Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 32

Kalau religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, kasar, keras, dan fitnah, maka yang kamu sembah itu Tuhan atau egomu?

(Omar Imran)

🕊

Sepulang dari kegiatan mengajar, Fikri berhenti di sebuah warung untuk membeli tahu campur. Ia berniat mengunjungi Abah sore ini, seperti yang disampaikannya pada Faza tempo hari. Ia mungkin akan menanyakan beberapa hal, ia sedang dalam perjalanan untuk menemukan jawaban.

Menjelang sore, cuaca cukup harmonis. Tidak panas dan tidak pula mendung. Meski jalanan macet seperti biasa, setidaknya wajah pengendara tidak mengeluarkan keringat lebih banyak hari ini.

Sembari menunggu warung yang tampak ramai antreannya, Fikri memandang langit luas. Terhampar tanpa batas, dibentang oleh Sang Mahakuasa demi menunjukkan kebolehannya untuk disembah semua makhluk. Seluas itu pula kebodohan dan ketidaktahuan manusia. Sayang, setinggi itu juga kesombongannya.

Dulu Laura pernah berkata bahwa langit itu diciptakan untuk merangkul perbedaan. Katanya, tangan Tuhan penuh kasih, hingga tidak setengah-setengah menciptakan semesta. Sayang, di antara banyaknya nikmat yang tidak bisa dikira, manusia menciptakan kontroversi seenaknya.

"Mas?"

Fikri mengerjap ketika pundaknya ditepuk oleh seorang remaja, mengisyaratkan dirinya untuk maju sebab antrean di depannya sudah berkurang. Larut dalam pemikiran Laura adalah hal paling menyenangkan menurut Fikri, sampai-sampai ia lupa tempat. Lelaki itu mengalihkan pandangan dari langit setelah mengusap wajah.

Tidak butuh waktu lama, setelah pesanannya dibungkus, Fikri melengang pergi setelah menstater motornya.

Lima belas menit waktu yang dibutuhkan lelaki itu untuk tiba di rumah asri dengan pagar putih, kediaman Abah. Di teras, Abah terlihat membaca koran, lantas setelah menyadari kehadiran Fikri, ia bergerak cepat menyambut dengan membukakan pagar.

Setelah menyapa, Abah menerima bungkusan plastik dari Fikri dan izin sebentar untuk menyajikannya. Lelaki itu mengangguk, mempersilakan. Selagi menunggu, ia mempertimbangkan kembali apakah keputusannya untuk bertanya sudah tepat atau belum. Apakah Abah orang yang bisa diajak berbagi kisahnya atau belum. Apakah Abah bisa mendengarkan tanpa mencela atau tidak. Fikri menautkan jemarinya.

Lima menit kemudian, Abah membawa nampan berisi dua piring tahu campur dan dua gelas teh hangat.

"Kok disajiin untuk saya, Bah?"

"Lha, kamu belinya dua bungkus," balas Abah sambil mengernyit.

"Satunya lagi untuk Mafaza, atau untuk orang yang ada di rumah Abah. Saya udah makan tadi," jelas Fikri selagi Abah menyajikannya di meja kecil di teras itu. Abah malah terkekeh sebelum duduk.

"Faza ndak di rumah, mbaknya juga ngekos, sebulan ini ndak pulang-pulang."

Oh, begitu.

"Mafaza ke mana, Bah? Jam segini udah pulang ngajar, kan?"

Abah tergelak. "Kalian ini lucu, lho. Kamu ngunjungi Abah, Faza ngunjungi Ahmad. Kayak anak hilang aja," celetuk Abah di sela tawanya. "Lagi seneng-senengnya lihatin Ezra juga. Faza suka anak kecil memang. Dia kesepian di rumah kayaknya."

Ah, begitu. Fikri mengangguk saja. Sekarang ia tidak lagi mempermasalahkan keberadaan Faza. Toh, dengan adanya gadis itu yang rutin mengunjungi Elea dan Ahmad, bisa sedikit menggantikan perannya untuk bertemu sang ayah. Biarlah, Ahmad juga tampak menikmati waktu bersama Faza. Bahkan gadis itu juga terlihat begitu akrab dengan Anis, hal yang tidak dapat Fikri lakukan.

"Mangga, dimakan." Abah menyodorkan piring pada Fikri yang langsung disambut oleh lelaki itu.

Sejenak, Fikri menikmati makanan khas tersebut tanpa membuka pembicaraan. Abah pun tampak mendalami rasa sambil sesekali menyesap teh hangat. Udara sejuk dari awan mendung siang ini membuat mereka larut sebentar dalam diam. Sesekali, tetangga yang lewat menyapa Abah ramah.

Setelah tujuh menit, piring Abah tandas, sedangkan Fikri masih menyisakan seperempat isinya. Melihat Abah yang sudah selesai, lelaki itu menaruh piring di atas meja kemudian berdeham.

"Kata Abah, kalau saya mau cerita, saya bisa jumpai Abah."

Abah mengiyakan. Abah tentu masih ingat perkataannya sendiri yang diucapkan di teras masjid.

"Saya lahir dari pernikahan beda agama, Bah. Mama saya Kristen, Papa Islam." Fikri menjeda ucapannya demi melihat reaksi Abah. Abah mengangguk-angguk pelan.

"Semuanya berjalan sangat baik walaupun saat itu, nggak ada keluarga besar yang menerima mereka; kecuali bibi saya dari pihak Mama. Kami diasingkan, tapi itu nggak pernah jadi masalah. Saya belajar banyak, Bah, lebih banyak daripada perbedaan yang orang lain lihat. Papa, Mama, Mbak Elea, dan saya bahagia saat itu; setidaknya itu yang saya tau.

"Orang tua saya membebaskan kami untuk memilih agama masing-masing saat menginjak usia balig. Kami memilih dengan kesadaran masing-masing, Bah. Sadar sepenuhnya. Saya sangat meyakini keesaan Tuhan, Mbak Elea menemukan hatinya dalam trinitas dan kasih yang diajarkan Yesus. Saya seperti Papa, Mbak Elea seperti Mama. Malam natal, mereka di gereja. Malam lebaran, kami di masjid. Mereka puasa sebelum Paskah, kami saat Ramadan. Kami mengabdikan diri sepenuhnya untuk keyakinan kami."

Abah tidak menyela sedikit pun, memberikan kesempatan untuk Fikri melanjutkan kisahnya. Bahkan kening Abah tidak sedikit pun mengerut, santai sekali mendengar cerita anak muda di sebelahnya. Sesekali Abah menyesap teh, kemudian memejamkan mata saat angin menyapa wajahnya.

"Demi Tuhan, saat itu saya tau, Bah. Saya tau bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan oleh ajaran mana pun dengan alasan apa pun. Demi Tuhan, saya tau bahwa anak yang dilahirkan dari mereka adalah anak hasil zina—sebab dari awal pernikahan itu memang tidak sah. Demi Tuhan, saya tau bahwa mendustakan ayat-Nya adalah perbuatan orang yang zalim, akan kekal di neraka jika tidak bertaubat.

"Saya tau itu, Bah, tapi saya tahan semuanya dengan prinsip bahwa bagaimana pun keadaannya, saya tidak mungkin mendahului takdir Tuhan. Saya mencintai keluarga saya, Bah, sangat cinta. Walau begitu, saya tidak bisa mendoakan surga untuk Mama dan Mbak Elea. Saya percaya saat itu bahwa Tuhan hanya memberi petunjuk pada siapa yang dikehendaki-Nya. Saya pernah egois ketika setiap sepertiga malam berdoa agar mereka diberi petunjuk. Tapi, Bah, ternyata Mama dan Mbak Elea tidak demikian.

"Tidak ada doa agar kami masuk ke kepercayaan mereka. Mereka hanya mendoakan kebahagiaan, ketenteraman, dan mendoakan agar kami selalu dipenuhi kasih. Tapi, Bah, ternyata saat itu ada yang lebih berkuasa daripada Tuhan."

Fikri menarik napas panjang.

"Hari itu, Oma masuk ke keluarga kami setelah dua puluh tahun membuang Papa. Tiba-tiba menyuruh Papa untuk menceraikan Mama dan menikahi Tante Anis. Oma juga seakan belum puas sebelum merendahkan Mama. Pelacur, setan, iblis, semua yang buruk-buruk Oma tujukan untuk Mama. Bahkan dengan sangat berkuasanya, Oma mengklaim Mama sebagai ahli neraka, kekal di sana selamanya.

"Dari situ saya mulai lemah, Bah. Mama saya dihina seperti itu oleh seseorang yang mengaku paling beragama. Surga dan neraka semudah itu diklaim oleh mereka yang yakin bahwa ajaran yang mereka anut adalah ajaran paling benar. Surga neraka itu hak perogratif Tuhan, kan? Siapa yang berhak menentukan tempat orang lain di akhirat nanti selain Tuhan? Tapi nyatanya, agama menimbulkan itu semua, Bah. Menghasilkan penganut yang berpikiran pendek. Beragama apanya? Mereka beragama pada hawa nafsu aja.

"Kalau menurut Islam, agama lain salah, bukannya menurut agama lain, Islam juga salah? Semua agama Abrahamik itu dibawa oleh utusan-utusan yang kita percaya mereka itu benar, tapi kenapa pada akhirnya menunjukkan perspektif yang beda? Kenapa ayatnya saling menyalahkan, penganutnya saling mengklaim bahwa pihak ini dapat surga, pihak itu dapat neraka? Jadi, untuk apa percaya? Untuk apa beragama? Yang menciptakan agama itu siapa? Tuhan atau manusia?"

Keluh kesah yang sejak lama ditahan seorang diri, kini lepas. Kepala yang tadinya terasa kebas dan berat, saat ini menjadi sedikit lega. Fikri menarik napas dalam-dalam, sadar sejak dirinya bercerita, ia kekurangan oksigen. Selanjutnya, ia memutar kepalanya sembilan puluh derajat dan tersentak kala mendapati wajah Abah yang menatapnya dengan senyum bersahaja.

Awalnya, Fikri khawatir akan jawaban Abah mengingat pemikirannya cenderung kontroversial. Namun, kala melihat wajah teduh tersebut, resahnya hilang. Saat ini, Abah tersenyum ke arahnya.

Abah menarik napas sejenak. "Abah anggap kamu mengerti syariat. Jadi, intinya kamu kecewa pada lingkunganmu, pola pikir orang di sekitarmu, dan agama. Iya, to?"

Fikri mengangguk.

"Yang menentukan surga neraka itu, ya, Tuhan. Itu hak perogratif-Nya, kamu benar. Nah, habis itu muncul pertanyaan, Tuhan yang mana? Tuhan yang disembah siapa? Abah tanya ke kamu."

"Tuhan yang mengutus nabi-Nya untuk menyampaikan bahwa surga dan neraka adalah tempat yang ada, yang nyata."

"Terus?"

"Tuhan yang menciptakan manusia untuk memercayai surga dan neraka. Tuhan yang menciptakan agama untuk memvalidasi itu semua, Tuhan yang menyerahkan wahyu."

"Nah lho, jadi agama itu ciptaan Tuhan atau manusia?"

Fikri terdiam sebentar. "Manusia. Kalau Tuhan memang menciptakan agama, bukannya agama itu akan sempurna? Nyatanya banyak yang cacat dalam doktrin agama, Bah." Meski ragu, Fikri tetap berbicara tegas.

Abah tergelak menanggapi ideologi Fikri yang cenderung tidak konsisten. "Manusia dan Tuhan sama-sama menciptakan agama, Nak. Manusia menciptakan agama nafsu, Tuhan menciptakan agama cinta."

Entah memang karena suasana siang ini sendu atau karena kalimat Abah, ada rasa sejuk menjalar ke dadanya. Ucapan Abah terdengar begitu indah dan filosofis. Jawaban yang tidak diduga oleh Fikri sama sekali.

"Tingkat manusia itu ada di atas makhluk lain—hewan, tumbuhan, benda mati—karena punya kemampuan untuk belajar, mengetahui, memahami, menganalisis lebih baik dari makhluk lainnya. Tuhan menciptakan manusia dengan memasukkan sedikit sifat-sifat-Nya. Baik, bijaksana, mengetahui, mendengar, melihat, penyayang, termasuk sifat sombong. Dalam hal ini, manusia nyaris dan bisa disebut sebagai tuhan kecil."

Fikri mendengar dengan saksama, telinganya fokus menangkap penjelasan Abah walau sesekali diinterupsi oleh desau angin yang membelai anak rambutnya.

"Manusia sejatinya boleh menggunakan semua sifat Tuhan yang dimilikinya, kecuali sombong. Tidak ada yang berhak untuk menyombongkan diri, tapi kebanyakan manusia malah sebaliknya. Tidak menggunakan kelebihan lain yang diberikan Tuhan, tapi meninggikan rasa sombongnya. Berteriak bahwa dirinya paling benar, paling suci, paling baik.

"Nak, kamu tau arti sombong, kan?"

Fikri mengangguk. "Menolak kebenaran dan merendahkan manusia." Lelaki itu tentu masih ingat sebuah hadis yang menjelaskan tentang perilaku sombong.

"Kita kesampingkan 'menolak kebenaran' karena inti pembahasan kita ada di 'merendahkan manusia'." Abah menjeda kalimatnya setelah mengangguk puas mendengar jawaban Fikri.

"Masalah yang dihadapi orang beragama itu banyak, yang paling parah yaitu salah menafsirkan dan fanatik berlebihan. Ketika dua sikap itu bergabung, maka terbentuklah orang-orang yang merasa paling benar. Kita ndak bisa menafikan bahwa oknum kayak gini menjamur di sekitar kita, Nak.

"Lantas, apa peran agama dalam menanggapi hal tersebut? Nah, itu inti pertanyaanmu, to? Kenapa agama seakan-akan membiarkan itu semua terjadi?  Kenapa agama mengehendaki perbedaan, peperangan, padahal agama diciptakan oleh satu Tuhan yang sama? Bener, tah? Abah sedikit lupa pertanyaanmu."

"Benar, Bah, itu esensi dari pertanyaan-pertanyaan saya," jawab Fikri cepat. Ia tidak heran jika Abah lupa, mengingat dirinya memang banyak melontarkan pertanyaan secara acak.

Abah mengangguk-angguk, memainkan jenggot yang hanya sehelai dua helai kemudian menatap Fikri lembut. "Ah, rasanya udah lama Abah ndak bicara sama orang lain tentang ini. Ya udah, Abah jawab pelan-pelan. Semoga kamu bisa dapat sedikit penerangan."

🕊🕊🕊

Maaf banget, dua minggu ini nggak update. Yoru terkendala kegiatan padat dan seminggu lalu sempat tumbang wkwkwk. Untuk ke depannya—mungkin selama lima bulan ini—Yoru nggak janji akan update rutin, ya, tapi Yoru akan tetap mengusahakan yang terbaik.

Sehat selalu, teman-teman~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro