Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 29

Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.

(Tere Liye)

🕊

Fikri menimbang-nimbang untuk membuka pintu pagar rumah Faza. Halaman asri yang hijau tersebut seakan menyuruhnya untuk melepas penat segera, menikmati embusan angin dari jarak lebih dekat. Suasana begitu terik, ditambah dirinya sejak tadi terpapar polusi jalan raya. Sekarang, laki-laki itu malah ragu mengunjungi Faza.

Sebenarnya, ia juga tidak berniat mampir ke sana. Ahmad yang memaksa, katanya sebagai sambung tangan ucapan terima kasih dari Elea. Kakaknya itu belum diizinkan ke mana-mana oleh suaminya. Mendukung dengan semangat, Elea bahkan memesan buket bunga dan parsel untuk Faza.

Ibu dua anak tersebut jadi merasa bersalah sebab telah memicu trauma Faza. Ia makin merasa bersalah ketika tidak diizinkan untuk pergi menjenguk Faza. Kata Harsa setidaknya harus istirahat selama dua minggu, baru boleh jalan ke luar rumah.

Sekarang, yang memegang parsel dan buket itu adalah Fikri. Helm sejak tadi tidak dilepas, malu dilihat tetangga yang bolak-balik menatapnya. Padahal, jika ia memutuskan langsung masuk, urusannya akan lebih cepat selesai. Bayangkan saja, seorang laki-laki dengan hoodie putih, memakai helm, sebelah tangan memegang buket dan sebelahnya lagi parsel. Apa orang-orang tidak bingung?

"Cari siapa, Mas?"

Seorang laki-laki paruh baya menghampiri Fikri. Lelaki itu gelagapan.

"Cari Abah," jawabnya spontan.

Laki-laki paruh baya dengan kaus oblong itu terkekeh. "Cari Abah atau anak gadisnya?"

"Abah, saya cari Abah, kok," sahut Fikri cepat.

Untung saja memakai helm, kalau tidak, mungkin sekarang bapak tersebut akan menertawai telinganya yang merah sebab memanas.

"Yo wes, masuk aja. Udah seharian Bapak ndak lihat Abah keluar rumah. Kayaknya ada di dalam."

Meski masih dengan wajah yang tersenyum, bapak tersebut tidak memperpanjang urusan dengan menggoda Fikri. Setelah mengatakan hal tersebut, bapak itu pamit lantas berlalu setelah menitip salam untuk Abah.

Fikri akhirnya membuka pagar, meletakkan bawaannya di kursi teras, kemudian menuntun motornya untuk mendapat tempat yang teduh di balik sinar ultraviolet. Ia menghirup napas panjang sejenak, menikmati rimbun pohon mangga yang daunnya saling gesek. Setelahnya, ia mengetuk pintu. Abah membukakan.

"Loh, Fikri? Apa kabar? Masuk, masuk, di luar panas. Abah bikinin jus jeruk, ayo," seru Abah antusias kala mendapati Fikri berdiri di depan pintu rumahnya.

"Eh, nggak usah, Bah, saya ke sini disuruh Papa. Ini cuma mau nitip bingkisan dari Mbak Elea, katanya sebagai ucapan terima kasih," balas Fikri cepat.

"Lah? Kalau ndak masuk, kenapa datang? Tanggung."

"Saya cuma mewakili Papa sama Mbak Elea, Bah."

"Lah? Kemarin Ahmad ke sini, kok, ngunjungi Faza juga."

Fikri melongo, Abah terbahak.

"Wes, masuk aja. Apa ndak kangen sama Faza?"

"Eh—"

"Ndak baik nolak tawaran tuan rumah, toh?"

Belum sempat protes lebih lanjut, Abah menarik pergelangan tangan Fikri dan memastikan lelaki itu duduk manis di sofa ruang tamu. Kemudian, Abah meraih buket dan parsel di kursi teras dan meletakkannya di atas meja tamu.

Abah begitu cekatan. Belum sampai semenit, sudah hilang di balik gorden ruang tamu, ingin bikin minum, katanya. Fikri jadi segan untuk pulang, mengingat Abah sudah repot-repot untuk menjamunya. Ingin sekali ia mengejar Abah, meminta untuk tidak perlu membuat minuman sekelas jus jeruk, air putih saja cukup. Namun, ia cukup tahu diri dan menjaga adab di rumah orang lain. Memangnya ia siapa?

"Mas Fikri apa kabar?"

"Hah?" Bukan meminta untuk mengulang pertanyaan, sebab Fikri mendengarnya dengan jelas. Namun, karena keterkejutannya melihat Faza yang tiba-tiba muncul, lengkap dengan gamis merah muda dan kerudung instan.

Faza terkekeh pelan, memutuskan duduk di depan Fikri, tetapi dengan posisi yang agak menyilang.

"Apa kabar?"

"Baik."

Faza mengangguk-angguk. Sejurus kemudian, pandangan gadis itu jatuh pada seserahan di atas meja. Fikri masih terus memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Memori tentang bagaimana Faza gemetar hingga tidak mampu berdiri, terlintas di benaknya.

"Repot-repot bawain beginian, padahal aku kan, nggak sakit yang gimana-gimana. Bunganya cantik, tau? Ini bunga asli? Tapi kayak bukan Mas Fikri banget bawa-bawa bu—"

"Kamu apa kabar?"

Fikri tidak sadar pertanyaannya memotong ucapan Faza. Yang laki-laki itu tahu, ia bertanya secara spontan dan sekarang di mata Faza, ia dapat melihat binar yang indah. Bagus seperti biasanya, berbeda dengan tatapan kosong tempo hari di rumah sakit.

"Aku baik, baik banget malahan. Bosen juga, ya, di rumah. Padahal aku nggak kenapa-kenapa, loh, Abah malah nyuruh aku istirahat di rumah, sampai harus libur ngajar segala. Kan, bosan. Eh, Chesa apa kabar? Aku kangen banget deh, rasanya. Dia udah jadi kakak—"

"Ya memang seharusnya kamu istirahat di rumah beberapa hari. Orang-orang cemas mikirin kamu. Kalau kenapa-kenapa, banyak yang repot."

"Banyak pikiran itu nggak bagus, tau. Mikirin apaan juga, orang aku nggak apa-apa, kok. Nih, sehat wal afiat."

Fikri menghela napas ketika melihat lengkungan indah di wajah Faza.

"Abah udah bener. Kamu harus istirahat yang cukup untuk sementara. Ngadepin trauma kayak gitu butuh waktu."

Ungkapan datar Fikri sukses membuat Faza mematung.

"Trauma apa?"

"Kamu punya trauma."

Faza tertawa hambar, tawa yang dibuat-buat. "Apa, deh? Nggak ada, kok."

"Saya tau. Papa tau. Mbak Elea tau."

Faza mendengkus. "Abah yang ngasih tau, ya?"

Fikri mengangguk.

"Abah, ih. Tapi beneran, kok, aku nggak apa-apa. Bilang sama Mbak El juga, aku nggak nyesel nolongin, ya. Mbak El jangan sampai ngerasa bersalah, jangan sampai stres. Kasihan gitu baru selesai ngelahirin. Aduh, si Abah, aku sampai jadi ngerasa nggak enak ini, loh," celoteh Faza tanpa jeda.

Suasana hening sejenak setelah perkataan Faza. Abah mungkin sengaja berlama-lama di dapur, membiarkan dua manusia berbeda jenis itu menghabiskan waktu bersama.

"Mbak Elea sehat. Bayinya laki-laki, namanya Ezra. Dia lahir selamat dan sehat, meski harus nginap di dalam inkubator. Garis wajahnya mirip Mas Harsa, tapi kalau dilihat dari depan, dia mirip Mbak Elea. Dia nggak gampang nangis, kalem banget anaknya.

"Chesa senang karena akhirnya punya adek, tapi masih sering merajuk, nggak nyangka adiknya sekecil itu. 'Kok nggak kayak adik temannya?' Dia bilang kayak gitu pas pertama kali lihat Ezra. Dia kadang ngambek karena Mas Harsa belum ngebolehin dia buat gendong Ezra, tapi dia paling semangat jagain Ezra dari luar boks."

Fikri menjeda kalimatnya. Faza menaruh atensi 100% pada laki-laki yang tengah berbicara dengan senyum tipis yang terukir di wajah tegasnya. Baru kali ini, gadis itu melihat senyuman Fikri sangat tulus. Baru kali ini pula Fikri berbicara cukup panjang.

Cerita singkat yang masih terjeda itu membuat darahnya berdesir hangat. Bahkan tanpa disadari, gadis itu menitikkan air mata. Ezra, bayi laki-laki itu berhasil hadir tanpa harus mengambil nyawa ibunya. Saat ini, Faza merasa bahagia sebab usahanya tidak sia-sia. Anak itu selamat, ibunya sehat.

"Mafaza, makasih."

Faza mengangguk cepat, kemudian menyeka air mata yang terus mengalir melewati pipinya. Bahkan gadis itu sampai sesenggukan, membuat Fikri bingung. Namun, Fikri membiarkan Faza larut dalam tangis harunya.

Kalau Faza menyerah sejak awal, seandainya gadis itu tidak mengambil langkah cepat, jika ia tidak mengemudi di atas kecepatan rata-rata, entah bagaimanalah nasib Elea. Fikri sadar betul, bahwa gadis di depannya yang tengah sesenggukan ini sangat sesuatu.

Ya, sesuatu.

Fikri bingung harus menjelaskan seperti apa. Kalau hari itu Faza tidak ikut campur, apakah Elea dan Ezra bisa saling bertatap wajah saat ini? Jika kemungkinan buruk itu terjadi, bagaimana rasanya menjalani hari tanpa sang kakak—satu-satunya orang yang memahami lukanya?

"Aku nggak nangis, ya. Enggak, pokoknya," celetuk Faza tiba-tiba.

Fikri mengangguk, masih dengan senyum hangat yang tergambar di wajahnya. "Iya, enggak nangis."

Faza sempat terdiam sebentar sebelum mengelap ujung hidungnya dengan tisu. Selanjutnya, ia menunduk, memainkan jari tangan.

"Kalau ngomongnya lembut kayak gitu jangan sambil senyum."

"Hah?"

"Abah mana, ya? Sebentar, aku panggilin Abah dulu."

Alih-alih menjawab ketidakpahaman Fikri atas ucapannya, gadis itu malah bangkit tiba-tiba.

"Eh—kok baru muncul, Bah?" Anak dan bapak itu nyaris bertubrukan dan menjatuhkan dua gelas di atas talam jika Abah tidak mundur dua langkah.

"Ini, loh, perasan jeruknya tadi ndak ketemu. Kamu yang pindahin, tah?"

"Ada, kok, di rak atas. Kan di sana selalu posisinya," bantah Faza.

"Loh, iya." Faza baru saja hendak memprotes ketika Abah berseru, "Duduk di situ, ini Abah bikin buat dua orang. Mau ke mana?"

"Mau masuk kamar."

"Lah? Tamunya ini kok ditinggal? Dia ngunjungi kamu, lho."

"Aku, lho, gedeg sama Abah. Kan traumaku ini rahasia," ceplos Faza.

Abah tertawa, terus berjalan mendekat dan meletakkan dua gelas panjang berisi jus jeruk di hadapan Fikri yang masih kebingungan melihat interaksi anak dan ayah tersebut. Terlebih lagi, dia sibuk dengan pikirannya sendiri.

Memangnya kenapa nggak boleh senyum? Memangnya tadi aku senyum?

"Monggo, diminum."

"Nggih, Bah, matur nuwun."

Fikri menyeruput jus jeruk dingin tersebut dan langsung puas dengan rasanya. Tidak terlalu manis dan masih ada rasa asam-asamnya.

"Minum juga, Nduk. Abah bikinnya dengan penuh cinta."

Faza terpaksa menurut. Abah mengambil posisi duduk di sebelah Faza, memperhatikan anak gadisnya yang sedang minum dan Fikri bergantian.

"Ahmad apa kabar?"

"Baik."

"Ndak diajak sekalian kemari?"

"Hari ini ada jadwal terapi, Bah."

"Bagus itu. Harus semangat biar cepat sembuh. Udah sering senyum dia akhir-akhir ini. Lagi semangat-semangatnya, ya? Kamu lagi sering temenin Ahmad?"

"Nggak, Bah. Itu karena Papa punya cucu baru, kok, bukan karena saya."

Abah hanya mengangguk-angguk pelan.

"Sering-seringlah main ke sini. Abah mau ngobrol ndak ada temennya. Anak muda zaman sekarang pada sibuk sendiri. Bicara sama bapak-bapak komplek, wes bosen. Kalau kangen Faza, datang aja ke sini. Anaknya juga kangen Fikri—"

"Nah, ini. Ini dia hobi baru Abah. Suka ngadi-ngadi," potong Faza sebelum Abah melanjutkan ucapannya.

Abah hanya terbahak melihat anak gadisnya salah tingkah.

"Berarti Mas Fikri tau kalau aku sakit hemofilia?"

Fikri mengangguk. "Kenapa?"

Faza menggeleng sebelum menunduk.

"Nggak apa-apa."

🕊🕊🕊

Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro