Teori 17
Karena cintalah, duri menjadi mawar. Karena cinta, cuka berubah menjadi anggur segar.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Afra masih membuang pandangan, padahal sudah lima menit berlalu, posisi mereka tak berubah. Detak jam dinding mengisi ruangan, tetapi di antara insan-insan itu, takada yang buka suara.
"Oh, Mbak Afra belum makan, kan? Sebentar, aku beliin makanan dulu. Itu loh, lambungnya lagi nggak sehat." Faza yang tidak tahan dengan keheningan itu memutuskan untuk keluar tanpa menunggu persetujuan tiga orang lainnya.
Sebenarnya Faza penasaran, ia tidak benar-benar ingin pergi. Namun, ia cukup sadar diri bahwa mungkin apa yang akan dibicarakan Afra dengan dua lelaki itu bersifat cukup privasi. Lagi pula, kehadirannya tidak dibutuhkan di sana. Ia lebih baik menenangkan diri di kantin rumah sakit sebelum menyusuri warung makan.
Di ruangan serba putih itu, Afra menghela napas panjang tanpa mengalihkan wajahnya dari menatap dinding. Fikri belum melepas cekalan tangannya dari pergelangan Zidan walau ia tahu Zidan merasa sungkan untuk tetap berada di sana.
"Kenapa Mas Zidan masih di sini?"
"Afra." Fikri menginterupsi.
"Afra belum mau ketemu Mas Zidan. Kenapa pada nggak paham, sih?" Afra menaikkan oktaf suaranya, membuat dua lelaki di ruangan itu terperanjat.
"Eh, saya keluar aja, nggak apa-apa. Kebetulan belum makan siang."
"Nanti Faza pasti beli lebih," pungkas Fikri. Entahlah, lelaki itu hanya tidak ingin Zidan pergi.
"Makan, Mas, jangan nanti ikutan sakit kayak Afra."
Zidan menelan ludah. Diliriknya Fikri dengan tatapan memelas, meminta izin secara tidak langsung untuk membiarkannya pergi. Fikri malah membalas dengan tatapan datar sebelum akhirnya menggeleng. Dua orang ini memang harus saling bicara.
"Jadi, kamu mau ngomong apa?"
Afra masih bergeming. Air matanya meleleh, tetapi tidak terdeteksi oleh dua lelaki yang berdiri bersisian. Gadis itu menangis dalam diam, tidak menampilkan isak barang sedikit pun.
"Kalau nggak ada yang mau dibicarain, saya pulang sekarang. Abahnya Faza pasti bingung karena mobil dan anak gadisnya hilang. Lagi pula di sini udah ada suami—"
"Jangan tinggalin Afra berdua sama Mas Zidan." Netra hitam kelam milik Fikri terbelalak. Zidan tersenyum getir, selalu saja seperti ini.
"Afra," panggil Fikri, nadanya lebih tegas dari yang sebelumnya. "Iblis mana yang sedang mengambil alih tubuhmu saat ini? Kamu berubah, nyusahin banyak orang, kamu sadar, nggak?"
"Mas Fikri---"
"Terus tiba-tiba semua orang panik karena kamu hilang. Sekalinya dapat kabar, kamu sakit. Kamu nggak mikir? Kamu nggak sadar kalau tindakanmu ini gila?"
Fikri tidak memedulikan lagi isak Afra yang mulai muncul. Ia juga tidak menghentikan kalimatnya meski saat ini, gantian Zidan yang meremas erat tangan Fikri, mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki jangkung yang sejak tadi diteror oleh deretan angka-angka di layar gawainya tersebut hanya tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Afra bertindak sejauh ini.
Afra tidak menjawab, masih betah memalingkan wajah walau ia tahu isaknya mulai terdengar jelas. Gadis itu sudah tahu dari awal bahwa perbuatannya salah. Ia salah mendatangi orang yang menyerah, ia sadar bahwa takada gunanya berjuang sendirian.
"Kamu melakukan ini mengatasnamakan apa? Cinta? Apa cinta begitu agung hingga cahayanya membuatmu buta?"
"Mas Zidan keluar, bisa?" Kali ini, Fikri melengos. Ia benar-benar takpaham mengapa Afra masih bersikeras untuk menyuruh suaminya pergi. Lelaki itu mulai merasa sia-sia menemani Afra. Nasihat dan ujaran panjangnya dirasa sia-sia mendengar jawaban gadis itu.
"Nggak apa-apa, saya keluar du---"
"Afra, tolonglah. Hargai Zidan sebagai---"
"Afra malu! Afra malu melihat wajah Mas Zidan setelah apa yang Afra lakuin! Afra malu ketika Mas Fikri menjabarkan kesalahan dan kebodohan Afra di depan Mas Zidan! Afra ... Afra ngerasa ... Afra ...." Napas gadis itu tercekat di tenggorokan hingga tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Fikri tercenung, begitu pula Zidan. Dua orang laki-laki itu sibuk dengan pikirannya masing-masing, membiarkan Afra menangis lebih kuat. Hening mengambil alih, menguasai ruangan yang diisi oleh tiga manusia dengan persepsi berbeda.
"Afra ... Afra bukan orang yang baik untuk Mas Zidan. Afra mencemarkan nama baik Mas Zidan di depan Mas Fikri, Faza, Bapak, dan keluarga Mas Zidan. Afra bikin hati Mas Zidan sakit. Afra mikirin Mas Fikri bahkan saat Mas Zidan mengucap lafal qabul. Karena itu, Afra minta Mas Zidan keluar. Afra jijik sama diri Afra sendiri." Akhirnya, meski terbata-bata, gadis itu berhasil menyelesaikan ucapannya.
Zidan melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Fikri. Lelaki itu mendekat beberapa langkah. Saat posisinya sudah di sebelah kepala Afra, ia menekuk lutut, menyejajarkan kepalanya dengan sang istri yang masih berpaling.
Betapa ia ingin mengulurkan jemari untuk menyeka aliran bening dari mata istrinya. Betapa ia ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya, mengusap kepalanya, dan mencium keningnya. Isak Afra menoreh goresan baru di hatinya, lebih perih daripada saat gadis itu meminta izin untuk menemui Fikri. Namun, lelaki itu cukup tahu diri untuk tidak menyentuh Afra sebelum gadis itu menerimanya.
"Afra boleh tatap Mas sebentar aja?" tanya Zidan dengan suara rendah.
Afra menggeleng kuat-kuat.
"Oke, nggak apa-apa kalau Afra nggak mau natap Mas, tapi Mas pengen Afra dengar ini."
Afra memejamkan mata, menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menikmati perpaduan aroma air mata, bau obat-obatan, dan udara sejuk dari pendingin ruangan.
"Sejak nama Afra Mas ucapkan saat qabul, Mas udah menjadikan Afra sebagai hidup Mas, bagian Mas yang lain. Karena itu, kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Mas, begitu pula sebaliknya. Sekarang, kalau Afra merasa jijik pada diri Afra sendiri, Mas justru lebih jijik pada diri Mas. Kamu adalah Mas, dan Mas adalah kamu. Tolong, Afra jangan merendahkan diri sendiri."
Bulir transparan merembes lagi dari mata yang kini tertutup. Jiwanya yang kerontang akhir-akhir ini, seperti menemukan oase di sahara. Gadis itu mengepalkan tangan yang tidak diinfus, menahan rasa bersalahnya lebih kuat.
"Afra nggak sepenuhnya salah. Mas Fikri orang yang baik, Mas jadi paham kenapa Afra nggak bisa berpaling dari dia. Mas juga menerima masa lalu Afra, makanya Mas nggak jauhin Afra dari Mas Fikri secepat itu. Tapi, kalau boleh, jangan lagi nangis setiap malam sampai matamu sembab.
"Jangan lagi nolak sarapan dan makan malam semeja sama Mas. Kalau Afra lagi pengen cerita, Mas bisa dengerin, walaupun dalam cerita itu Afra terus muji-muji Mas Fikri."
Fikri masih diam di tempat. Namanya disebut berulang kali, tetapi ia tak berminat menyela atau membantah. Kakinya seperti dipasak di ubin, membuatnya beku dan tak mampu menggerakkan tubuh untuk menjauh. Harusnya percakapan tersebut hanya didengar oleh dua insan berpasangan itu.
Entah harus bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Satu sisi, melihat Afra dan segala tindakannya membuat Fikri marah. Gadis itu terlalu gegabah mengambil langkah. Di sisi lain, melihat gadis itu menangis, meluluhkan hatinya. Namun, saat Zidan berlutut dan menyampaikan rangkaian kalimat indah itu, membuat hati Fikri nyeri.
Dulu, Afra miliknya. Sekarang tidak.
Afra tersenyum miring. "Jangan bikin Afra jadi tambah ngerasa bersalah, Mas. Jangan menormalisasi kesalahan Afra. Afra ini istri yang nggak tau diuntung. Mas ... boleh talak Afra di sini, kok."
Ah, tidak, tidak. Afra tidak benar-benar mengatakan hal itu untuk direalisasikan oleh Zidan. Gadis itu meneguk saliva susah payah. Jika sedang sedih, kata-katanya selalu sulit dikontrol.
"Afra serius?"
Gadis itu ingin menampar diri sendiri saat kepalanya malah mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Zidan. Wajah lelaki itu berubah sendu. Meski demikian, tatapannya pada Afra masih sama, teduh.
Atensi Fikri membulat sempurna. Apa-apaan pemandangan di depannya ini? Ingin rasanya ia meluruskan perkataan Afra yang seperti tidak ada rem, tidak peka pada kondisinya sendiri. Namun, siapalah dirinya?
"Pasti mudah buat Mas Zidan menceraikan Afra, kan? Temen-temen Mas Zidan banyak yang lebih hebat dari Afra, lebih bermoral, lebih setara."
"Yang diamanahkan Allah pada Mas itu Afra, bukan mereka. Itu artinya, Afra yang setara dengan Mas. Jangan merasa kalau kamu lebih rendah dari mereka, Afra. Hati Mas sakit mendengarnya."
"Ya, tinggalin Afra kalau gitu. Biar Mas Zidan nggak sakit hati."
Zidan mengusap wajah.
"Sekali lagi, Mas tanya. Afra serius sama perkataan tadi, mengenai talak?"
Afra mendengkus. "Iya."
"Apa alasannya?"
"Bukannya udah sangat jelas? Afra nggak bisa jaga marwah suami. Afra bukan istri salihah."
"Bukan karena Afra masih mencintai Mas Fikri?"
Afra tertegun. Ia sebenarnya merasa bingung akan perasaannya sendiri saat ini. Entahlah rasa untuk Fikri masih berupa cinta atau obsesi, gadis itu tak tahu. Satu hal yang membuatnya sadar dari perkataan Zidan tadi, ia tidak menyebutkan Fikri sebagai alasannya meminta cerai. Padahal sebelum-sebelumnya, gadis itu selalu berkata demikian pada suaminya sendiri.
Lima hari mengasingkan diri dari orang-orang, menguras emosi dan kesehatan, berduaan dengan Rabb di sepanjang sujud, mungkin sudah membuat gadis itu menemukan petunjuk. Entah bagaimana bisa, ia memahami prioritasnya.
Yang dipikirkan bukan lagi Fikri dan usahanya untuk meluluhkan lelaki itu. Yang dipikirkannya bukan lagi sakit hati sebab ditinggalkan karena jalan yang berbeda. Namun, malam-malam panjangnya ia sibuk menghitung dosa yang dilakukan kepada suaminya, Zidan. Hingga rasa bersalah dan malunya kian menggunung, ia kehilangan kesadaran.
Lagi-lagi senyap. Getar dari ponsel Fikri membuat lelaki itu merogoh saku, mengalihkan perhatian dari drama dua orang di depannya.
+62 825 66xx xxxx
Keadaannya udah agak dingin, belum, Mas? Aku udah bisa masuk? Kasian Mbak Afra udah lama banget nggak makan. Ini nanti buburnya dingin. Aku beli nasi untuk Mas Fikri dan suaminya Mbak Afra juga. Semoga belum pada makan.
14.47 ✔✔
Fikri tak perlu bertanya dua kali siapa pemilik nomor itu. Karena tadi buru-buru, ia tidak sempat menyimpannya.
"Mas boleh minta waktu? Kalau dalam sebulan ini Afra masih merasa tersakiti oleh Mas, Afra bisa mempertimbangkan hal itu lagi. Selama rentang itu, bisakah Afra jujur dengan diri Afra sendiri?"
Sungguh, mendengar tutur kata yang lembut dari Zidan membuatnya lemah. Tulang-tulangnya seakan dilepas dari otot. Darahnya berdesir hangat, bulu halus di tengkuknya berdiri.
Fikri mengakui bahwa pengontrolan emosi dikuasai Zidan dengan sangat baik. Ia bahkan bisa tetap tenang walau Afra mencak-mencak. Ah, lelaki itu tiba-tiba menjadi minder. Bapak Afra tidak salah memilihkan suami untuk anaknya.
"Ya."
Jawaban singkat Afra memancing senyuman di wajah Zidan.
+62 825 66xx xxxx
Beneran, nih, dibaca doang? Padahal aku udah ngetik panjang lebar, tau. Dikira ngetik nggak pake tenaga? -_-
Aku di depan pintu. Udah bisa masuk, belum?
14.56 ✔✔
Ah, saking kagumnya pada Zidan, Fikri sampai lupa membalas pesan Faza.
Fikri A. A
Silakan.
14.57 ✔✔
+62 825 66xx xxxx
Silakan apa, nih? Silakan masuk atau silakan pulang?
14.57 ✔✔
Fikri tidak berniat membalas pesan itu.
+62 825 66xx xxxx
Oke, silakan masuk.
14.58 ✔✔
Beberapa detik setelahnya, Faza membuka pintu, membuat benda itu berderit dan sukses menyita atensi mereka yang berada di dalam ruangan.
"Ini untuk Mbak Afra, bubur ayam. Ini untuk Mas—nama Mas tadi siapa, ya?"
"Zidan."
"Oke, ulang. Ini untuk Mbak Afra, bubur ayam. Ini untuk Mas Zidan, nasi pakai ayam semur. Aku nggak tau masnya mau atau enggak, tapi semoga mau, ya. Ini untuk Mas Fikri, nasi pakai ayam geprek, level 3. Kata Mbak Elea, Mas Fikri suka pedes."
Ngapain bongkar-bongkar, sih, Mbak? Fikri melengos jengkel.
"Kamu?"
"Udah tadi di warungnya langsung," jawab Faza. Fikri mengangguk.
Afra mendudukkan tubuhnya. Ia hendak mengambil sterofom dari atas nakas ketika tangannya didahului oleh Zidan. Lelaki itu berdiri dari posisi berlututnya dan duduk di samping lutut Afra.
"Bisa sendiri?"
"Bisa."
"Hati-hati." Zidan meletakkan sterofom itu di atas bantal guling yang diposisikan di atas paha Afra.
Fikri membuka sterofom, menyantap makan siangnya. Level yang dipilihkan Faza masih lebih rendah dari rasa pedas yang biasa dipesannya, sedangkan gadis itu sibuk dengan ponsel.
"Makan, jangan cuma lihatin Afra," celetuk Afra melihat Zidan yang hanya menatapnya dalam.
"Puasa." Jawaban itu sontak membuat Fikri dan Afra tersedak.
"Tapi tadi kata Mas---"
"Cuma alasan supaya Mas diizinin keluar, tapi tetap nggak boleh sama Mas Fikri."
"Oh, oke." Afra lanjut menyendok bubur itu ke dalam mulutnya.
Dering khas ponsel Fikri yang tak pernah diganti sejak ponsel itu baru dibeli berbunyi. Nama Elea muncul di layar gawainya.
"Papa masuk rumah sakit. Stroke. Nyusul Mbak ke sini sekarang. Nggak pake lama. Udah Mbak sharelock lewat WA."
🕊🕊🕊
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro