk, ya? Kalau mau ngelanjutin ngorokok, nggak apa-apa, kok."

"Iya, duduk aja. Nggak lagi, Tante, mulut aku udah pahit." Padahal Fikri hanya tidak ingin mengganggu orang lain sebab asap rokoknya itu.

"Nggak makan lagi?" Fikri hanya menggeleng. "Nanti masuk angin, lho. Udah dua hari ini kamu nggak makan."

"Aku makan di luar, kok." Fikri berdusta lagi.

"Oh, alhamdulillah kalau gitu. Setidaknya perutmu ada isinya. Kamunya jangan sampai sakit."

Malam ini, cuaca agak mendung. Angin sejuk menerpa dua manusia beda generasi yang sama-sama duduk diam di teras rumah. Gemeresik daun dari pohon jambu sesekali memainkan peran, menciptakan suara agar tidak terlalu hening. Pun ranting saling bergesekan, mengadu bahwa angin malam ini mungkin cukup untuk membuat siapa pun kedinginan.

"Fikri—"

"Tante—"

Fikri dan Anis saling berpandangan kala ucapan mereka terbit di kala yang sama.

"Kamu dulu."

"Tante dulu."

Itu pun diucap bersamaan. Keduanya berdeham.

"Siapa dulu?" Anis tertawa pelan ketika kali ini pun, mereka bertanya dalam waktu dan kata yang sama. Namun, Fikri hanya menatap kosong ke arah pagar rumah, membuat situasi kian canggung.

"Tante dulu," seru Fikri setelah diam beberapa saat. Anis mengangguk.

"Tante minta maaf." Kalimat itu diucapkan setelah Anis menarik napas panjang beberapa kali.

"Tante minta maaf karena udah merusak semua kebahagiaan kamu dan Elea. Tante minta maaf karena udah ngambil Ahmad dari kalian. Tante minta maaf karena selama ini, nggak bisa melakukan apa pun untuk mendekatkan kembali kamu dengan Ahmad."

Lelaki yang duduk di sebelah kiri Anis itu menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak tiba-tiba ketika mengingat betapa sulitnya ia menerima kenyataan bahwa ia pernah begitu hancur gara-gara ulah manusia-manusia yang melewati batas. Napasnya berubah takteratur ketika mengingat air mata Laura yang pasrah menjalani tiap menghadapi ujian. Sakit rasanya ketika menatap sang ibu ketika harus menaiki tanjakan curam seorang diri.

Ia ingin berhenti mendengarkan Anis, masuk kamar, mengurung diri, atau pergi sekalian. Menurutnya, Anis adalah salah satu dari beberapa sebab kacaunya kehidupan mereka. Namun, Fikri memilih untuk tetap tinggal. Meski sesak, ia akan berusaha untuk terus mendengarkan. Setelah kepergian Ahmad, ia sadar bahwa dewasa ini, ia harus mendengar lebih banyak. Ia tidak boleh melarikan diri lagi.

"Tante menikah sama papa kamu karena—"

"Dipaksa Oma?"

Anis mengangguk.

"Dulu suami Tante meninggal karena kecelakaan. Rem bus yang dibawanya blong. Ah, iya. Suami Tante itu sopir bus."

"Ghibran masih kecil banget saat itu. Tante dan almarhum suami pertama Tante sama-sama yatim piatu. Tante bingung harus apa, zaman sekarang semua pekerjaan butuh ijazah, tapi Tante cuma tamatan SD.

"Oma kamu datang, bantuin Tante merawat Ghibran. Itu kejadiaannya dua tahun sebelum Tante sama papa kamu menikah. Omamu itu dermawan, walaupun cenderung suka memaksa kehendak. Saat itu, Oma cerita kalau dia punya anak laki-laki yang udah cerai sama istrinya. Jadi, Tante—"

"Udah, Tante. Udah. Aku udah bisa menyimpulkan," potong Fikri cepat.

Anis mengangguk. "Tante ceritain hal ini bukan untuk menyalahkan orang lain. Pada saat itu, memang Tante aja yang bodoh, nggak ngecek kebenaran informasi dari Oma. Kamu bebas, kok, mau anggap Tante seperti apa. Kamu juga bebas membenci Tante. Cuma kalau boleh, Tante mau kamu terima maaf dari Tante."

"Aku nggak bisa jamin itu, Tante, tapi akan aku usahain," terang Fikri tanpa membuat Anis harus menunggu jawabannya. Ia berucap tegas dan lugas. "Giliranku, ya? Aku pengen Tante cerita."

"Boleh. Mau diceritain tentang apa?"

"Tentang Papa. Apa yang Papa rasain pas aku menjauh. Apa yang Papa pikirin waktu aku menolak mendengar penjelasan Papa. Keresahan Papa, harapan Papa, penyesalan Papa, tolong Tante ceritain semuanya. Satu lagi, Tan. Kira-kira, Papa bakalan maafin aku atau enggak?"

Fikri tahu kali ini ia tidak boleh lagi menahan rasa penasaran. Maka dari itu, tanpa ragu pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut dilontarkan. Pada awalnya ia tidak peduli, karena sepanjang apa pun kisah Ahmad, ia sudah pergi dan tidak akan kembali. Namun, lelaki itu hanya ingin mendengar tentang Ahmad saja. Ia rindu.

🕊

Lalu lalang kendaraan dan anak-anak sepulang sekolah di kompleks itu tidak menginterupsi lamunan Fikri. Sudah satu minggu ia seperti ini. Diam saja sambil menekuri pagar rumah. Sesekali jika rasa bersalahnya muncul, ia akan menyulut cerutu, dihisap dalam-dalam. Tidak jarang ia terbatuk karena ulahnya sendiri. Sejak dulu, Fikri memang tidak pernah terbiasa oleh nikotin tersebut.

Ketika Laura diambil oleh Sang Mahakuasa dan Fikri menutuskan untuk pergi, Ahmad hancur. Dua elemen penting dalam hidupnya hirap tanpa bisa ditemui lagi. Yang satu sebab telah berpindah alam, sedangkan yang satunya lagi sebab menolak komunikasi dalam bentuk apa pun. Ahmad pikir, saat itu adalah waktu Tuhan menghukumnya. Dia hampir merenggut segala hal dari Ahmad. Hingga lima tahun kemudian, Ahmad baru bisa berdamai.

Pun ketika berpapasan dengan sang putra. Ia mengira Fikri akan membuka tangan, nyatanya tidaklah demikian. Ia terus menyalahkan diri sendiri, berandai kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Saat itu pun, Ahmad hancur. Tuhan memberinya banyak kesempatan untuk merenung dan belajar sabar.

Fikri menarik napas panjang ketika azan Zuhur berkumandang dari masjid. Pandangannya sontak beralih pada kubah yang kata Anis, merupakan masjid yang dibangun oleh Ahmad. Fikri tertawa masam kala mengingat fakta yang disampaikan Anis, bahwa keresahan terbesar Ahmad adalah ketika anaknya kehilangan kepercayaan dan pegangan.

Lelaki itu mengusap wajah kasar. Ia mendongak, menatap langit-langit teras lalu bagai magnet, kubah itu lagi-lagi menarik atensinya. Salah satu sudut bibirnya melengkung saat ia tahu bahwa harapan terbesar Ahmad—berdasarkan penuturan Anis—adalah melihat anak-anaknya kembali pada hakikat hidup. Hakikat cinta. Ahmad ingin anak-anaknya lepas dari jerat keraguan, kembali pada fitrahnya sebagai manusia yang butuh mengadu pada zat segala maha.

Ahmad, ingin Fikri kembali kepada syahadat. Dan karena hal itulah tujuan masjid didirikan. Agar suatu saat Fikri bisa pulang ke sana jika tidak kunjung menemukan rumah yang tepat. Agar Fikri leluasa sujud dan memohon petunjuk, bersama orang-orang yang sujud.

Ah, netra lelaki itu kini memanas. Ia berkedip sekali saja, air matanya menetes. Lekas ia usap sebelum anak-anak kompleks menertawakan dirinya yang menangis di depan rumah.

Andai Ahmad tahu, putranya pun rindu. Padanya dan pada—Nya.

"Mas Fikri!"

Fikri terperanjat kala telinganya menyambut suara Faza yang tiba-tiba sudah duduk di kursi sebelahnya. Kapan perempuan itu tiba di sana? Bahkan sejak tadi atensi Fikri terarah pada pintu pagar, tetapi tidak menyadari kehadiran Faza. Terlebih, gadis itu sudah lama tidak menampakkan batang hidung, hilang seolah tertelan bumi.

Fikri pikir, Faza memang benar-benar pergi dan tidak lagi memutuskan untuk peduli. Ah, rasanya berada di samping gadis itu cukup menenangkan.

"Ngapain ke sini?"

"Mau jengukin Mas Fikri. Sehat, nggak?"

Fikri mengangguk. Tatapannya masih lurus tanpa menoleh ke arah Faza. "Sehat."

"Alhamdulillah. Tapi masih bergadang, kan? Itu, lho, lingkar hitam di matanya jelas banget. Udah makan siang, kan, ya? Aku bawain makanan juga, sih, kalau Mas Fikri belum makan."

Kali ini, ia memalingkan wajah menuju objek di sebelahnya. Ditatap lamat-lamat wajah Faza yang cerah seperti biasa. Sesaat kemudian, lelaki itu melengos. Ia tidak terbiasa diperhatikan seperti itu selain oleh Laura dan Elea.

"Kamu ingat pernah bilang apa?"

Faza menerawang lalu menggeleng. "Yang kapan? Aku soalnya banyak ngomong, sih, jadi nggak ingat."

"Kamu bilang kamu nggak akan ikut campur lagi kalau saya hari itu ke rumah sakit buat jenguk Papa," ucap Fikri datar. Atensinya kembali diedarkan ke halaman rumah. Netra yang dibingkai kacamata tipis itu menatap kosong dan lurus ke arah pagar.

Mendengar itu, Faza langsung diam. Ia membiarkan suasana hening beberapa saat sebab bingung hendak menjawab apa.

"Lupa, ya?"

Faza meneguk ludah ketika Fikri menagih jawabannya.

"Ingat, kok. Ingat banget, tapi gini, Mas Fikri ... ada masalah."

"Masalah apa?"

"Masalahnya, aku nggak bisa pergi dari Mas Fikri."

Mendengar jawaban tidak masuk akal dari gadis di sebelahnya, membuat lelaki itu menoleh lagi. Faza menggenggam tangannya sendiri, sementara itu wajahnya tampak kebingungan.

"Anu ... cara ngomongnya gimana, ya? Eh, jangan lihatin aku kayak gitu, lho. Aku jadi grogi. Mas Fikri lihatin itu kucing tetangga aja, deh. Itu kayaknya si kucingnya lagi pengen kawin. Jantan atau betina, ya?"

Sedetik, senyum tipis melintang di wajah lesu Fikri. Omongan random Faza yang seperti inilah yang dirindukan lelaki itu setelah seminggu ia tenggelam dalam penyesalan.

"Senyumnya jangan pelit-pelit, Mas. Lebarin la—eh, enggak. Enggak, kok, he-he, bercanda." Faza langsung kikuk ketika alih-alih tersenyum lebih lebar, Fikri malah mengubah raut wajahnya menjadi sedatar papan setrika.

"Gini, lho, gini, biar tak jelasin. Aku tuh sebenarnya nggak bisa beneran pergi karena Om Ahmad pernah bilang untuk jangan tinggalin Mas Fikri. Jangan biarin Mas Fikri sendirian. Katanya, Mas Fikri itu perlu banyak diajak bicara. Terus, anu ... katanya biar Mas Fikri nggak larut-larut sedihnya. E ... jadi aku ngikut wasiat, ya, bukan berarti keinginanku sendiri, ya. Bukan gitu."

Entah karena belakangan ini hatinya melunak, ia jadi gampang tersentuh ketika nama Ahmad disebut. Seperti saat ini, air di pelupuk matanya mulai menggenang dan akan tumpah jika ia berkedip sekali saja. Betapa merasa menyesalnya ia ketika tahu bahwa sang ayah selalu memperhatikan dirinya. Memilih untuk menelan bulir itu, Fikri mendongak.

"Jangan gini, dong."

Fikri yang sibuk menata hati, dikejutkan oleh Faza yang tiba-tiba terisak di sebelahnya.

"Jangan tahan-tahan nangis kayak gitu. Aku yang lihatnya jadi sakit, tau! Jangan natap dunia dengan pandangan kosong kayak gitu. Aku bisa bantu apa supaya mata Mas Fikri ada isinya, kayak dulu? Ini bajunya bau rokok, lho. Kenapa ngerokok, sih? Di sini nggak ada yang jualan permen? Mas Fikri seputus asa itu? Aku, lho ... aku lihatnya jadi sesak dadaku!"

Faza benar-benar menyembunyikan wajah di balik dua telapak tangannya. Gadis itu benar-benar terisak dan tidak membiarkan Fikri melihat mukanya yang banjir air mata. Ia sesenggukan di sana, membuat Fikri bingung harus memberi respons seperti apa. Ia pikir, seharusnya bukan Faza yang menangis, tetapi dirinya. Ah, ia seketika ingat bahwa Faza memiliki empati yang sangat tinggi.

Fikri tiba-tiba tertawa kecut nan samar. Ia tidak menyadari bahwa beberapa orang mungkin melihatnya sebagai lelaki menyedihkan. Seperti Faza memandangnya saat ini, atau seperti Anis yang diam-diam masuk ke kamarnya, mengelus surainya dan berbisik bahwa Ahmad tidak pernah marah.

"Terus seminggu ini ke mana aja?" tanya Fikri akhirnya setelah membiarkan Faza menenangkan diri.

"Aku takut Mas Fikri muak karena aku harus ingkar janji. Aku takut Mas Fikri marah sama kehadiranku. Aku takut Mas Fikri larang aku untuk ikut campur lagi. Jadi, aku menepi sebentar," jawabnya masih dengan isak samar sisa tangisan tadi.

Fikri mengangguk samar. Betul demikian. Ia tidak suka jika seseorang mengambil tanggung jawab lebih banyak tanpa menyadari di mana posisinya berada. Ia benci pada orang yang mengingkari janji. Ia muak pada keberadaan seseorang yang terus datang setelah diusir jauh. Harusnya begitu, tetapi sekarang ... entahlah. Ia justru berharap Faza ada di sampingnya.

"Kalau gitu, berarti kamu nggak patuh sama wasiat Papa, kan?"

Bukan hanya Faza yang terkejut dengan ujaran Fikri, lelaki itu pun sama. Jika bisa mengulang waktu, akan ia jaga mulutnya agar tidak berucap demikian. Namun, Fikri akhirnya tersenyum lagi. Samar, seperti biasa, tetapi masih dapat ditangkap dengan jelas oleh Faza. Wajah gadis itu yang memang kemerah-merahan jadi makin merah.

"Kamu nggak harus pergi kalau nggak mau pergi. Makasih karena udah datang hari ini."

🕊🕊🕊

Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro