Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 36

"Bila cintamu sungguh-sungguh, tentu kau akan patuh. Sebab seorang kekasih, pastilah patuh pada kekasihnya."

(Imam Syafi'i)

🕊

Enggan masuk, tetapi tangannya dipegang kuat-kuat oleh sang kakak. Fikri, mau tidak mau ikut menyeret langkah ke dalam ruang Ahmad setelah Anisa dan Abah keluar. Mereka harus masuk bergantian setelah dokter memeriksa sejenak.

Di sana, Ahmad terbaring lemah. Selang-selang masih menempel di tubuh bagian depan. Alat bantu napas pun masih bertengger di hidung, kondisinya tampak menyedihkan. Mata sayu itu berkedip pelan, menyambut kedua anaknya masuk, mendekat. Dua anak yang pertama kali dicintai olehnya, tanpa syarat.

Ahmad mengisyaratkan keduanya untuk mendekat. Fikri menurut canggung, hingga jaraknya dengan sang ayah terkikis banyak. Elea mundur, memberi kesempatan pada adiknya untuk berdiri di posisi paling dekat dengan Ahmad.

Fikri mematung ketika netranya seakan menolak untuk menghindari tatapan sang ayah. Seingatnya, dulu atensi itu berbinar terang, seperti ada bintang di dalamnya. Seingatnya, wajah teduh itu tidak pernah lepas dari senyum indahnya. Kini, bahkan kelopak mata Ahmad seperti terlalu berat untuk terbuka. Bibir yang dulu menyunggingkan sudut simetris, kini sudah miring sebelah.

Entahlah, Fikri tiba-tiba merasa hatinya nyeri. Matanya panas, seperti hendak mengalirkan isinya. Ada sedikit dorongan dalam hati untuk meniadakan jarak, merengkuh tubuh tanpa daya itu dan menangis di sana, tetapi ia gengsi. Lagi pula, ia tidak akan mengganggu fungsi selang-selang yang menempel di tubuh Ahmad. Begitu alasannya untuk tetap bergeming.

"Ma—aa."

Tidak seperti dulu, mulut yang senantiasa memberi afirmasi, kini tidak dapat mengucap kata yang bisa dimengerti.

"Ma—aa."

Papa minta maaf.

Fikri mengerti. Sangat mengerti walau tanpa dilafalkan dengan jelas. Lelaki itu mati-matian menahan gejolak di dadanya, tetapi lelehan air dari sudut mata Ahmad, mengetuk hatinya untuk pasrah. Pasrah pada air mata yang juga rindu dikeluarkan. Dua lelaki itu menangis.

"Lea ... ma—aa."

Isak Elea menjadi lebih beringas kala menyadari namanya ikut disebut. Wanita itu menggeleng keras-keras. Ahmad tidak perlu meminta maaf. Seharusnya ia berkata seperti itu, tetapi lidahnya kelu sebab otaknya sibuk memikirkan cara meredam tangis agar tidak menimbulkan kegaduhan.

"U—mah, Nak. Lea ...."

Kali ini, Fikri tidak mengerti. Berkebalikan dengan sang adik, Elea mengangguk cepat. Secepat berubahnya keadaan menjadi hening karena beberapa detik kemudian, Ahmad kehilangan kesadaran lagi.


🕊

"Hai. Ini Mama. Apa kabar anak-anak kesayangan Mama? Si cantik Elea, si tampan Fikri. Baik, ya? Harus baik, sih. Soalnya Mama selalu berdoa biar Tuhan menjaga kalian. Pasti Tuhan ngabulin, soalnya Tuhan Maha Mendengar."

Fikri terpaku kala atensinya menangkap wajah sang ibu dalam bingkai infokus beberapa meter di depannya. Elea dengan cermat menyambungkan memori kamera ke penyimpanan laptop lalu menampilkannya dalam layar lebar. Ya, saat ini mereka sedang berada di rumah Ahmad. Hanya mereka berdua.

"Mama nggak tau kapan kalian bakal lihat video ini. Dua tahun lagi? Lima tahun? Tapi, semoga sebelum kebencian kalian makin dalam, video ini berkesempatan untuk ditonton oleh kalian, ya. Mama nyiapin ini untuk Elea dan Fikri. Anak-anak kuat yang Tuhan kirim untuk jadi hadiah di hidup Mama. Kalian tau, Mama selalu sayang kalian. Mama always love you, Elea, Fikri."

Laura terlihat menghela napas, mengambil jeda. Hal yang sama dilakukan oleh Fikri, bersiap untuk menerima kalimat-kalimat baru dari sang ibu.

"Beberapa kejadian yang kalian saksikan, mungkin udah bikin kalian trauma. Mama minta maaf kalau untuk saat-saat itu, Mama nggak ada di samping kalian. Mama mau, tapi nggak bisa. Entah gimana pun caranya, Mama mau mendekat, tapi Oma selalu ngasih jarak. Itu hari-hari terberat Mama, ketika nggak bisa ketemu kalian dan Ahmad."

Laura tertawa kecut. "Iya. Hari terberat Mama bukan saat Oma maki-maki Mama di depan kalian, Nak. Bukan saat Oma menuding macam-macam. Itu udah biasa. Udah dari awal masa Mama nikah sama Ahmad, udah digituin. Jadi, kalian nggak perlu cemas. Nggak perlu nangis, lho, Elea. Nggak perlu marah, Fikri. Kadang, manusia bertindak di luar batas karena justru mereka itu terbelakang. Akalnya nggak dibentuk sempurna. Harusnya kita kasihan, Nak."

Fikri mencelos. Ia baru tahu bahwa Laura menanggung beban berat itu sudah sejak lama. Namun, hingga saat video direkam, Laura masih saja melempar pandangan positif. Jemari lelaki itu saling mengepal rapat. Memori tentang Oma merendahkan sang mama kini berlarian di benaknya.

"Jangan marah, Fik. Tenang," kata Elea sambil mengusap punggung tangan sang adik yang terkepal, sadar betul akan respons Fikri. Perlahan, seiring dengan napas yang diatur baik, kepalan jari itu mengendur.

"Maafin Mama, ya. Maafin Papa juga. Semua ini salah kami. Bukan kalian, bukan Oma, bukan Tuhan, bukan syariat. Salah kami yang tetap mutusin untuk melawan ketetapan Tuhan, sampai kalian harus menanggung karma dari perbuatan kami.

"Maaf, kalian harus lahir dalam kondisi berbeda. Maaf, Mama menyeret kalian pada kebencian yang diciptakan orang-orang. Maaf, karena sejak lahir, kalian nggak dekat sama keluarga besar kalian. Maaf, ya. Mama minta maaf. Maafin Papa juga.

"Waktu Papa bawa kalian ke rumah Oma dan tiba-tiba menikah dengan Anis, Mama kaget. Mama sedih karena hal ini sama sekali nggak pernah dibicarain sama papa kalian dan saat itu, Mama malah impulsif mengambil tindakan. Maaf, ya, Mama malah malu-maluin keluarga. Tapi, kalian jangan benci sama Tante Anis. Demi Tuhan, dia wanita baik.

"Dia masih sering ngunjungi Mama, bawain makanan. Dia masih sering biarin papa kalian nemui Mama, tidur di rumah kita. Dia tau, Nak, tapi dia diam aja. Mama egois banget, ya? Harusnya Mama sadar diri dan langsung pergi aja, tapi nggak bisa. Mama cinta kalian. Cinta Ahmad, Elea, Fikri. Kalian tau apa hal yang lebih aneh dari cinta? Cinta selalu menderita. Tanpa pernah meratap, tanpa pernah mendendam. Nggak masuk akal, ya?"

Di sana, Laura mengusap pipinya yang basah. Tetes dami tetes air mata turun dengan derasnya.

"Mama bahagia. Selama dua puluh tahun pernikahan, entahlah harus berapa kali Mama bersyukur. Papa kalian itu laki-laki yang sangat baik, Mama berani jamin. Jadi, Mama minta tolong untuk jangan benci dia. Kalau kalian benci dia, berarti kalian juga membenci Mama dan Mama nggak pernah siap untuk dibenci oleh anak Mama sendiri. Ya?"

Di tempat duduknya, Fikri menghela napas.

"Untuk Elea, Nak, sampai kapan pun, kamu tetap bebas memilih. Mama tau, pendirianmu teguh. Mama minta tolong untuk jaga Fikri. Dia kuat, tapi labil. Tolong jangan biarin dia kehilangan arah. Tolong selalu bahagia, ya, Nak. Tolong tetap berdiri walaupun kakimu disayat-sayat. Berdiri untuk dirimu sendiri, untuk Fikri, dan untuk Ahmad. Tolong tetap senyum, tetap lembut, dan jangan pernah mengulangi kesalahan. Mama percaya sama Elea.

"Dan untuk Fikri .... Nak, Tuhan nggak pernah salah dalam menulis skenario untuk hamba-hamba-Nya. Mama tau kamu marah, kamu bingung, tapi menghadapinya bukan dengan cara membalikkan badan. Maafkan, terima segalanya. Terima isyarat-isyarat Tuhan, terima rintihan hati kamu. Karena, itu yang selama ini Mama lakukan, menerima. Bukannya hakikat cinta itu adalah penerimaan?"

"Jangan bingung, Nak. Kamu selalu punya teman untuk bicara. Diskusilah sama hatimu sesekali, jangan selalu dengan kepalamu. Nak, kalau udah siap, kapan pun itu, kembalilah. Kembali kepada perasaan jujurmu. Kembali kepada orang yang dipilih hatimu. Kembali pada jalan yang dipilih ruhmu. Kembali, Nak. Kembalilah pada cinta. Karena dalam agama cinta, kata Rumi, semua orang boleh masuk."

Fikri tertegun kala menyadari bahwa Laura sudah sejak lama mengerti apa yang dicarinya. Lelaki itu kini tergugu.

"Ah, durasinya kepanjangan, nih. Baterainya hampir habis."

Fikri menggeleng cepat. Ia tidak ingin ditinggalkan oleh Laura, meskipun bukan dalam arti yang harfiah. Ia masih ingin mendengar nasihat-nasihat itu. Ia masih ingin menerima kasih sayang dari senyum indah sang mama. Ia masih ingin menatap lama-lama wajah ayu Laura. Ia, tidak ingin video itu berakhir.

"Mama ada janji sama romo. Untuk ke depannya, Mama mungkin akan pergi, mengakui dan merenungkan dosa, mencari lagi hakikat kehidupan ini. Tapi, itu bukan berarti Mama membenci kalian."

"Jangan, Ma ...." Fikri seperti tengah melakukan negosiasi dengan layar di depannya walau ia pun sebenarnya tahu bahwa tindakan tersebut tidak ada gunanya.

"Nak, jangan membenci. Tuhan menciptakan kita dengan cinta. Ketika kalian sudah betul-betul nggak dapat menerima jawaban dari pertanyaan kalian, pulang, ya. Rumah menyediakan semuanya. Mama cinta kalian, selamanya." 

Tampak Laura beranjak dari tempatnya kemudian mematikan video. Selesai sudah.

Elea membiarkan suasana hening melingkupi mereka, memberi ruang untuk Fikri menerima setiap kalimat dari mendiang ibu mereka. Hingga hanya suara mesin kipas angin yang mengambil alih, sesekali memainkan anak rambut Fikri di dahi.

"Mbak ...." Akhirnya setelah sepuluh menit, suara Fikri terdengar lirih. Tatapannya masih kosong.

"Iya?"

"Mbak nggak mau bilang apa-apa?"

Elea menghela napas. "Video ini yang Papa mau sampaikan ke kamu, tapi nggak pernah dapat waktu yang pas. Kamu selalu menghindar," balasnya tidak kalah lirih.

Fikri mengalihkan padangan, menatap sang kakak sendu. "Mbak udah tau ini sejak kapan?"

"Tiga tahun setelah Mama meninggal. Tiga tahun setelah Mbak bisa memaafkan segalanya."

Ah, ternyata waktu yang pas menurut Ahmad adalah ketika mereka mampu memaafkan.

"Mama beneran hilang saat itu, Fik. Kamu juga pergi, nggak mau disusul. Papa kebingungan harus nyari siapa, kamu atau Mama. Akhirnya, Tante Anis mutusin untuk cari Mama, Papa cari kamu, dan Mbak ikut Tante Anis. Kamu harus tau kalau saat itu, semua orang lagi hancur dan kamu nggak mungkin lupa kalau saat itu, Gibran masih kecil dan Tante Anis rela ninggalin dia di rumah sama Tante Salma, adiknya Tante Anis. Demi nyari Mama, Fik."

Bibir Elea bergetar kala kembali ke ingatan masa lalu. Sebentar lagi, air matanya akan menggenang, tetapi ia tahan agar tidak keluar. Ia merasa harus menuntaskan ceritanya hari ini.

"Delapan hari lamanya sampai akhirnya Tante Anis menemukan Mama—setelah nanya sana-sini ke romo di tiap gereja—di kontrakan kecil. Mama lemah, bibirnya pucat dan pecah-pecah, matanya sayu, badannya kurus kering. Kamu tau kenapa?"

Fikri menggeleng.

"Mama puasa untuk menebus segala kesalahannya."

Fikri mencebik. Ia jelas tahu maksud dari kesalahan itu.

"Mama dibawa ke rumah sakit, tapi nggak mau diapa-apain. Akhirnya dibawa pulang lagi, masih dengan kondisi yang sama, sedangkan kamu di sana nggak bisa dihubungi."

Fikri mengusap wajahnya kasar.

"Sekarang kamu paham kenapa Mbak marah banget pas nomor kamu nggak bisa dihubungi beberapa hari ini, kan?"

Fikri tidak menjawab.

"Di saat terakhirnya, Mama mohon sama Papa untuk dilepaskan. Mama mau pulang ke Tuhan, Fik."

"Terus Papa—"

"Iya. Mama nggak boleh menderita lagi, jadi Papa lepaskan. Sehari setelahnya, Mama meninggal dalam keadaan tertidur dan masih berpuasa. Kamu tau siapa yang mengurus segala hal menyangkut pemakaman Mama?"

Fikri mengangguk. "Papa," jawabnya.

"Bukan, tapi Tante Anis. Papa depresi."

🕊🕊🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro