Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 38

"Tumbuh memang menyakitkan, perubahan itu berat. Tetapi, tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding saat kamu terjebak di tempat yang bukan milikmu."

(Zipho Tefu)

🕊

K

akinya sudah keram dan kesemutan, tetapi lelaki berusia 27 tahun itu tidak kunjung beranjak dari tempatnya bersimpuh. Ia sesekali mendongak, menantang teriknya mentari demi mengeringkan sisa air mata yang terus jatuh di pipi. Sesekali pandangannya jatuh pada jirat yang tertulis nama Ahmad di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematian.

Tidak ada yang beranjak. Anis bersama Ghibran dan Yusuf sama-sama diam, tidak bersuara sedikit pun, membiarkan Fikri berdiskusi dengan keheningan. Elea sudah pulang sejak tadi sebab Ezra mulai rewel, tetapi Harsa dan Chesa tetap tinggal, menemani Fikri.

Jarum jam sudah tepat di angka dua belas. Matahari pun akurat posisinya di atas kepala. Peluh dan air mata kini bercampur padu tanpa bisa dibedakan. Fikri tidak peduli. Tangannya sesekali meraih kembang di atas tanah basah itu, mulutnya masih berucap maaf dengan lirih.

"Tante?"

Anis menoleh, menatap Fikri yang memanggilnya pelan.

"Tante nggak usah tungguin aku. Pulang aja. Kasihan Ghibran sama Yusuf kepanasan," ujarnya.

"Ghibran sama Yusuf kalau mau pulang nggak apa-apa, kok, Nak. Nanti Mama susul, ya?" Alih-alih merespons ucapan anak sambungnya itu, Anis malah melirik kedua putranya yang juga tengah bersimpuh.

"Mas temenin Mama aja. Nggak apa-apa kalau lama. Kamu pulang aja, Dek," balas Ghibran.

"Nggak, ah. Aku pulang sama siapa? Aku kan nggak bisa bawa mobil. Motor juga nggak bisa. Aku ikut temenin Mama aja."

"Mas anterin, yuk?" Harsa angkat bicara, tetapi Yusuf masih menggeleng.

"Jangan, Mas, malah ngrepoti. Soalnya rumah kita juga berlawanan arah. Aku nggak apa, kok. Mas duluan aja, kasihan Chesa kepanasan," tolak remaja tanggung itu.

Harsa menurut dan membawa Chesa dalam gendongannya.

Fikri menghela napas. "Jangan tungguin aku. Kalian harus salat Zuhur, kan?"

Tiga orang lainnya saling pandang.

"Aku nggak apa-apa. Aku juga butuh waktu sendiri. Boleh, ya?"

Anis, Ghibran, dan Yusuf bangkit. Mereka cukup mengerti untuk memberi Fikri waktu sendiri. Sebelum Anis benar-benar membalikkan badan, Fikri kembali memanggil.

"Di rumah Tante ada kamar kosong?"

Anis mengangguk sambil tersenyum. "Selalu ada tempat untuk kamu di rumah, Nak."

🕊

Lelaki itu tiba di tempat yang dikatakan rumah pada waktu magrib. Oleh Ghibran, ia ditunjukkan kamar tempatnya bisa menginap.

Sepi.

Fikri sadar betul bahwa hatinya kini hampa. Ia tidak tahu harus apa. Ia bingung harus menghadapi apa lagi. Kebenciannya sudah hangus, pergi terkubur bersama jasad Ahmad dan tidak akan kembali. Harusnya penyesalan itu pun ikut tertanam, tetapi tidak. Ia masih meratapi kebodohannya.

Ia merebahkan diri, menumpu lengan di atas dahi, menekan semua lelah, lahir dan batin. Tidak ada yang berbeda dari kamar itu. Tata letak dan barang-barangnya masih di sana, dirawat dengan baik entah oleh Ahmad atau Anis.

"Mas, makan, yuk?" Ghibran muncul dari balik pintu.

"Nanti. Kalian duluan aja."

Ghibran menurut. Sejak dulu ia memang segan terhadap Fikri, padahal sempat mengagumi sosok kakak sambungnya itu.

Fikri menutup mata rapat-rapat, berharap terpejam cepat sebab saat ini kepalanya nyeri sekali. Rasanya seperti dihantam godam bertalu-talu. Tidak heran, sebab sejak kemarin ia tidak tidur dan makan sama sekali, ditambah lagi ia berdiam di bawah terik matahari selama sepuluh jam.

"Mas, ditungguin Mama, katanya disuruh makan malam. Udah jam sepuluh ini."

Fikri membuka lagi matanya. Ia bahkan tidak menyadari berapa lama waktunya terbuang ketika matanya terpejam. Kesadarannya seperti hilang begitu saja. Atensinya menangkap kehadiran Yusuf yang berdiri di depan pintu.

"Nanti aja," balas Fikri sekenanya. Jika boleh jujur, ia tidak berselera sama sekali, tetapi terlampau sungkan untuk menolak.

"Ditungguin Mama dari habis magrib tadi." Tidak ingin mengalah seperti Ghibran, Yusuf bertahan pada tekadnya untuk memaksa kakak sambungnya itu makan malam.

"Bilang sama Tante, nggak usah tungguin Mas. Nanti Mas makan kalau udah lapar."

"Udah berkali-kali aku ngomong begitu, tapi Mama masih nungguin. Nggak susah banget, kan, ya, makan malam? Maaf, ya, nih, Mas. Kalau mau nolak makan malam, ngomong langsung aja ke Mama, biar Mama nggak perlu nungguin Mas Fikri."

Fikri mendudukkan tubuh. Kepalanya terasa berputar hebat ketika posisi badannya beralih mendadak, tetapi tidak terlalu dipedulikan. Sikap ofensif Yusuf menarik perhatiannya.

Kalau dipikir-pikir, anak bungsu itu memang memiliki karakter yang berbeda jauh dengan Ghibran. Anak itu cukup frontal, apalagi jika menyangkut sang ibu. Ketika di rumah sakit pun, Yusuf tidak segan melindungi Anis, berani berbicara blak-blakan agar ibunya menurut untuk pulang dan beristirahat.

Jika dipikir-pikir lagi, Yusuf bahkan sering melayangkan tatapan apatis ketika berhadapan dengan Fikri, berbeda dengan Ghibran yang selalu hangat. Entahlah apa yang dipikirkan anak itu tentang Fikri. Apakah rasa benci?

"Ayok. Aku tungguin Mas sampe bangun. Atau mau makanannya aku bawain ke sini? Mas sakit, ya?" Meski suaranya terdengar cuek, Fikri tahu adiknya itu sedang memperhatikannya. "Kalau sakit, ya ngomong. Aku bawain obat sekalian, deh."

Yusuf merasa tidak butuh respons dari aksinya. Ia segera berbalik. Namun, sebelum anak itu hilang dari pandangannya, Fikri memanggil. "Tante nggak usah ke sini, suruh istirahat aja. Kamu boleh temani Mas makan."

Tanpa menjawab pun, Yusuf langsung melengang pergi. Tidak sopan sebenarnya, tetapi Fikri tidak ambil pusing. Ia meraih kacamata tipis dan ponsel yang letaknya bersebelahan di atas nakas. Lama ia mengecek panggilan masuk, tetapi tidak ada apa pun di sana. Ah, ia bahkan lupa mengaktifkan kembali kartunya.

Yusuf datang tidak lama kemudian sambil membawa nampan berisi nasi, lauk pauk, air minum, dan obat.

"Duduk sini," ujar Fikri halus yang langsung dituruti Yusuf.

"Aku sebenarnya nggak mau nemenin, lho, ya. Ini karena Mama yang suruh, jadi-"

"Iya. Makasih, ya."

"Terus itu obatnya aku nggak tau cocok atau enggak di Mas Fikri. Cuma ada itu. Kalau nggak cocok, besok Mas beli sendiri di warung."

"Iya."

Fikri mengaduk-aduk nasi dan sop yang sudah dijadikan satu. Sesekali ia memotong wortel dan kentang, tetapi tidak kunjung masuk ke mulut.

"Kalau nggak suka masakan Mama, besok-besok Mas Fikri beli aja sendiri. Jangan digituin makanannya. Yang harus diperhatiin di rumah ini bukan cuma Mas Fikri."

Sarkas.

"Yusuf marah, ya, sama Mas?"

"Nggak tau. Apa, sih? Mau lanjut, nggak, makannya? Kalau nggak, aku mau balik, tidur. Mau temani Mama."

Fikri mencelos.

"Mas minta maaf."

Yusuf tidak menanggapi.

"Mas nggak harus nyebutin apa aja kesalahan Mas sampai harus minta maaf. Dilihat dari gaya Yusuf bicara ke Mas, Mas sadar udah sebanyak apa kesalahan yang Mas lakuin sampai Yusuf benci sama Mas."

"Aku nggak benci, ya. Jangan jadiin aku kambing hitam, seolah-olah aku yang busuk hati sampai benci saudara sendiri."

Fikri tersedak oleh ludahnya sendiri. Ia merasa tertampar oleh kalimat anak dua belas tahun itu. Membenci saudara sendiri, itulah yang dilakukan Fikri selama ini. Anak ini belajar berbicara satire seperti itu dari siapa?

"Yusuf boleh jujur, kok. Mas nggak marah."

"Ya, iku aku ngomong jujur. Aku nggak benci. Ngapain? Ngotor-ngotori hati aja. Banyak hal yang harus aku lakuin, lho, ngapain benci-benci? Buang-buang waktuku aja."

Fikri tersenyum masam. Rasanya tidak nyaman disindir oleh Yusuf seperti ini. Apakah ini yang dinamakan karma dan sekarang tengah dialaminya? Astaga, Fikri sampai bingung harus membalas seperti apa. Alhasil ia hanya diam sambil sesekali menyendokkan makanan ke mulut, tidak ingin Yusuf salah paham bahwa ia tidak menyukai masakan Anis.

"Kamar ini dibersihin sama siapa?"

"Papa, Mama. Kadang juga aku sama Mas Ghibran ikut bantuin. Padahal ngapain, ya? Yang punya kamar aja nggak pulang-pulang."

"Maafin Mas, ya."

Sungguh, ia tidak tahu caranya berdamai dengan Yusuf. Itu pulakah yang dirasakan Ahmad ketika anaknya selalu menolak untuk berbicara dari hati ke hati?

"Udah, Mas. Kalau nggak sanggup dihabisi, sisain aja. Obatnya diminum, terus istirahat. Aku pengen tidur."

Fikri setuju. Ia mengemasi nampan dan dengan cepat menenggak satu butir obat tablet sakit kepala sejuta umat.

"Dek," panggil Fikri ketika Yusuf hendak meraih nampan dan membawanya ke dapur.

Yusuf bergeming mendengar panggilan itu. Fikri tidak menegur dengan namanya lagi, seperti yang dilakukannya baru-baru saja.

"Mas boleh minta tolong?"

🕊

Pagi ini, Fikri baru membuka matanya pukul sepuluh pagi. Ia lekas mencuci wajah, kemudian mengambil kunci motor.

"Mau ke mana, Nak? Nggak sarapan dulu?"

"Ke depan."

"Sarapan dulu, ya? Kata Ahmad kamu suka ayam semur, kan? Tante udah masakin, tuh. Semalam makannya nggak habis karena sopnya nggak enak, ya? Kayaknya karena udah dingin, deh, tapi itu semurnya udah Tante hangatin, kok."

Fikri melengos. Dengan bertindak baik seperti itu, Anis malah membuat Fikri merasa bersalah.

"Aku pergi dulu."

Lelaki itu melangkahkan kakinya, menstater motor dan langsung pergi ke warung. Ia membeli dua bungkus rokok dan menikmati padatnya aktivitas Senin pagi, menjelang siang. Sesekali ia memainkan gim di ponsel, sungguh tidak jelas alur hidupnya hari ini dan mungkin untuk beberapa hari ke depan pun akan sama.

"Mas Fikri, toh? Udah dewasa, ya?"

Fikri mengernyit ketika seorang wanita tambun menyapanya. Ia tidak familier dengan wajah tersebut, tetapi dengan sopan Fikri membalas sapaannya.

"Aku hampir ra iso, lho, ngenali wajah Mas Fikri. Untung aja ada warisan-warisan Ahmad dan Laura di wajahmu, jadi aku tau." Tanpa membiarkan Fikri berdiam diri, wanita tambun itu malah menggeser kursi dan duduk di hadapan Fikri.

Melihat Fikri kebingungan, wanita itu kembali berceloteh, "Aku temennya Laura. Dulu sebelum kamu nyantri, sering main ke rumahku sama si Nuri."

Ah, ia ingat Nuri, tetapi tetap tidak mengingat ibu gempal tersebut. Namun, ia tidak ingin memperpanjang persoalan dengan interaksi tanya jawab. Jadi, ia hanya angguk-angguk saja.

"Apa kabar kamu? Makin ganteng agaknya. Ada rencana nikah, tah? Udah punya calon?"

Sudah pernah ditinggal menikah dan belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat. Itu jawabannya, tetapi demi menanggapi pertanyaan si ibu, Fikri hanya tersenyum ramah.

"Nuri masih single, lho. Kalau kamu mau-"

"Ada, Bu. Saya udah punya calon," potong Fikri cepat-cepat. Agaknya ia sudah bisa menebak arah percakapan wanita di depannya.

"Iya, tah? Ada? Cantik, ndak? Mana, aku mau lihat?"

Makin tidak nyaman, Fikri memundurkan kursinya. Niat ingin menenangkan diri, malah jadi menyusahkan hati.

"Ada, Bu, tapi maaf, itu privasi."

Masalahnya, memang foto siapa yang hendak Fikri tampakkan?

"Alah, anak zaman sekarang, semuanya serba privasi. Itu si Nuri juga begitu," lapornya.

Saat ini, yang Fikri harapkan adalah situasinya bersama wanita tersebut cepat selesai. Ia malas berurusan dengan orang baru.

"Ah, ya udah, aku balik dulu. Kamu sehat-sehat, ya. Di sini pada kenal sama Ahmad, bapakmu kui orang baik, suka nyapa dan bantu orang-orang sini. Itu, kamu lihat masjid di sana? Itu selesainya tahun lalu, bapakmu termasuk donatur utamanya. Enak salat di sana. Adem, nyaman. Duh, kalau udah ngomong jadi susah berhentinya. Biasalah, ibu-ibu ya kayak gini. Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan kasih tau kita. Anggap keluarga."

Untungnya, setelah berbicara demikian, ibu itu pergi. Fikri bernapas lega.

Ia memalingkan wajah ke arah kubah yang ditunjuk oleh ibu tersebut. Atensinya terpaku pada bangunan yang tampak menonjol di antara gedung dan perumahan. Sudah berapa lama lingkungan ini ia tinggalkan hingga ia tidak menyadari telah banyak yang berubah?

Sama seperti hatinya yang rindu memanjat doa.

🕊🕊🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro