Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 24

Agama hanyalah matahari ilusi yang berputar di sekitar manusia selama dia tidak berputar di sekitarnya.

(Karl Marx)

🕊

Bapak-bapak yang hendak melaksanakan salat Asar beberapa memandangi Fikri dengan tatapan aneh. Pasalnya, lelaki itu duduk diam di serambi masjid tanpa melakukan apa pun alih-alih bergabung dalam saf. Ia sebenarnya risi, tetapi ditahan. Sudah terbiasa mengabaikan pandangan orang lain terhadap dirinya.

Gema takbir dari mikrofon menyapa gendang telinganya. Angin hangat sore hari memainkan beberapa rambut yang jatuh di dahinya. Fikri bersandar, menikmati semilir dersik beriringan langkah kaki buru-buru para jemaah yang bergegas bergabung dalam barisan sebelum imam rukuk, tidak ingin ketinggalan jumlah rakaat.

Sesekali ia menutup kelopak mata, membiarkan alam mengambil alih tubuhnya. Beberapa kali atensinya menjelajah isi masjid, kemudian secara tidak sadar menghela napas berat ketika menyadari dirinya sudah lama tidak sujud seperti orang kebanyakan.

Allahu akbar.

Jemaah bangkit dari sujud mereka lalu berdiri, sudah rakaat ketiga. Fikri tersenyum getir ketika nama Tuhannya disebut oleh sang imam.

Tuhan, mengapa agama-Mu tidak berdaya menghadapi manusia yang berusaha mengambil alih tugas-Mu? batin lelaki itu.

Ia sekali lagi tersenyum masam tatkala mengingat perkataan Oma tentang Laura. Berkali-kali menjelekkan ibunya lantaran berbeda keyakinan dengan ayahnya, seakan tiap manusia yang berbeda mesti direndahkan. Bahkan Oma tanpa ragu menunjuk Laura lantas berkata, "Kau akan kekal di neraka selamanya!"

Fikri tidak pernah menafikan bahwa ibunya memanglah seorang kristiani. Namun, ia masih tidak berani menghukumi apakah surga atau neraka yang akan menjadi tempat terakhir ibunya dan manusia lain mendarat. Entah untuk umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan agama sisanya.

Menurutnya, yang menentukan akhir tempat seseorang setelah mati adalah bagaimana akhir hidupnya. Tidak ada yang tahu seseorang mati dalam keyakinan yang sama dengan kepercayaannya sejak hidup. Tidak ada yang menjamin seorang kristiani wafat sebagai kafir dan muslim wafat sebagai muslim.

Ada hal-hal tidak pasti yang tidak diketahui oleh manusia dan itu sudah menjadi sunnatullah. Hanya Tuhan yang tahu. Lagi pula, seseorang tidak masuk surga karena amalnya. Yang Fikri yakini, manusia bisa mencapai surga karena nikmat dari Tuhan.

Jika Tuhan berkehendak, bahkan wanita yang hanya memberi minum seekor anjing saja bisa masuk surga. Jika Tuhan mau, seseorang yang amal ibadahnya tak terhitung bisa dilempar ke neraka hanya karena mengurung binatang dan tidak ingat untuk memberinya makanan.

Surga terlalu mahal untuk dibeli dengan hitungan amal. Mirisnya, terlalu banyak manusia yang merasa berhak mengeklaim bahwa nirwana hanya diperuntukkan bagi kelompok mereka saja.

Lantas, Tuhan, aku harus berdiri di ubin yang mana?

"Angin sorenya enak, ya?"

Lelaki itu terperanjat lalu membuka mata, mendapati Abah sudah duduk bersila di hadapannya dengan senyum bersahaja di wajah yang teduh. Sejak kapan Abah selesai salat? Fikri menegakkan punggung, berlepas dari posisi bersandarnya.

"Iya," jawab Fikri singkat.

Abah mengubah posisi, duduk di sebelah Fikri dan bersandar. "Sandaran lagi, Nak, nikmati anginnya selagi masih enak."

Fikri mengangguk, menurut. Punggungnya kembali menyapa tembok masjid. Matanya ia pejamkan, menikmati alunan bayu yang membelai wajahnya lembut. Beberapa lelaki paruh baya menyapa Abah, membuat Fikri tidak sepenuhnya jatuh dalam penghayatan semedinya.

Kira-kira lima menit setelahnya, lelaki itu membuka mata dan kembali menegakkan badan. Ia melirik Abah yang tampak menggeser ujung jempolnya ke setiap ruas jari, sedang berzikir sambil sesekali tersenyum kepada orang-orang yang menyapa.

Tepat ketika Abah selesai dengan hal tersebut dan hendak bersandar, Fikri bertanya, "Saya boleh tanya, Bah?"

Abah terkekeh. "Boleh. Manusia diciptakan memang untuk bertanya," balasnya.

Fikri berdeham. "Abah udah tau sejak kapan?"

Abah mengernyitkan kening, menengadahkan kepala sesaat. "Kapan persisnya, Abah nggak ingat. Hari itu, Faza yang cerita. Katanya kamu nggak salat. Kadang kalau sama Abah, anak itu suka cerita banyak hal." Beliau menjeda ucapannya sesaat sebelum menarik napas kemudian melanjutkan,"Abah boleh tanya?"

Fikri mengangguk.

"Kamu pasti punya alasan karena nggak percaya Tuhan, ya?"

"Saya percaya Tuhan, kok, Bah, saya cuma nggak percaya agama," jawab Fikri cepat. Orang-orang cenderung sering memberikan kesan yang sama mengenai ketidakpercayaannya.

Ia tidak atheis, ia hanya penganut paham deisme saja.

Abah mengangguk-angguk. Seharusnya, seperti yang sudah-sudah, Fikri merasa sungkan jika seseorang mempertanyakan keyakinannya. Namun, bersama Abah terasa berbeda.

Setiap orang memberi respons yang mirip seperti penolakan dan penghakiman, tetapi tidak demikian dengan Abah. Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk, raut wajahnya tetap tenang. Fikri tidak ahli membaca mikroeskpresi, tetapi Abah tidak tampak seperti kebanyakan orang yang langsung berkedut ketika mengetahui keyakinan Fikri.

"Berat, ya, Nak?"

Fikri menatap lurus ke depan kemudian mengangguk. Terlalu berat menganalisis segala hal, hingga ia memutuskan untuk berpaling. Namun, setelah berbalik pun, semuanya tidak lantas menjadi lebih mudah.

"Semua makin berat ketika sikap dan tindakan orang lain seolah memperkuat keraguan saya, Bah."

Kening Abah mengernyit, seperti berusaha menangkap maksud dari ucapan anak muda di sebelahnya.

"Contohnya?"

Fikri menarik napas panjang. Ia tidak tahu membicarakan hal seperti ini dengan Abah adalah pilihan yang tepat atau tidak, tetapi ia cukup nyaman dengan kesan Abah yang sama sekali tidak mengintimidasi.

"Dulu saya berpikir bahwa dogma adalah sesuatu yang paling sakral, tapi kian hari, saya dibuat ragu oleh manusia-manusia yang gampang memutuskan hukum sendiri. Saya yakin dengan konsep benar dan salah, tapi kemudian saya ragu apakah konsep itu mutlak atau subjektif.

"Makin ke sini, manusia-manusia yang menyebut diri mereka sendiri sebagai orang beragama malah lebih sering menyalahkan banyak hal, merasa paling benar di atas segalanya, mengklaim surga hanya milik kaum mereka semata. Lantas, apa gunanya menganut prinsip dogma, jika hanya ada kebencian dalam pertentangan itu, Bah?"

Fikri menjeda penjelasannya, Abah mengangguk-angguk.

"Dan hal-hal seperti itu malah terjadi di sekitar saya, Abah. Yang satu bertindak atas dasar kasih, kemanusiaan, dan rasionalitas. Pihak lainnya bertindak keras, merendahkan sesuatu sambil atas nama ajaran yang dianut, lupa untuk tetap bersikap lembut, beradab, dan memberi kasih. Bukannya Tuhan nggak nyuruh hamba-Nya buat berlaku rasis, sekalipun mereka berbeda?"

Abah masih mengernyit. Ucapan Fikri terdengar cukup umum dan lelaki paruh baya itu membenarkan perkataan anak muda di sebelahnya.

"Menurut Abah, apa yang salah?"

Abah sudah menduga pertanyaan tersebut terlontar dari pemuda yang baru beberapa kali ditemuinya itu. Abah menegakkan punggung, berdeham sesaat.

"Takutnya nanti kalau Abah jawab, Abah jadi orang yang gampang memutuskan hukum kayak yang Nak Fikri bicarakan tadi, loh," celetuknya sambil tertawa. Fikri menggeleng pelan.

"Abah nggak perlu khawatir. Kan, saya nggak menganut dogma apa pun," balasnya, membuat Abah terbahak.

"Jujur, Abah udah nangkap maksud dari pernyataan kamu dan menurut Abah, nggak ada yang salah dari statement kamu tadi. Cuma, Abah khawatir kalau jawaban Abah nggak sesuai sama kondisi kamu karena seingat Abah, kamu belum menceritakan secara terperinci situasi yang kamu hadapi sesaat sebelum kamu memutuskan untuk tidak percaya."

Fikri menyunggingkan senyuman lebar. Lelaki itu tidak menjawab lagi, begitu pun Abah yang memilih ikut menikmati angin yang mulai sejuk.

"Abah nggak tau harus jawab gimana, Nak. Abah nggak merasa berhak berkomentar atas sesuatu yang nggak Abah ketahui. Jadi, nanti kalau-kalau kamu pengen ngobrol banyak, ceritalah ke Abah. Main-main ke rumah. Sejak Dhani kerja, Abah jadi suka kesepian."

Fikri tertawa canggung.

"Kamu masih punya orang tua?" tanya Abah tiba-tiba setelah hening mengambil alih situasi mereka selama beberapa saat.

"Faza nggak cerita?"

"Memangnya kalian udah sejauh itu?" Abah terbahak, menertawakan wajah Fikri yang melongo.

"Enggak, Bah, bukan gitu maksud saya. Kata Abah, Faza kan suka cerita apa pun—"

"Memangnya Abah bilang begitu?"

Fikri mengernyit, mengingat-ingat. "Kayaknya," jawab laki-laki itu ragu.

Abah tertawa renyah lantas mengangguk-angguk. "Faza itu meskipun sembrono, dia tau batasan. Dia sering cerita, tapi nggak semua yang dialami diceritain ke Abah. Anak itu seneng ikut campur, tapi itu karena dia ngerasa bertanggung jawab atas hal yang dia campuri."

Fikri membiarkan saja Abah mendeskripsikan sifat Faza meski ia sama sekali tidak bertanya mengenai gadis tersebut. Namun, kalimat terakhir dari lelaki paruh baya itu membuat kening Fikri berkedut sesaat.

Sejenak ia menarik napas dalam tepat ketika kalimat Abah berhenti. Diliriknya wajah Abah yang penuh kewibawaan.

"Bah, saya mau bilang sesuatu. Ini tentang Mafaza."

Perhatian Abah yang tadinya tertuju ke halaman masjid kini beralih, menatap pemuda tampan yang duduk berseberangan dengannya. Wajah Fikri tampak serius, sangat timpang dengan ekspresi lelaki itu ketika bertanya dan menikmati suasana.

"Saya ini adalah orang yang nggak sengaja ketemu Mafaza. Awalnya saya nggak terlalu ambil pusing sama sikapnya, tapi kali ini saya mulai merasa terganggu." Fikri menjeda sebentar kalimatnya, menunggu respons Abah.

Lelaki paruh baya itu mengangguk, air mukanya masih tenang. "Teruskan, teruskan."

"Dia mulai mencampuri urusan keluarga saya, Bah. Dia mulai suka ngatur-ngatur pendirian saya. Jadi, sebelum dia ikut campur lebih jauh, saya mau minta Abah untuk ingetin dia tentang posisinya."

"Kenapa nggak bilang langsung ke orangnya?" sela Abah setelah tergelak lebih dulu.

"Udah lebih dari satu kali."

"Wah, tapi dia tetap keras kepala?"

"Sepertinya begitu. Mungkin kalau Abah yang ngomong langsung, dia bisa lebih paham," jawab Fikri masih dengan nada datar dan intonasi tegasnya.

"Dia itu bebal, Nak. Kalau dia udah punya tekad, Abah rantai pun, ya, anaknya tetap aja lari pontang-panting. Lah, mungkin aja rantainya bisa putus habis digigitin tuh anak."

Fikri mendengkus samar dan hal itu tidak luput dari pengamatan Abah. Abah menghentikan tawanya, menepuk lutut Fikri pelan.

"Faza tau apa yang dia lakukan, Nak. Dia selalu tau kapan harus berhenti. Jadi, kalau masih dirasa perlu, Abah nggak ngelarang kamu untuk memperingati Faza, selama tujuanmu benar dan caramu mempemperingatinya baik."

"Nanti dia sakit hati, Bah. Saya udah janji sama mendiang Mama untuk nggak nyakitin hati perempuan," celetuk Fikri spontan.

Ia masih ingat bagaimana air mata Faza terjun beberapa waktu lalu, tepat ketika gadis itu ditegur mengenai posisinya. Namun, Fikri juga ingat betul secepat apa ekspresi gadis itu berubah, seakan tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, kata Mama, wanita gemar berbohong dengan topeng wajahnya, tidak dengan hati.

"Biarin aja, ntar juga sembuh sendiri."

"Nanti dia terluka berkali-kali, Bah."

"Asal dia punya obatnya, Abah rasa nggak masalah. Biarin aja dia temuin cara untuk bikin antibodinya tambah kuat."

Tidak perlu waktu lama bagi Fikri untuk menerjemahankan analogi Abah. Lelaki itu menyandarkan kepalanya ke dinding, menarik napas panjang.

"Nanti saya dibenci sama dia, Bah."

"Kalau kamu merasa terganggu oleh tingkah Faza, kenapa harus takut ketika dibenci sama dia?"

Abah bangkit dari duduknya. Fikri bisa mendengar samar-samar tulang lutut Abah yang beradu.

"Ayo, pulang, kebanyakan mikir bisa bikin pusing."

Fikri menurut, ikut bangkit.

"Makasih, loh, udah mengkhawatirkan Faza. Rajin-rajin main ke rumah, nanti Abah kunjungi Ahmad di rumah sakit juga."

Fikri mendelik. "Abah?"

Abah terbahak hingga gerahamnya tampak.

🕊🕊🕊


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro