Teori 18
Kata-kata dan tulisan adalah omong kosong.
(Tere Liye)
🕊
Fikri melanjutkan makan, tidak memedulikan perintah Elea dan yang dilakukannya tidak lepas dari perhatian Faza. Ia sadar setelah Fikri menerima telepon, rahang lelaki itu mengatup rapat, giginya terdengar beradu walau sesaat. Tempo makannya juga terlihat lebih cepat.
Tidak lama kemudian, ponsel Faza berdering. Nama Elea tertera di sana. Gadis itu memilih keluar ruangan untuk menjawab panggilan.
"Faza? Tadi kamu bilang kalau Fikri di rumah sakit nganterin Afra, kan? Kamu masih sama dia sekarang?"
"Iya, Mbak. Mas Fikri lagi makan. Memangnya ada apa, Mbak?"
Faza dapat mendengar helaan napas dari seberang. Gadis itu tahu kalau sebelum meneleponnya, Elea sudah menelepon Fikri lebih dahulu. Karena posisinya hanya berjarak sejengkal dari lelaki itu, ia bisa menangkap suara Elea dari ponsel walaupun samar-samar.
"HP-nya dimatiin. Asem tuh anak, dikira aku ini debt collector? Afra gimana kabarnya? Dokter bilang apa?"
Faza menolehkan kepalanya ke arah Afra dari celah pintu yang hanya ditutup setengah. Gadis itu sedang melahap bubur meski tangannya masih bergetar—ia menolak dibantu Zidan. Suatu kemajuan besar mengingat Afra tidak makan selama lima hari. Faza memilih keluar ruangan untuk berbicara dengan Elea, takut mengganggu jika bercakap di dalam.
"Udah baikan, Mbak. Kata dokter, gastritis. Mbak Afra, sih, nggak makan selama lima hari. Apa nggak minta pensiun dini itu lambungnya?"
Di seberang, Elea tergelak. "Lima hari ini dia sama kamu, ya? Mbak nggak tau, loh, kalau dia nggak pulang. Ya, tapi Mbak udah perkirakan kalau dia bakalan lari. Makasih ya, udah bantuin Afra. Maaf kalau dia ngerepotin kamu. Afra itu emang suka ngelakuin sesuatu tanpa mikir panjang. Mbak yakin dia baik, kok, cuma ya, gitu. Kalau lagi kalap, suka ribet sendiri. Dulu Fikri juga sering bingung ngadepin Afra. Tau sendiri, Fikri orangnya to the point banget," celoteh Mbak Elea.
"Nggak apa-apa, kali, Mbak, nggak ngerepotin. Justru aku seneng loh, bisa bermanfaat buat Mbak Afra—eh, walaupun aku nggak ngapa-ngapain, sih."
Dalam hati, Faza mengakui keramahan Elea yang paripurna. Padahal Afra bukanlah adiknya, bukan pula keluarganya. Namun, wanita itu masih memedulikan Afra, berterima kasih, dan memohon maaf atas nama Afra. Terlebih, Elea seperti sudah sangat mengenal Afra.
"Oh, hampir lupa. Bilangin ke Fikri, jangan lupa ke rumah sakit. Bapaknya kena stroke, kok anaknya santai banget? Memang gitu dia, nuraninya hilang entah sejak kapan. Bisa, ya, tolong bilangin? Mbak tungguin di sini. Paksa aja, nggak apa-apa. Ditarik pake tali tambang juga halal."
Gadis itu menahan diri agar tidak bertanya perihal konflik apa yang ada di antara ayah dan anak itu sampai Fikri memilih tidak lagi peduli. Sebenarnya, sejak bertemu pun, Faza seperti memiliki gudang pertanyaan perihal laki-laki misterius yang mengantarnya ke masjid, tetapi sendirinya mengaku tidak salat.
"Faza? Halo?"
"Eh, iya, Mbak. Terus sekarang kondisinya Bapak gimana, Mbak?" Faza mengerjap, tidak sadar sedang melamun sambil menelepon.
"Mbak kurang ngerti apa yang dibicarain dokter, tapi syukurnya Papa cuma nggak bisa gerakin kaki aja—dari pinggang sampai bawah. Tubuh atasnya masih normal. Faza bantu doa, ya? Ya, nggak terlalu parah juga kalau dibandingkan orang-orang, tapi Papa juga kan pengen ketemu anaknya.
"Bilangin Fikri tolong, ya. Papa udah masuk RS sejak dua jam yang lalu. Pingsan di kamar mandi, tau-tau tekanan darahnya tinggi. Lagian, Fikri udah lama banget nggak mau ketemu papanya. Bisa-bisanya tuh cunguk malah nggak peduli pas Mbak bilang Papa tumbang. Gila banget, nggak, dia?"
Faza tertawa canggung. Ya, gila jika dilihat dari sudut pandang Elea, tetapi menurutnya, mungkin ada alasan lain yang menyebabkan Fikri bertindak seperti itu. Ah, Faza mengusap pucuk hidungnya. Mengapa ia merasa sok mengerti?
"Oke, Mbak, ini aku bilangin langsung, deh. Kayaknya Mas Fikri juga udah selesai makan."
"Sip. Makasih, ya."
Sambungan diputus oleh Elea. Faza masuk lagi ke ruang rawat inap dan benar saja, Fikri sudah selesai makan. Ia sibuk menatap layar gawai entah mengurus apa. Afra masih menyisakan sedikit bubur, sedangkan Zidan tak melepaskan pandangannya dari sang istri.
Faza duduk sedikit berjarak di sofa, mengambil tempat di sebelah kiri Fikri. Gadis itu sempat mengintip sebentar apa yang tengah membuat lelaki itu fokus pada ponselnya. Ah, ternyata ia sedang mempromosikan sebuah ... kafe? Entahlah, Faza tidak membaca tulisan yang tertera di banner tersebut.
"Online, tuh. Kok kata Mbak Elea HP-nya Mas Fikri mati?"
"Kartu teleponnya saya lepas."
"Niat banget," cibir Faza.
Fikri melengos. Ditatapnya lagi ponsel tersebut, jemarinya menari di atas keyboard, menuliskan sesuatu untuk diposting di sosial media.
"Yang tadi nelepon aku itu Mbak Elea."
"Tau."
"Mbak El nelepon aku karena Mas Fikri nggak aktif."
"Tau."
"Tau, tau. Tau apa? Belom juga dikasih tau," celetuk Faza, bibirnya maju nol koma lima senti.
"Bilang Papa sakit, nyuruh saya ke sana. Saya tau."
"Ya ... nggak salah, sih. Ya sudah, susulin, sana. Santai banget jadi anak."
"Eh, papanya Mas Fikri sakit?"
Faza mengangguk merespons ucapan Afra. Zidan juga tampak terkejut melihat reaksi Fikri yang tampak santai.
"Pulang, deh. Itu papamu, loh, Mas." Kali ini Afra yang mengambil alih komando. Fikri memicing ke arah gadis itu kemudian menggeleng.
"Untuk apa?"
Faza, Zidan, dan Afra meloloskan napas kencang.
"Ya untuk apa? Untuk baktimu, lah. Selama ini Afra oke-oke aja nggak dipertemukan sama papanya Mas Fikri, tapi kalau untuk Mas Fikri yang menghindar sebegininya, Afra nggak suka. Itu papamu, loh. Lagi sakit, butuh anaknya," omel Afra panjang lebar. Ia bahkan tidak sadar jika intonasinya meninggi.
Faza mengernyit, kembali mencerna informasi yang baru saja didapat dari Afra. Pertanyaannya bertambah lagi.
"Nggak, nggak perlu. Ada Mbak Elea," pungkas Fikri kemudian membuang wajah dari ekspresi Afra. Kini mukanya malah tertoleh ke arah Faza.
Sepersekian detik kemudian, lelaki itu bangkit, memasukkan ponsel ke dalam saku kiri. "Saya antar kamu pulang," ucapnya kepada Faza yang masih bergeming di tempatnya.
Faza melirik Afra, istri dari Zidan itu melengos.
Aku nanya Mbak Afra aja apa, ya? Kenapa Mas Fikri nggak mau ketemu papanya, kenapa Mas Fikri berpaling dari kepercayaannya, latar belakang Mas Fikri, keluarganya, dan semuanya. Mbak Afra pasti banyak tau, kan? Eh, tapi ... itu nggak sopan, batin Faza.
"Cepat."
Perintah Fikri membuyarkan pikiran gadis itu yang sibuk lalu lalang di kepala.
"Saya masih harus bicara sama ayahnya Afra—"
"Saya aja, Mas." Fikri menoleh, mendapati Zidan memotong ucapannya barusan. Wajahnya serius dan tegas. "Saya aja yang bicara sama ayahnya Afra. Mas bisa percaya sama saya, insyaallah."
Fikri mencari makna dari tatapan Zidan. Ah, benar. Seharusnya yang berbicara dengan orang tua Afra adalah seseorang yang dipercaya oleh mereka. Jika Fikri yang datang, ia mungkin hanya akan membuat situasi makin tidak terkendali, mengingat ayahnya Afra memang antipati terhadapnya.
"Oke, makasih."
"Eh, Mas!"
"Apa?"
"Boleh Mas Fikri simpan nomor saya juga? Kita bisa bersilatur rahim lebih dekat. Mungkin juga kalau ada yang bisa saya tanyakan tentang Afra ...." Zidan menggantung kalimatnya, baru sadar bahwa ucapannya mungkin dapat menyinggung Fikri.
Fikri tersenyum miring, menatap ubin. "Nggak perlu. Anda udah tau caranya menenangkan Afra, sesuatu yang selama dua tahun nggak bisa saya lakuin. Itu ... udah lebih dari cukup. Permisi."
🕊
Faza duduk di belakang setir, Fikri pasrah. Gadis itu memaksa untuk mengambil alih kemudi sebab takut lelaki di sebelahnya mengebut lagi. Fikri menurut, lagi pula mobil itu juga bukan miliknya, ia tak punya hak istimewa apa pun selain bayar uang bensin.
Gadis itu membawa pelan di posisi paling kiri jalan raya. Fikri jadi sangsi mereka akan tiba di rumah Faza sebelum asar tiba. Pasalnya, gadis itu tetap santai tanpa memedulikan beberapa mobil yang membunyikan klakson berulang kali, memintanya untuk mengemudi lebih cepat.
Fikri baru akan protes ketika Faza berbelok ke arah yang berlawanan dengan jalan menuju rumahnya. Lelaki itu tanpa bertanya pun sudah tahu bahwa Faza hendak membawanya ke rumah sakit tempat Papa dirawat.
"Putar balik."
"Nggak."
"Saya nggak mau ke sana."
"Aku nggak butuh izin Mas Fikri untuk mempertemukan seorang anak dengan ayahnya yang lagi sakit."
Fikri langsung menghujam Faza dengan tatapan tajam. Ia tidak suka ketika orang lain masuk ke dalam hidupnya, mengambil banyak peran, menguasainya secara semena-mena. Ia berhak mengendalikan diri sesuai apa yang diinginkan. Lelaki itu menarik napas panjang, menegakkan punggung.
"Tukar posisi. Saya yang bawa. Kamu harus pulang."
"Nggak."
"Saya belum minta izin Abah untuk bawa kamu ke luar."
"Abah percaya sama aku."
"Tapi nggak sama saya."
"Percaya. Udah kenapa, sih? Nggak usah ribut? Aku juga nggak bawa Mas Fikri ke tempat yang macem-macem. Ini papanya Mas Fikri, loh, yang sakit. Nurut aja kenapa, sih?"
Fikri menarik senyum miring.
"Kamu pikir kamu siapa?"
Kata-kata itu singkat, tetapi mampu membuat Faza merasa dikuliti hidup-hidup. Gadis itu tetap fokus dengan pandangan agar tidak menbarak atau menyerempet siapa pun walau hatinya meronta minta divalidasi rasa sakitnya. Ia ingin menoleh, protes pada lelaki yang meski kata-katanya tajam, tetapi raut wajahnya tetap datar. Namun, sekadar menggerakkan leher saja, ototnya seperti dicekal. Tidak mampu.
Faza tidak menjawab karena memang tidak ada jawaban yang bisa diucapkan. Jadi, dua insan itu memanggil hening untuk hadir mendominasi keberadaan mereka. Klakson bersahutan di luar, melengkapi situasi gerah kota Surabaya siang hari. Meski sudah disindir Fikri, gadis itu masih enggan memutar arah.
Hingga tibalah mereka di rumah sakit yang sebelumnya diinfokan oleh Mbak Elea. Sampai Faza mematikan mesin mobil dan mencabut kuncinya, Fikri tidak beralih dari kursinya. Ia memandang nanar pada bangunan bertingkat di depannya.
Faza tidak membuka bibirnya untuk mengatakan apa pun. Ia trauma mendengar pertanyaan skak mat dari Fikri. Jujur, ingin rasanya gadis itu melempar sandal tepat ke wajah Fikri. Namun, sialnya kalimat lelaki itu terus membayangi. Memangnya kamu siapa?
"Minta izin sama Abah sampai jam berapa?"
"Hah?" Faza mendongak, tidak mengira Fikri akan lebih dulu buka suara. Ketika lelaki itu menoleh dan memperlihatkan wajahnya yang sinis, Faza menelan ludah. "Sampai magrib, kok. Masih lama. Aku bisa nemenin Mas Fikri jug—"
"Nggak usah."
Faza melengos. "Mas Fikri, aku nggak tau apa yang terjadi di keluarga Mas Fikri. Tentang alasan Mas Fikri yang mutusin buat nggak beragama atau kenapa Mas Fikri nggak mau ketemu Papa, tapi tolong dong, Mas, jangan egois. Itu orang tuamu. Ke Mbak Afra aja Mas Fikri bisa segitu paniknya, kenapa ke papa sendiri Mas seakan nggak peduli?
"Temenin Papa bukan hal yang sulit, kan? Terlepas dari apa pun kepercayaannya, hormat kepada orang tua adalah kewajiban yang mutlak. Mas ngerti itu, kan? Mbak Elea harus minta Mas Fikri berapa kali sih untuk nemuin Papa? Papa itu lagi sakit, apa nggak khawatir nyesel kalau nanti udah kehilangan momen?"
Faza terengah setelah menuntaskan kalimatnya. Ia tidak lagi peduli walau harus terlihat konyol atau ikut campur. Sebelumnya, gadis itu memang berkata dalam hati untuk berusaha memaklumi Fikri meski tidak tahu alasannya. Namun, melihat reaksi lelaki itu, ia kesal juga.
"Mafaza, tolong ingat kedudukanmu. Hanya karena beberapa kali bertemu, bukan berarti kamu bisa mengambil alih kendali dalam kehidupan saya. Kamu bukan siapa-siapa. Mudah untuk diingat, kan?"
Sakit.
Apa serendah itu Fikri memandang dirinya? Ya, salahkan Faza karena ia sempat memosisikan diri sebagai orang penting bagi keluarga Fikri sejak dekat dengan Chesa dan Mbak Elea. Salahkan saja gadis itu yang menganggap dirinya bertanggung jawab untuk kebahagiaan tiga orang tersebut. Namun, haruskah respons seperti itu yang diberikan Fikri?
Sungguh tidak berperasaan. Rasanya, bukan seperti ini seorang Fikri yang Faza kenal dari beberapa pertemuan mereka.
"Pulang sekarang, atau perlu saya ingatkan lagi tentang posisimu?"
Beberapa bulir bening membentuk aliansi di netranya, siap untuk terjun bebas bersama. Tidak sanggup ditahan, akhirnya ruah, gadis itu membuang pandangannya dari Fikri dan menatap ke depan setelah menyeka wajah.
"Terserah. Terserah aku mau dipandang sebagai apa. Aku cuma mencoba untuk peduli, bukan ikut campur. Aku minta maaf karena ngerasa harus ikut andil, ngambil peran dalam hidup Mas Fikri yang baru kutemui beberapa kali. Ya sudah, aku pulang sekarang. Semoga Papa—eh, ayahnya Mas Fikri—cepat pulih."
Ada getaran yang kentara dalam ucapan Faza. Pun demikian tangisnya ditegaskan oleh beberapa bilur yang menganak sungai. Sungguh, hatinya sakit saat ini.
"Jangan nangis karena harapan yang kamu patahkan sendiri. Kami—saya—nggak butuh kepedulianmu. Oh, makasih karena udah bantuin Afra. Silakan pulang."
🕊🕊🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro