Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 19

Di dalam orang yang sinis, di sana ada kekecewaan yang sangat mendasar.

(George Carlin)

🕊

Alih-alih menuju ruang rawat Papa, Fikri memilih kantin rumah sakit. Sejujurnya bibir lelaki itu merindukan cerutu, tetapi ia berusaha untuk tidak menuruti keinginan tersebut. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk berhenti, meskipun saat itu yang memaksanya adalah Afra. Alhasil, ia hanya menikmati secangkir kopi.

Nada dering dari ponsel tidak dihiraukan, dibiarkan berkicau takpeduli orang lain terganggu. Nama Elea ada di sana, tetapi Fikri enggan menjawab. Ia menerawang ke arah langit-langit kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Entah apa pasalnya, tebersit rasa bersalah di hati.

Dari dulu, meski terlihat sarkas dan tajam, ia tak pernah suka melihat perempuan menangis. Mama, Mbak Elea, Afra, Faza, atau siapa pun yang bahkan baru ditemui. Namun, beberapa menit lepas ia telah membuat Faza mengalirkan bulir bening di wajah. Ah, lelaki itu terpaksa.

"Loh? Di sini, rupanya? Elea dari tadi neleponin, loh. Ngapain?" Fikri membenarkan posisi duduk ketika Harsa-kakak iparnya-menghampiri dirinya.

"Mas tau, lah. Mbak Elea pasti banyak cerita."

Mas Harsa mengangguk. Ia menyeruput kopi hitam perlahan. Asap masih mengepul, tetapi lelaki tiga puluh tahun itu memang menyukai sensasi kopi yang panas.

"Ya, Mas mencoba untuk ngerti keadaanmu. Mungkin dalam hal ini, kamu nggak semudah Elea menerima masa lalu, tapi setidaknya temui dulu mbakmu. Tanyakan keadaan Papa melalui dia kalau kamu nggak mau ketemu Papa langsung. Sudah di sini, loh, masa nggak ngapa-ngapain? Elea khawatir kamu nggak angkat telepon," saran Mas Harsa.

Ah, benar. Fikri bangkit, meraih ponsel dan tas punggungnya. "Mas ikut?"

"Mas di sini dulu, pengen ngopi. Kamu duluan aja."

Setelahnya, lelaki itu melenggang dari kantin. Disusuri lorong rumah sakit, matanya menjelajah plang bertuliskan nama kamar seperti yang Mbak Elea kirimkan. Hingga di ujung, ia menemukan kakak perempuannya yang tengah mondar-mandir di depan pintu, tangannya memegang ponsel yang ditempelkan di telinga kanan.

"Paman!"

Seruan Chesa sontak membuat Mbak Elea menghela napas lega. Akhirnya sang adik datang jua. Wanita yang tengah mengandung itu dapat melihat jelas wajah kusut Fikri, apalagi ketika adiknya membuang wajah. Ia juga tidak langsung menggendong Chesa seperti biasa, hanya menggandengnya saja.

"Faza mana?" Elea celingak-celinguk. Fikri melengos.

"Gimana keadaannya?"

"Jawab pertanyaan Mbak dulu, dong. Faza mana? Tadi dateng bareng dia, kan?"

"Paman dateng bareng Ibu Faza? Ibu Faza di mana sekarang? Tadi tuh di sekolah, Ibu Faza nggak masuk, tau," celoteh Chesa. Putri kecil itu ikut mengedarkan pandangan, mencari ibu guru tercinta.

Fikri menatap lurus kakak perempuannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mbak Elea meringis, agaknya ia mengerti maksud tatapan adiknya.

"Echa masuk dulu ke tempat Eyang, gih. Ajak bicara Eyang Kakung, biar nggak bosan."

"Kan udah ada Eyang Putri, Ma. Ada Paman Yusuf juga. Nanti Eyang jadi nggak bisa tidur karena Echa ikut ngomong."

Rahang Fikri mengeras. Ibu tiri dan adik sebapaknya juga sedang berada di sini. Alasan itu membuatnya merasa lebih tepat untuk tidak mengunjungi rumah sakit. Harusnya ia tidak ikut Faza tadi.

"Nggak apa-apa, Eyang capek tidur terus. Kalau Echa ajak bicara, Eyang pasti seneng," balas Elea. Putri kecilnya mengangguk sambil tersenyum lantas berlari kecil dan mendorong pintu kamar rawat.

Tinggal mereka berdua di depan kamar. Elea berjalan, memangkas jarak dengan adiknya untuk mendekat. Fikri bergeming, pandangannya kosong. Sama seperti ketika Mama pergi. Pandangan itu yang selalu datang saat ia mengunjungi Papa.

Elea menjelaskan keadaan Papa tanpa diminta. Fikri masih dengan ekspresi datar, tidak merespons apa pun. Ia hanya mengangguk sebab mengerti. Selebihnya, Elea merasa seperti sedang berbicara seorang diri.

"Faza mana?"

"Pulang."

"Loh? Padahal tadi katanya pengen lihat kondisi Papa."

Fikri tidak menanggapi. Ia masih kesal saat Faza memaksanya ke rumah sakit ini. Ia tidak suka ketika gadis itu mulai ikut campur urusan keluarganya. Ia marah, sebab gadis itu menasihatinya tanpa lebih dulu memahami kondisinya.

Ah, bahkan Fikri tidak mengizinkan siapa pun untuk memahami perasaannya.

"Tau nggak, sih? Mbak capek neleponin kamu, nggak dijawab. Untung ada Faza---"

"Mbak bisa, kan, nggak bawa-bawa orang lain ke keluarga kita? Bisa nggak sih, Mbak hargai perasaan aku dan menghormati keputusan aku? Aku nggak suka Faza ikut campur. Dia orang baru, Mbak. Dia nggak tau apa pun. Jangan buat aku jadi benci dia."

Hening. Suara derap kaki sepanjang koridor, lalu-lalang keluarga pasien, dan suster yang berjalan bolak-balik menjadi pemandangan di antara senyapnya dua orang di kursi tunggu. Fikri mengusap wajah.

"Maaf, Mbak. Nggak maksud bentak Mbak," pinta Fikri. Dulu Mama selalu mengajarkannya agar tidak mengangkat suara di hadapan orang tua, anak-anak, dan wanita.

"Nggak apa-apa."

Sunyi mengambil alih situasi keduanya. Elea menarik napas panjang. Ia ingin mengalihkan topik, tetapi otaknya buntu. Aksi protes Fikri barusan seperti menyadarkannya, walau menurut wanita itu Fikri sedikit berlebihan.

"Tadi aku marah ke Faza."

"Karena dia bawa kamu ke sini?"

"Ya. Aku bikin dia nangis."

Elea menghela napas panjang. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana ucapan tajam adiknya menampar hati perasa milik Faza. Bahkan dirinya saja jika dihantam ucapan tak berperasaan Fikri, terkadang masih bisa sakit hati, bagaimana dengan Faza yang baru beberapa kali bertemu? Gadis itu kaget, pasti.

"Semoga dia nggak marah," ujar Elea. Jujur, wanita itu sudah dekat dengan guru TK putrinya itu. Faza adalah gadis yang positif dan menyenangkan. Chesa juga menyukainya.

"Marah. Pasti marah."

"Semoga nggak pergi."

"Kayaknya kapok, Mbak."

"Emangnya kamu bilang apa ke dia?"

"Dia bukan siapa-siapanya kita."

Ingin rasanya Elea mendaratkan tapak sandal di wajah adiknya. Namun, lagi-lagi ia hanya mendengkus. Tugas terberatnya selain menjadi ibu dan istri adalah memahami pola pikir Fikri.

"Eh, Mbak, Mas? Papa gimana kabarnya?"

Datang lagi satu orang yang wajahnya enggan ditatap Fikri. Ghibran, saudara tirinya yang pertama datang masih dengan baju koko putih, peci hitam, dan sarung hijau pekat. Ia baru saja datang selepas meminta izin pengurus asrama untuk menjenguk sang papa yang dikabarkan sakit.

"Masuk aja, Ran, Papa udah mendingan, kok." Elea yang menjawab, tidak membiarkan hening menguasai mereka lebih lama.

Remaja tanggung itu mengangguk, sedikit membungkuk ketika melewati Fikri dan Elea. Ia sempat tersenyum ke arah kakak lelakinya, tetapi kemudian ia hanya bisa meringis. Padahal sejak lama, Fikri menjadi idolanya. Sayang, untuk membalas senyumannya saja, nyaris tidak pernah Fikri lakukan.

Elea menyikut Fikri. "Jangan gitulah ekspresinya. Bales senyumnya, dia saudara kita juga."

"Saudara Mbak aja."

Elea mencebik. "Dia itu masih kecil pas kita semua resmi jadi saudara. Dia bukan penyebab Papa ninggalin Mama, Fik. Jangan semua orang jadi kamu salahin karena kamu nggak terima apa yang terjadi di masa lalu."

Fikri menarik satu sudut bibirnya. Senyuman miris menghiasi wajah kusut itu. "Semudah itu ya, Mbak nerima semuanya? Mbak lupa perjuangan Mama? Mbak lupa gimana harga diri Mama hancur? Mbak lupa kalau Mama meninggal kare---"

"Fikri! Hatimu terbuat dari apa, sih, Dek? Kenapa hati ini buta? Kenapa hati ini hilang rasa? Kenapa hati ini nggak bisa bedain mana yang benar dan salah? Dendammu itu salah, Dek. Kenapa kamu betah dengan kenaifan kamu, hah?"

Akhirnya rasa marah Elea keluar juga. Telunjuknya menekan dada sang adik, takpeduli jika menghujam terlalu kuat. Lagi-lagi, Fikri hanya merespons dengan helaan napas panjang.

"Karena memang begitu kenyataannya, Mbak."

"Kamu nggak mau buka mata, kamu nggak mau lihat apa yang udah terjadi dari sudut yang berbeda. Astaga, jangan bikin Mbak marah di tempat ini."

"Setidaknya aku nggak buta, Mbak. Aku lihat semuanya. Aku ada di sana saat kejadian itu berlangsung. Aku udah cukup dewasa untuk bisa ngambil kesimpulan, Mbak."

Ah, selalu saja begini. Jika membicarakan masa lalu, kakak beradik itu sering kali berdebat. Merasa paling benar, sedangkan yang lainnya membuat kesalahan. Tidak ada yang ingin mengalah, mereka memenangkan persepsi masing-masing.

Elea dengan penerimaan, Fikri dengan penolakan.

Elea dengan lapang dada, Fikri dengan hati yang kian menyempit.

"Eh, maaf ganggu. Akhirnya Fikri datang juga. Itu Papa mau ketemu, loh. Kangen katanya." Perempuan paruh baya yang mengenakan kerudung panjang keluar dari ruangan, menghampiri dua saudara yang tengah berdiam diri.

"Nggak usah, saya mau langsung pulang aja."

"Fik, ayolah. Udah sampai di sini, loh. Tinggal masuk aja, kok. Setelah ketemu, kamu boleh pulang," pinta Anisa.

"Udah ada Mbak Elea, Mas Harsa, Chesa, Ghibran, dan Yusuf. Saya udah terwakili," sahut Fikri. Ia berusaha menjaga intonasi bicaranya agar tetap stabil.

"Biarin aja, Bun. Emang bandel anaknya," cetus Mbak Elea. Anisa menghela napas panjang.

Ia tahu, kehadirannya cukup membuat bahtera Ahmad oleng. Dirinya juga sadar bahwa ia menjadi sebab terpecahnya sebuah keluarga harmonis. Namun, siapa yang dapat membantah perintah wanita yang sudah dianggap ibu?

Sejak menjadi serpihan beling yang membawa prahara, ia nyaris tak pernah dipandang oleh Fikri. Anak lelaki rupawan itu sering kali berpaling, membalikkan badan, atau menunduk jika berhadapan dengannya. Hingga sebelas tahun sudah, kebiasaan putra tirinya tidak kunjung berubah.

"Fikri," panggil wanita paruh baya itu sebelum putra tirinya melangkahkan kaki. "Kamu boleh benci Bunda, tapi jangan benci papamu. Dia nggak salah, Nak. Setiap malam doanya nggak pernah absen untuk kamu."

Tanpa perlu menanggapi apa pun, Fikri mengabaikan Anisa. Langkah kaki membawanya menjauh dari dua wanita itu.

"Kenapa saya harus mempercayai perkataanmu, Tante Anisa?"

🕊🕊🕊

Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro