Teori 28
Hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.
(Chairil Anwar)
🕊
Elea dan anaknya selamat. Hal itu cukup untuk menjadi kabar baik setelah kecelakaan yang menimpa mereka. Walau masih harus dirawat intensif dan sang bayi berakhir mendekam di dalam boks, tidak apa.
Chesa berkali-kali menjenguk, protes mengapa adik lelakinya kerdil sekali, tidak tampak seperti adik dari teman-temannya. Ia juga menyayangkan malaikat baru tersebut hanya tidur sepanjang hari atau menangis sewaktu-waktu. Gadis kecil yang sudah menjadi seorang kakak itu sering gemas melihat jari-jari kecil yang menggulung, sudah cukup membuatnya kegirangan.
Ahmad dan Anisa bergantian menjaga Elea, sedangkan Harsa dan Fikri sibuk mengurusi perlengkapan Elea dan Ezra-sang bayi laki-laki. Di rumah sakit, mereka tampak semringah, tetapi kala tiba di kediaman, mereka merosot lelah. Sibuk protes tentang cucian menggunung kemudian menyerah, memutuskan untuk membayar ongkos laundry dan berakhir dengan omelan Elea. Harus hemat pengeluaran, katanya.
Selama tiga hari, Fikri disibukkan untuk bolak-balik rumah, kampus, kamar rawat Elea. Ia sampai bergadang karena harus memeriksa tugas mahasiswa. Untung saja kafe dikelola dengan sangat baik oleh Kamil, jadi tidak menambah daftar pekerjaan yang harus dilakukan laki-laki itu. Demikian, ia sengaja membuat jadwal yang bentrok dengan sang ayah agar tidak bertemu saat mengunjungi Elea. Ia masih tidak suka bertemu pria paruh baya tersebut.
"Fik, tiga hari ini Mbak nggak lihat Faza, loh. Kamu ada ketemu dia?"
Fikri mengalihkan pandangannya dari ponsel menuju Elea yang tengah membolak-balik halaman majalah.
"Enggak." Fikri bahkan baru ingat bahwa Faza sama sekali tidak mengunjungi Elea. Biasanya, gadis itu paling senang berkunjung, bukan? Apalagi mencampuri urusan orang lain. Namun, bahkan ketika menjemput Chesa pun, Fikri tidak menemukan Faza-ah, atau mungkin luput dari perhatiannya?
"Kalau nggak ada dia, nggak tau, deh, gimana nasib Mbak," seloroh Elea.
"Udah bilang makasih?"
"Ya, belum. Mbak, kan, nggak ketemu dia."
Fikri mengangguk-angguk. "Lagian kenapa bisa seceroboh itu sampai kepeleset, sih, Mbak?"
Elea mengerucutkan bibir. "Ya, kamu mikir aja! Itu lantai kamar mandi udah licin. Harusnya minggu kemarin jadwal kamu bersihin kamar mandi, tapi kamu tunda terus sampai dua minggu. Kalau Chesa jatuh, gimana?"
Fikri meneguk ludah kemudian terkekeh canggung. Ia bahkan baru ingat tugasnya barusan, tepat ketika Elea menjelaskan. Jika sejak awal mengingatnya, ia pasti akan lakukan secepat mungkin. Lagi pula alih-alih mengkhawatirkan Chesa, mengapa tidak mengkhawatirkan diri sendiri? Hendak berkelakar, tetapi urung. Pandangannya mengikuti derit pintu yang terbuka.
Di sana, Ahmad dan Anisa muncul dengan senyuman lebar.
Fikri mengernyit. Bukankah mereka seharusnya menjenguk di pagi hari? Maka dari itu ia selalu memutuskan untuk mengunjungi sang kakak di waktu siang.
"Eh, Fikri? Lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?"
Fikri berdeham. "Baik."
"Nggak main ke rumah Abah?"
Kening laki-laki itu berlipat.
"Faza demam dari dua hari yang lalu. Kirain kamu bakal jenguk dia."
"Yang bener, Pa? Papa tau dari mana?" Bukan dari Fikri, respons pertama malah terlontar dari Elea. Lelaki itu masih mematung mencerna perkataan Ahmad.
"Kata Chesa, Ibu Fazanya nggak masuk. Terus pas ngopi sama abahnya, katanya Faza lagi demam. Kasihan, teringat traumanya. Ngigau terus," balas Ahmad kemudian meletakkan parsel berisi macam jenis buah di atas nakas. "Masih lemas?"
Elea menggeleng. "Udah nggak terlalu, Pa. Asal lihat Ezra, lemasnya hilang," jawab Elea sembari terkekeh. Ahmad mengusap surai anak pertamanya lembut.
"Makan buah yang banyak, jangan bergadang. Kalau ada apa-apa, Harsa langsung ditelepon. Cepat sehat, cepat pulang. Lebih enak tidur di rumah, kan?"
Elea mengangguk. Ahmad selalu yang terbaik ketika mengkhawatirkan dirinya, sama seperti Laura. Ah, Elea merindukannya. Dua kali mengalami momen hamil dan melahirkan, ia selalu didampingi Anis, ibu sambungnya. Padahal gadis itu rindu pelukan Laura.
"Faza trauma apa?"
"Gimana, Fik?"
Elea mengangguk. "Tadi Papa bilang Faza trauma. Trauma sama apa?"
Ahmad tersenyum canggung, sesekali melirik Anisa yang juga bertingkah sama. Ibu sambung itu bisa kabur dengan alasan memotong buah untuk disuguhkan pada Elea, tetapi Ahmad tidak bisa. Ia menegakkan punggung, kursi yang tadinya menghadap sang putri, kini diputar sembilan puluh derajat agar tidak membelakangi Fikri.
Pria paruh baya itu mengembus napas panjang sebelum memulai cerita. "Uminya Faza meninggal karena kecelakaan mobil yang disebabkan oleh Faza sendiri."
Menjeda kalimat di saat itu adalah momen yang pas untuk Fikri serta Elea mencerna ujaran sang ayah. Kakak beradik tersebut tampak mengernyitkan kening, kemudian menatap Ahmad dalam, menuntut agar ceritanya dilanjutkan.
"Faza yang bawa mobil hari itu, dia lagi belajar. Karena abahnya dinas ke luar kota, jadilah uminya yang ngajarin. Hari itu, di tol, ada satu mobil yang lajunya kencang banget dan nggak berhenti klakson mobil Faza. Karena latah-soalnya dia baru aja belajar-Faza malah nekan pedal gas lebih kuat."
"Astaga." Elea menggeleng-geleng pelan.
Fikri sudah bisa menebak alurnya.
"Tapi si yang punya mobil ini nggak berhenti. Kalau kata abahnya Faza, itu memang salah Faza karena nggak minggir. Dia naikin kecepatan, tapi posisinya tetap di tengah lajur. Pas itu mobil udah sejajar, Faza makin panik karena klaksonnya tetap nggak berhenti. Ini orang mabuk atau apa, ya? Berkendara kok nggak ada adab," protes Ahmad di sela-sela ceritanya.
"Memang. Dikira jalanan itu punya bapaknya sendiri? Emangnya dia bayar pajak sepuluh kali lipat lebih banyak? Lagian kenapa klakson dibunyiin gitu terus? Orang, kan, kaget. Terus, Pa? Faza gimana?"
"Faza banting stir ke kiri secara spontan, menyebabkan terjadinya kecelakaan tunggal. Dia ngemudiinnya cepat, kan, ya? Jadi tabrakannya lumayan parah. Tapi, bukan cuma itu yang bikin dia trauma."
Fikri menaikkan sebelah alisnya, menunggu kelanjutan cerita dari Ahmad.
"Mereka punya penyakit yang sama."
"Penyakit?" Kali ini Fikri yang berceletuk.
Ahmad mengangguk lalu menghela napas panjang. "Papa nggak tau ini boleh diceritain ke kalian atau enggak. Tadi keceplosan, harusnya kalian langsung tanya Abah aja. Kamu lumayan dekat sama Abah, kan, Fik?"
Sebenarnya laki-laki itu ragu seperti apa hubungannya dengan Abah. Mereka hanya tidak sengaja bertemu saat ia menjemput Faza, tidak sengaja berbicara panjang, dan tidak sengaja pergi ke masjid bersama meskipun yang salat hanya Abah.
Ahmad tertawa saat meneliti raut wajah anak lanangnya, membuat Fikri mengernyit. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Jadi, mau langsung tanya Abah atau Papa yang lanjutin?"
Fikri memalingkan wajah. "Terserah." Ia tidak ingin terlihat peduli. Namun, saat ini rasa penasaran justru menguasai dirinya.
Apa yang dialami Faza sampai gadis itu bisa menangis hingga demam? Apa yang terjadi hingga gadis itu kehilangan fungsi sendi sesaat pada tubuh hingga tidak dapat bangkit karena gemetar hebat? Lantas, jika sampai demam selama dua hari, seberapa dalam trauma itu membekas di hatinya?
"Papa lanjutin aja, Fikri penasaran, tuh."
"Mbak."
"Apa? Bener, kan? Muka kamu kentara banget."
Fikri mendelik ke arah Elea yang hanya mengedikkan bahu. Ahmad terkekeh melihat interaksi dua anaknya.
"Mereka sama-sama punya penyakit hemofilia."
Lagi-lagi Ahmad menjeda kalimatnya di saat yang tepat.
"Luka uminya lebih parah, dia pingsan, sedangkan Faza masih setengah sadar. Pas lagi didorong keluar ambulans, Faza sempat lihat uminya. Tiap brankar bergerak, darahnya ngucur terus. Sepanjang jalan, sampai uminya dibawa masuk ICU, Faza lihat semuanya.
"Mereka masuk ke ruangan berbeda, Nak, karena alhamdulillah meski lukanya nggak ringan, Faza lebih mudah ditangani. Golongan darahnya juga O, mudah didapat. Nah, uminya punya golongan darah B yang saat itu, rumah sakit nggak punya kantung darah yang cukup untuk menggantikan darah yang hilang. Ditambah lagi, lukanya lebar dan sulit mengering. Ya, darahnya ngucur terus. Udah tambah stok dari PMI juga, masih kurang."
"Jadi, uminya meninggal karena kehabisan darah?"
Ahmad mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Faza juga sempat kritis saat itu, tapi dia bisa selamat. Itulah sebabnya dia trauma naik mobil yang kebut-kebutan. Apalagi pas nolong Mbak, itu Mbak lagi berdarah, sedangkan Mbak butuh penanganan secepatnya. Dia nggak kuat dengar klakson sahut-sahutan, dia nggak bisa lihat darah di rumah sakit. Dia trauma."
Elea menunduk, mengusap air yang menetes dari sudut matanya. Bagaimanalah? Saat itu, jika tidak dengan bantuan Faza, Elea sudah pasrah jika Tuhan hendak merenggut nyawanya. Doanya hanya satu saat itu, agar Tuhan tetap membiarkan anaknya hidup dan tumbuh dewasa. Namun, ternyata bantuan yang dikirimkan lebih besar dari doanya.
Sayangnya, Faza malah seperti membuka luka lama saat menolongnya. Elea tidak tahu bahwa Faza memiliki trauma yang demikian. Astaga, ibu dua anak itu sekarang bingung bagaimana caranya ia harus meminta maaf dengan Faza. Bahkan setelah dirinya siuman, ia tidak lagi melihat gadis ceria itu, sampai hari ini.
Fikri malah melamun. Itulah sebabnya Faza bertingkah aneh dua hari yang lalu. Ingatannya kembali ke saat ia membawa Afra ke rumah sakit sebab perempuan itu pingsan. Dari belakang, Faza sudah tampak semaput. Setelah Afra masuk ruangan, lelaki itu bisa melihat gelagat Faza yang aneh, tangannya gemetar. Namun, gadis itu pergi sebentar dan kembali dalam keadaan yang baik.
Hal yang terjadi pada Afra dan Elea di mana Faza berada di antara keduanya sungguh berbeda. Afra tidak berdarah, dan yang mengemudi adalah Fikri. Untuk kasus Elea, Faza sendiri yang mengemudi, mengantar Elea yang sudah dipenuhi darah hingga pintu ruang operasi tertutup.
Ia jelas trauma.
"Fik, jengukin dia untuk Mbak, dong!"
🕊🕊🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro