Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 20

Memahami orang lain adalah kebijaksanaan, memahami diri sendiri adalah pencerahan.

(Lao-Zu)

🕊

Ahmad pulang masih dengan jas putih yang dipakai ketika melakukan akad. Katanya, ia tahu Laura berada di mana, ia satu-satunya orang yang paham ke mana istri pertamanya akan lari jika emosinya memuncak. Namun, lelaki yang masih tampak awet muda di usianya yang ke-42 itu tidak berhasil membawa Laura pulang bersamanya.

Siang makin terik. Matahari seakan menjelma tokoh superior di atas langit Surabaya. Seakan tidak ada habisnya, ultraviolet disebarkan tanpa ampun. Bulir peluh sebesar biji jagung mengalir dari pelipis dan dahi. Ikatan dasinya sudah mengendur, jasnya meski tampak rapi, tetap tidak bisa menutupi keadaan Ahmad yang tampak berantakan.

"Mama mana, Pa?"

Pertanyaan Elea makin membuat suasana gerah karena hanya gelengan yang menjadi jawaban dari ayah mereka. Fikri berusaha menggenggam erat tangan kakaknya agar tidak menangis tepat di hadapan Ahmad. Remaja itu meski tidak pintar berkomunikasi, tetapi merupakan pemerhati yang cukup baik.

"Duduk, Mas, minum dulu. Capek banget kelihatannya."

Ucapan lembut dari Anisa seakan menambah gelora panas yang membuncah. Ahmad, setelah gagal meminta Laura pulang dan tidak bisa memberikan jawaban sesuai keinginan anaknya, kini tersadarkan oleh satu hal. Ia punya istri yang lain dan itulah sebab dari berantakannya ia hari ini.

Ahmad memilih mengabaikan perempuan itu. Bibirnya mengatup rapat, melirik ke arah Fikri.

"Malam ini Fikri tidur sama Papa. Kamu tidur sama Elea, ya. Maaf, saya masih belum bisa—"

"Iya. Nggak apa-apa, kok. Anis paham."

Setelah mendengar jawaban Anisa, Ahmad melenggang menuju kamarnya sewaktu bujang. Saat ini, di ruang keluarga hanya tersisa mereka bertiga; Anisa, Elea, dan Fikri yang sama-sama bungkam. Tidak ada yang buka suara hingga Oma memanggil mereka dari kamar.

"Mana Ahmad?" tanyanya sarkas.

"Lagi bebersih, Bu." Anisa yang menjawab. Wanita itu langsung membantu Oma untuk duduk dan menyiapkan sandaran berupa bantal yang ditumpuk.

"Oma dengar mama kalian bikin kacau acara hari ini."

Rahang Fikri mengatup, tangannya mengepal. Elea juga demikian, meremas rok bagian lutut dan menggigit bibir bawah.

"Enggak kok, Bu. Acaranya bubar karena emang udah selesai, bukan karena Mbak Laura."

"Kamu nggak usah bela-bela perempuan jalang itu, Nis!"

Fikri dan Elea tersentak. Ini sudah kali ke berapa Oma merendahkan ibu mereka serendah-rendahnya, tetapi setiap wanita tua itu mengulang perkataan tersebut, mereka tetap kaget. Bahkan Mama tidak pernah berucap sekasar itu, bagaimana Oma bisa?

Jika tidak diperingatkan oleh Ahmad untuk bersabar, sudah dari kemarin-kemarin Fikri memberontak, membalas perkataan Oma. Jika tidak dinasihati Ahmad, sudah sejak awal Elea melarikan diri dari situasi yang terus memojokkan ibunya tercinta. Dua anak insan itu masih mengerti bagaimana caranya bersikap dan menghargai orang lain. 

"Fikri sekarang kelas berapa?"

"Dua SMA."

"Berarti udah masuk tingkatan ulya di pondokmu, ya?" Oma bertanya ramah, seakan lupa apa yang telah diucapkan beberapa detik lalu telah menggores hati cucunya.

Fikri mengangguk tanpa mengangkat pandangannya yang sejak tadi masih tertunduk.

"Nah, kamu pasti tau. Apa hukumnya menikahi wanita musyrik?"

Remaja itu menarik napas panjang sebelum menjawab, "Haram."

Oma tersenyum lebar. "Sah, nggak?"

Fikri diam. Ia sudah tahu ini akan mengarah ke mana. Remaja itu hanya menjawab dengan gelengan. Tidak sah jika ditinjau dari hukum agama.

"Kalau laki-laki dan perempuan menikah secara tidak sah, berarti anak-anak mereka adalah hasil dari zina."

Fikri menggeram. Tanpa diberi tahu pun, sejak kelas tsanawiyah ia sudah paham betul apa yang dikatakan Oma. Jika diingatkan kembali, bisa saja ia mulai meragukan setiap hal. Entah itu dogma, prinsip, kemanusiaan, cinta, atau hal lainnya. Lelaki itu benci ketika ia mulai ragu.

"Makanya Oma ngotot pengen misahin papa kalian dari wanita murahan itu. Papa kalian itu udah melenceng terlalu jauh. Mama kalian pasti akan nyeret papa kalian ke neraka kalau begini terus. Oma ngotot kayak gini ya karena Oma sayang. Oma juga sayang kalian, kok."

🕊

"Pak, kita udah selesai presentasi."

Fikri terperanjat ketika seorang mahasiswi berdiri di depannya. Ia segera menegakkan punggung.

"Baik. Ada yang ingin ditanyakan kepada pemateri?"

"Sesi tanya jawab juga sudah selesai, Pak."

"Ah, ya. Oke, silakan ditutup."

Fikri mengusap wajah karena bisa-bisanya ia melamun. Sebab kemarin bertemu Anisa, ingatannya kembali ke masa di mana ia memulai perjalanan keraguannya pada keadilan semesta. Hal itu membuatnya tidak profesional dalam bekerja.

Karena ini hari Jumat, kelas selesai lebih awal. Setelah kelompok presentasi menyelesaikan tugas mereka, Fikri pamit untuk pulang lebih dulu. Rasanya lebih baik beristirahat sesegera mungkin. Elea juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, jadi tidak ada yang memarahinya berulang kali.

Saat baru akan menyalakan motornya, ia baru ingat bahwa Mas Harsa meminta tolong untuk menjemput Chesa. Ini sudah molor dua jam lebih dari jam pulang gadis kecil tersebut.

Kalau nanti ketemu Faza, harus gimana?

🕊

Lelaki jangkung itu berhenti tepat di depan pagar taman kanak-kanak yang sudah terlihat sepi. Ia melangkah ragu untuk masuk ke kelas keponakannya. Namun, didesak oleh rasa tanggung jawab, akhirnya Fikri masuk juga. Tepat seperti dugaannya, ada Faza di sana, memangku Chesa yang tampak lelap.

Lelaki itu dilema hendak masuk lantas membangunkan Chesa atau tidak. Namun, Faza yang menyadari kehadiran Fikri, mengisyaratkannya untuk masuk. Lelaki itu duduk dengan jarak beberapa jengkal di depan Faza, siap menggendong Chesa.

Ketika hendak mengulurkan tangan, ia terpaku pada wajah kecil yang padanya masih tampak bekas air mata.

"Dia sedih karena eyangnya masuk rumah sakit dan nggak pulang-pulang, nangis terus sampe ketiduran," ungkap Faza seperti tahu fokus Fikri ke mana.

Lelaki itu mengangguk. Mbak Elea pernah bilang kalau putri kecilnya memang perasa. Ditambah lagi, Fikri yakin kalau Chesa bukan hanya menangis karena itu, tetapi karena dirinya telat menjemput.

Dari luar, suara azan mampir ke telinga mereka yang masih memutuskan untuk sama-sama diam. Faza menjawab panggilan tersebut dalam hati, sedangkan Fikri tidak berani buka suara. Ia masih ingat bagaimana Faza menangis karena kata-katanya kemarin.

"Dia juga bilang nggak bisa tidur kalau nggak ada Mbak El. Itu alasan kuat yang bikin dia tambah sedih," imbuh Faza. Gadis itu kemudian mengangkat kepalanya menatap manik kelam milik Fikri.

Ia baru akan mengucapkan sesuatu ketika ingatan kemarin siang membungkam mulutnya. Gadis itu tidak ingin lagi diingatkan tentang posisinya yang bukan siapa-siapa. Ia tidak ingin dicap sebagai perempuan yang senang ikut campur urusan orang lain.

Ah, tetapi Faza tidak bisa diam saja.

"Mas, Mbak El bilang kalau papanya Mas Fikri juga pengen dijagain anak dari Tante Laura. Itu sebabnya Mbak Elea nggak tidur di rumah, ninggalin Chesa dan Mas Fikri. Mas Harsa terpaksa tidur di sana juga, sambil jagain Mbak El. Kayaknya Mas Fikri lupa satu hal, ya? Mbak El lagi hamil. Usianya tujuh bulan dan nggak seharusnya beliau tidur di sofa rumah sakit.

"Jangan ingatkan lagi posisiku di mana. Aku hanya membicarakan kemanusiaan, bukan sesuatu yang berkenaan dengan ikut campurnya aku dalam keadaan keluarga Mas Fikri. Anak ini butuh ditemani tidur oleh ibunya. Dia perlu dicium papanya sebelum pergi sekolah. Mbak Elea butuh tidur dan meluruskan punggung di kasur yang nyaman. Nggak seharusnya Mbak El di sana untuk menggantikan keberadaan Mas Fikri."

Faza tidak lagi peduli walau Fikri sudah membuka mulut hendak memotong ucapannya. Namun, sedikit bagian dalam hatinya merasa lega sebab sosok di depannya tidak jadi memutus omongannya.

Chesa terbangun. Ia menggeliat sebelum kemudian bangkit dan mengucek mata. Ikatan rambutnya sudah bergeser beberapa derajat. Dipandangnya Faza dan Fikri bergantian.

"Ibu mau pulang? Echa tidur sama Ibu Faza boleh, nggak? Di rumah nggak ada Mama, nggak bisa tidur. Paman, Echa ke rumah Ibu Faza, boleh?"

Faza sama sekali tidak berbohong saat menceritakan tentang Chesa, Fikri bisa menilai hal tersebut dari ucapan keponakannya. Memang semalaman anak kecil itu suka uring-uringan sendiri. Saat makan malam, ia cenderung rewel dan menolak makan. Sampai Fikri membelikannya nuget, Chesa baru terpaksa menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri.

Fikri mengira hal tersebut terjadi lantaran Chesa sudah mengantuk, ternyata bukan. Sungguh, ia seperti baru diingatkan lagi bahwa kakak perempuannya memang tengah mengandung. Sebelumnya, pikiran lelaki itu tertutup oleh ego hingga hal-hal remeh seperti itu luput dari perhatiannya. Hal-hal yang berkaitan dengan Papa selalu membuatnya emosional.

"Paman?"

"Eh, ya? Kenapa, Cha?"

"Boleh?"

Fikri menarik napas sejenak. Ditatapnya wajah Chesa dengan kelopak mata yang sembab. Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya.

"Di rumah aja, ya. Nanti malam Mama pulang, kok. Chesa tidur ada temennya."

Jawaban Fikri sontak membuat Faza melongo. Ia baru akan bertanya ulang apakah yang didengarnya itu benar atau tidak, tetapi urung. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja walau hatinya gembira mendengar penuturan Fikri.

Fikri sendiri mengucapkan kalimat itu dengan sadar. Ada sedikit rasa sesal karena itu artinya ia harus kembali bertemu Papa. Namun, setelah mendengar aksi protes Faza, ia malu. Malu pada dirinya sendiri sebab membiarkan beberapa orang kesusahan sebab egonya yang dipaksakan.

Aku ke sana karena Mbak Elea dan Chesa, bukan karena Papa.

Kalimat itu pulalah yang ditanamkan berkali-kali oleh dirinya, entah meminta validasi dari siapa.

Chesa berbinar, ia bersorak riang. Segera diambil tas punggung merah muda dengan karakter kartun kuda poni dan langsung disampirkan di punggung. Ia bangkit dan langsung keluar kelas, memakai sepatu, dan menunggu pamannya di kursi panjang.

Faza juga ikut bangkit, meraih tas dan diselempangkan di bahu kanan.

"Maaf."

"Maaf karena apa?"

"Karena mungkin kata-kata saya nyakitin sampai kemarin kamu nangis."

"Gitu, dong, minta maaf. Aku kan nggak capek-capek dendamnya. Malah kepikiran sebelum tidur, lagi. Ngeselin. Iya, aku maafin."

Fikri mengangguk, ikut bangkit. Setidaknya rasa mengganjal di hatinya sudah hilang. Syukurlah Faza tidak seperti Afra yang jika marah, harus susah payah dibujuk dan diyakinkan. Lelaki itu meringis, apa barusan ia membandingkan dua perempuan itu secara tak sengaja?

"Eh, anu ... kalau boleh, aku pengen jenguk. E–eh, kalau nggak diizinin juga nggak apa-apa, soalnya aku bukan siapa—"

"Boleh. Saya permisi."


🕊🕊🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro