Teori 15
Bahaya masa lalu yaitu ketika orang menjadi budak. Bahaya masa depan adalah ketika manusia bisa menjadi robot.
(Erich Fromm)
🕊
Pernikahan Ahmad dilakukan tanpa memberi tahu Laura. Fikri diam di tempatnya duduk, di sebelah saksi. Pandangannya datar, tetapi atensinya berkilat. Elea di balik sutrah, menautkan jemari, merapal mantra untuk menyugesti diri sendiri bahwa segalanya akan tetap baik-baik saja. Ini hanya sementara, hanya untuk Oma.
Ketika lafal kabul terucap, entah apa maksud semesta, Laura datang. Tepat di depan pintu, menyaksikan langsung dirinya diduakan. Suasana menjadi geger. Namun, lafal itu sudah menggetarkan arasy, membuat penghuni langit menyetujui pernikahan tersebut, Ahmad telah sah menjadi suami dari seorang janda bernama Annisa.
Saat itu, Fikri dan Elea menyaksikan Laura menjadi orang lain. Entah apa yang membuatnya meraung hingga lupa etika. Orang-orang membopongnya menjauh, tidak peduli racauannya. Ahmad mengejar, Elea membatu, Fikri diam di tempat. Dua anak manusia itu masih bingung dan takpercaya dengan apa yang terjadi. Hingga akhirnya, wanita yang dipanggil Anisa itu memanggil keduanya.
"Saya nggak apa-apa. Susul papa dan mama kalian, ya."
Fikri meraih kunci motor, menarik tangan Elea yang lututnya masih bergetar. Mereka berdua membelah jalanan, tetapi keduanya tak menemukan tanda-tanda di mana orang tuanya berada. Panas matahari yang sedang tepat berada di atas kepala melingkupi jalan raya, mengalirkan peluh dari kakak adik yang sama-sama mengepalkan tangan di samping trotoar.
"Mama nggak akan kenapa-kenapa, kan? Mama pasti paham kalau ini semua demi Oma. Ya, kan, Fik?"
Fikri diam saja. Ia tak tahu. Jika memang cinta Papa untuk Mama begitu besar, apa pun alasannya, lelaki itu tak mungkin meninggalkan Mama. Namun, Fikri juga paham bahwa kedudukan seorang ibu bagi anak laki-laki tak akan bisa dikalahkan oleh istri. Ia bimbang. Siapa yang salah?
"Kita pulang aja, Mbak."
🕊
Fikri tengah di ruang rapat saat ponselnya berdering menampilkan deretan nomor tak dikenal. Awalnya ia ingin mengabaikan saja, tetapi nomor itu menghubunginya berulang kali. Saat ini, dosen di fakultas yang ia ajar sedang melakukan evaluasi bersama dekan. Ia tak bisa meninggalkan forum begitu saja.
Fikri A. A
Saya sedang rapat. Siapa pun Anda, jika sangat penting, hubungi saya tiga puluh menit lagi.
11.30 ✔✔
Centang dua abu-abu langsung berubah menjadi biru hanya dalam hitungan detik. Lelaki jangkung itu mengabaikan ponsel, fokus pada aspirasi yang sedang disampaikan oleh salah satu dosen senior dan mencatat poin-poinnya. Fikri kemudian mencebik samar ketika layar gawainya berkedip lagi, dihubungi oleh nomor yang sama.
Setelah menggeser tombol merah, ia kembali ke ruang chat. Seketika matanya membulat membaca pesan tersebut.
+62 813 51xx xxx
Maaf mengganggu waktunya. Saya Zidan. Mas Fikri ada ketemu Afra lima yang lalu, nggak? Soalnya udah lima hari ini Afra nggak pulang. Kemarin-kemarin, bapaknya Afra masih belum tau, tapi sekarang beliau marah-marah. Mas Fikri tau di mana Afra sekarang?
11.31 ✔✔
Saat itu juga, Fikri tertegun lama. Dibacanya berulang kali pesan tersebut, takut siwer. Namun, isinya tetap sama. Ke mana Afra? Bukankah setelah pembicaraan mereka, Afra berkata akan pulang? Ah, tidak. Perempuan itu hanya berkata pamit, bukan pulang.
"Hei, kenapa? Mukanya suntuk banget." Bu Shofi, dosen senior yang duduk di sebelah Fikri tampaknya menyadari gelagat lelaki itu.
"Bu, kalau saya izin sekarang, bisa?"
Bu Shofi melirik jam dinding dan layar infokus bergantian.
"Harusnya bisa aja, sih, kalau ada urusan mendesak. Langsung minta izin ke Pak Dekan, gih. Sebentar lagi juga selesai."
Fikri mengangguk. Dikemasnya catatan kecil serta map lalu dimasukkan ke ransel. Setelah mencangklongnya, ia pamit.
🕊
Dengan motor matic-nya, Fikri menyusuri tiap jengkal kota Surabaya. Terik matahari tidak dihiraukan, padahal peluh sudah bercucuran. Jalanan padat, seperti biasa. Kolaborasi asap polusi serta deru kendaraan menjadi perpaduan sempurna untuk menambah stres.
Takada petunjuk yang jelas ke mana Afra menghilang. Sejak tadi sudah dihubungi, tidak diangkat meski berdering. Azan zuhur sudah berkumandang sejak tadi, sedangkan tiga puluh menit terbuang tanpa hasil. Fikri menepi sekejap, memesan es teh yang dibungkus plastik putih. Ia tidak mau buang-buang waktu.
Tepat setelah minumannya tandas, ponsel kembali berdering. Deretan angka muncul di layar, tetapi tidak sama dengan nomor milik Zidan. Siapa lagi? Rasanya Fikri tidak memberikan nomor kepada orang asing.
"Halo? Fikri, kan?" Tanpa salam, suara di seberang langsung menyapanya tak bersahabat. Wajah lelaki itu mengkerut.
"Maaf, ini dengan siapa?"
"Afra mana? Kamu bawa lari anak saya, kan? Lima hari yang lalu dia ketemu kamu. Saya tanyain Zidan dari dua hari yang lalu, tapi dia baru ngaku hari ini. Ya Allah, kalian komplotan, hah?"
Ah, rasanya Fikri tahu siapa pemilik suara tersebut. Lelaki itu mencabut kunci motor dan kembali berteduh di bawah terpal kaki lima, urung melanjutkan perjalanan untuk sesaat. Ia mengangkat tangan, memesan satu gelas lagi minuman dingin.
Fikri masih menunggu bapak Afra melanjutkan bicaranya. Bahkan saat ini, deru napas berat dari sosok di seberang terdengar jelas di telinga lelaki itu. Orang tua Afra sedang dalam keadaan marah.
"Afra nggak pulang, di mana dia? Di rumah temannya nggak ada, ditelepon nggak diangkat. Ini saya dapet nomor kamu barusan, dari Zidan. Kalau dari kemarin Zidan kasih, udah saya hajar kamu. Kamu sembunyikan di mana anak saya?"
Kata-kata penuh penekanan itu keluar dengan sangat lancar. Fikri memijat pelan pelipisnya, menormalkan napas agar tidak terpancing emosi.
"Hei, kenapa diam? Benar apa yang saya bilang?"
Fikri menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Afra nggak sama saya, Pak. Memang benar, lima hari yang lalu dia bertemu saya, di rumah saya. Ada mbak saya juga di rumah, kami nggak berduaan. Setelah it---"
"Halah, nggak percaya saya."
Lelaki itu menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring. Bahkan sebelum ucapannya tuntas, bapak Afra sudah lebih dulu memotong bicaranya.
"Kamu memengaruhi anak saya, kan? Nggak mungkin dia lari, selama ini dia nggak pernah begitu. Setelah nikah dia berubah. Kalau bukan karena pengaruhmu, karena siapa lagi? Hei, asal kamu tau, ya. Afra berniat untuk gugat cerai suaminya. Kenapa? Kamu bilang apa ke dia sampai dia berubah jadi pembangkang, bahkan pada bapaknya sendiri?"
Fikri menarik napas panjang, lagi. Diliriknya sinar matahari yang menembus terpal. Matanya menyipit menerima sinar terik. Di depan, kendaraan lalu lalang, sedang di dekat tempatnya duduk, bapak paruh baya penjual minuman tengah terbahak, menertawakan entah apa. Lelaki itu berusaha menahan diri sekuat-kuatnya.
"Pak, tahukah Bapak kenapa Afra pergi? Tahukah Bapak kenapa Afra membantah Bapak? Apa selama ini Afra begitu jarang bicara sampai Bapak---ayahnya sendiri---nggak memahami putri Bapak?"
Lengang. Suara di ujung sana yang beberapa detik lalu menggebu kini terganti hening. Deru kendaraan yang lalu lalang kini mengambil alih mengisi ruang pendengarannya.
"Pak, demi Tuhan yang saya percaya Ia ada, walaupun saya nggak sujud pada-Nya seperti yang Bapak lakukan, saya nggak pernah melihat Afra menangis, menundukkan harga diri serendah-rendahnya, berharap saya kembali untuknya. Nggak pernah, Pak. Saya nggak pernah melihat dia bicara tanpa berpikir, kecuali lima hari lalu, saat dia bilang mau bercerai dari Zidan dan membantah keinginan Bapak."
Fikri menjeda ucapannya sesaat. Bulir bening sudah mulai mengisi ruang di netranya. Mendongak sebentar, mengedipkan kelopak, maka air itu meluap entah ke mana. Saat menceritakan hal ini kembali, saat melihat Afra yang tanpa daya beberapa hari lalu, hatinya terenyuh.
"Dan, Pak, kalau Afra belum pulang kepada Bapak---lelaki pertama yang dikenalnya saat membuka mata setelah keluar dari rahim ibunya---saat hatinya terluka, kenapa Bapak harus menuduh saya yang membuatnya pergi? Kenapa tidak menuduh diri Anda sendiri, Pak?"
Jika sudah berbicara baku, artinya lelaki dengan tatapan setajam elang mengincar mangsa itu mulai serius.
"Jaga bicaramu, Nak. Orang sepertimu tau apa? Orang yang bahkan menyalahi kodrat manusia dan berideologi bebas sepertimu, paham apa? Orang yang sombong karena nggak mau sujud ke Tuhan, kamu mengerti apa?" Setelah hening, kini lelaki paruh baya di seberang kembali panas, mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot.
Fikri meloloskan lenguhan samar. Pandangan manusia selalu sama, menganggap dirinya yang lebih menghamba adalah yang paling benar. Bukankah hakikat sombong adalah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia lainnya? Fikri tertawa kecut. Yang beragama adalah yang paling benar, sepertinya begitu. Terlihat jelas.
Bukan karena sombong, ia menolak sujud. Bukan karena ideologi bebas, ia berpaling. Ia hanyalah seorang lelaki lemah yang mencari arti cinta. Namun, makin ke sini, ia makin paham. Bahwa sifat Mahacinta Tuhan tidak diwarisi kepada setiap orang. Fikri, masih harus mencari.
"Saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya fakir, itu benar, tapi setidaknya Afra lebih memilih cerita kepada saya sebelum Bapak. Pak, saya nggak meminta Bapak untuk percaya sama saya. Saya juga nggak akan mengatur persepsi Bapak tentang saya. Tapi tolong, dengarkan Afra, pahami apa maunya. Saya akan membuatnya pulang, tapi saya nggak janji kapan. Akan saya cari semampu saya."
Telepon ditutup sepihak. Bukan oleh Fikri, tetapi oleh lawan bicaranya.
"Panas buanget, ya, Mas?" Pertanyaan penjual minuman itu menginterupsi Fikri. Lelaki itu hanya tersenyum.
Fikri mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu lantas menyerahkannya ke penjual minuman. Ia menolak ketika diberi kembalian. Setelah pamit dan membalas senyuman penjual tersebut, ia menghidupkan mesin motor. Tiba-tiba ponselnya kembali berdering.
Siapa lagi? Fikri berdecak kesal. Ketika melihat deretan nomor yang tidak sama seperti milik Zidan dan ayahnya Afra, lelaki itu mengusap wajah.
"Halo, Mas Fikri? Mas, ini aku, Faza. Mbak Afra ...."
Punggung Fikri langsung tegak. "Afra kenapa?"
"Mbak Afra pingsan."
"Jangan bercanda."
"Enggak, aku nggak bercanda. Aku cuma punya nomor Mas Fikri---yang dikenal Mbak Afra. HP-nya terkunci, aku nggak tau sandinya. Bisa ke sini, ke rumahku? Abah lagi nggak di rumah, mbakku masih ngajar, Mas Dani juga udah di Semarang. Cepet, ya, Mas."
Banyak pertanyaan yang datang, tetapi ditepis lelaki itu. Ia memacu motornya lebih cepat.
🕊🕊🕊
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro