Teori 13
Akulah pribadi dari si pencemburu. Akulah nyeri dari si sakit. Akulah awan dan hujan. Aku telah terkena hujan di tengah padang rumput.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Karena Chesa ingin pulang bersama Faza, gadis itu terpaksa mengantarkan sampai rumah. Udara kota Surabaya begitu terik, tak salah Chesa memilih naik mobil. Entah mengapa ia begitu akrab dengan gurunya.
Lima belas menit, setelah berkutat dengan jalanan macet—karena kecelakaan lalu lintas—mereka tiba di depan rumah Elea. Wanita hamil itu ternyata sedang menunggu di depan rumah sambil mengelus perut buncitnya. Begitu melihat mobil yang ditumpangi Faza, ia cepat-cepat membukakan pagar, padahal saat tiba lima menit lebih awal, Fikri disuruh turun dari motor untuk membuka sendiri kunci pagar.
Lelaki itu sibuk menanggapi email, baik dari dekan yang memberinya jam baru untuk mengajar di satu kelas menggantikan dosen lain maupun dari mahasiswa yang mengumpulkan tugas. Sibuk sendiri, sampai tidak sadar bahwa Elea, Faza, Chesa, dan seorang lelaki sudah memasuki ruang tamu.
"Heh, geser dikit, tamunya mau duduk," pinta Elea sambil menepuk pelan bahu Fikri. Laki-laki itu terperanjat. Atensinya langsung bertemu netra Faza.
"Es dawetnya ditaruh di gelas buat mereka sama Mbak. Tadi kamu belinya berapa bungkus?"
"Satu," jawab Fikri singkat, seperti biasa.
"Kok cuma satu?"
"Kan Mbak mintanya cuma satu."
"Mbok ya kalau beli tuh jangan cuma satu. Nggak cukup. Untung Faza belinya dua. Nih, cepet. Di kulkas lagi nggak ada minuman lain."
Fikri bangkit dari sofa, mengambil plastik dari tangan Faza dan berjalan gontai menuju dapur. Dilakukan apa yang diperintahkan oleh Elea. Lima menit kemudian, setelah menemukan talam di antara rak piring, Fikri keluar menuju ruang tamu dan duduk di sebelah kakak perempuannya.
"Eh, nggak usah, Mbak, nggak usah repot-repot. Anu, kami mau ke butik buat fitting baju, Mbak," seloroh Faza.
"Hah?"
"Loh, kok kamu yang kaget? Padahal tadi Mbak mau kaget duluan, tau," celetuk Elea sambil terkekeh.
Fikri memicingkan mata, memindai lelaki yang duduk di sebelah Faza dari atas hingga bawah. Lelaki itu tidak mengerti mengapa ia melakukan hal demikian. Apa untungnya? Lagi pula, wajar saja jika Faza akan menikah, terlepas dari waktu yang belum lama membuatnya patah dikarenakan seseorang bernama Ghazi.
Fikri menyibukkan diri dengan ponselnya, tak menanggapi ocehan Elea. Meski begitu, pikirannya tak fokus pada layar gawai. Secepat itukah Faza menemukan pengganti setelah dipatahkan oleh seseorang? Entah dirinya iri sebab ingin mendapat pengganti segera mungkin atau cemburu entah karena alasan apa, Fikri tak mengerti.
Ah, ia juga tidak mengerti mengapa malah memikirkan hal tersebut. Lantas, mengapa jika Faza sudah menemukan pengganti dan akan menikah di waktu dekat? Sungguh, ia tidak harus peduli dengan urusan personal gadis itu.
"Echa mandi, makan, terus tidur siang, ya."
Chesa bergeming sambil menyeruput es dawet hingga tandas. Ia sesekali memainkan adonan hijau dari tepung tapioka yang tersisa sebab tak terhirup oleh sedotan. Jika sedang fokus pada sesuatu, anak itu akan asyik sendiri dengan dunianya. Elea menyentuh lembut punggung tangan putrinya hingga akhirnya perhatian Chesa teralihkan.
"Mandi, ya, Sayang. Habis itu makan, tadi Mama bikinin brokoli kesukaanmu. Habis itu langsung tidur siang," ulangnya sekali lagi.
"Nanti aja, tunggu Ibu Faza pulang," balas Chesa. Ia kemudian sibuk menghirup dawet dengan sedotan. Sekali disedot, tak masuk mulut, keluar lagi. Tindakan itu diulangi entah berapa kali.
"Eh, ini Ibu mau pulang, kok. Chesa udah bisa mandi, kok," celetuk Faza.
"Jangan pulang dulu. Ngomong-ngomong sebentar di sini, deh, temenin Mbak. Bosen ngomong bareng dia mulu." Elea mengarahkan sudut matanya kepada Fikri. "Lagian, fitting-nya nggak harus seburu-buru itu, 'kan?"
"Gimana, Mas?"
Fikri melirik dua orang itu tanpa mengangkat kepalanya dari melihat gawai. Lelaki yang duduk di seberangnya tampak menimbang-nimbang sebentar, melirik arloji, kemudian tersenyum.
"Masih sempat, kok. Dia masih bisa nunggu sejam lagi."
Karyawan butik memang bisa nunggu pelanggannya sampai tokonya tutup, batin Fikri.
"Ah, bagus, deh! Gini, loh. Mbak kangen sama Faza. Terakhir kali ketemu pas ke acaranya Afra. Selebihnya pas jemput Chesa, itu juga nggak sering. Fik, emangnya pas jemput Chesa, kalian nggak sering ketemu, ya?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ya, kenapa harus ketemu?" tanya Fikri tajam.
Elea mendesis. Tabiat Fikri dari dulu tak berbeda. Jika sedang bersama perempuan, ia akan terlihat cuek, berbeda dengan dirinya jika bersama keluarga dan teman laki-laki. Ah, bahkan perempuan itu tak yakin adiknya memiliki teman, mengingat Fikri tak pernah bercerita ataupun membawa temannya ke rumah.
Faza tertawa canggung, begitupun lelaki di sebelahnya.
Chesa menyudahi kegiatan menyedot dawet yang gagal dari tadi. Karena geram, ia beralih ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan sendok di tangan kanan. Tampaknya ia sudah menyadari bahwa tindakannya tadi agak sia-sia. Napasnya kurang panjang untuk menyedot dawet hingga ke ujung sedotan dan mencapai mulutnya. Setelah itu, ia duduk di sebelah ibunya, mengeluarkan buku cerita dan membacanya.
Percakapan mengalir. Elea seperti berbicara dengan teman dekat. Sesekali, lelaki di sebelah Faza menyelingi ucapan dua perempuan itu. Mereka berbicara macam-macam. Mulai dari hal ringan seputar pekerjaan—Fikri akhirnya tahu kalau Faza sudah tiga tahun bekerja sebagai guru TK, sampai hal-hal random seperti tebak-tebakan jenis kelamin bayi di kandungan Elea.
Chesa terkadang ikut berceletuk riang, memperlihatkan betapa senangnya ia menyambut adiknya yang akan lahir ke dunia. Ia bahkan keluar masuk kamar, memamerkan beberapa mainan kepada Faza. Katanya, ia akan berbagi dan bermain bersama adiknya nanti. Katanya lagi, Paman Fikri tidak boleh ikutan.
"Berarti Faza ini emang suka sama anak-anak, ya? Pantesan Chesa nempel terus, padahal dia kurang suka dipegang orang lain."
"Dia emang gitu dari dulu, Mbak. Entah kenapa anak-anak bisa langsung suka sama dia," imbuh lelaki itu. Fikri mendecih spontan.
Sejak dulu? Memangnya mereka udah kenal berapa lama?
Fikri menyentil dahinya pelan agar pikiran-pikiran naif itu hilang dari kepala. Tanpa sadar, ia beristigfar sebelum sepersekian detik kemudian bingung bagaimana caranya bertaubat atas kekhilafannya mengucap istigfar. Lelaki itu hanya bingung.
"Mbak itu sebenernya pengen kamu ke sini, karena Faza sama Fikri udah lama nggak ketemu."
"Apa hubungannya, sih, Mbak?" tanya Fikri spontan.
"Kamu tuh mau bicara panjang kalau nggak sama Mbak, ya sama Faza. Dih, dikira Mbak nggak tau, apa? Lagian kenapa sih, bisa diem melempem aja kayak gitu? Nggak stres apa, kalau nggak sosialisasi?"
"Emang bukan makhluk sosial kali dia, Mbak El," sergah Faza.
"Sembarangan," komentar Fikri, mendecak sebal.
"Palingan belum bisa move on tuh, dari Mbak Afra," lanjut Faza lagi. Fikri melengos.
"Ya, cinta bukan permainan bagi saya. Nggak kayak kamu yang kemarin sore baru nangis-nangis, udah nemu pengganti secepat itu," sindir Fikri sarkas.
Sesaat hening menguasai mereka. Elea dan Faza saling pandang. Lelaki di sebelah gadis itu tampak menahan tawa. Fikri? Ia melengos samar. Menyesali mengapa tidak dapat mengerem kata-kata tersebut. Ia sadar ucapannya terlalu kekanak-kanakan dan akan membuatnya blunder sebentar lagi. Ah, belum sampai satu menit, ia sudah ditertawakan Mbak Elea.
"Apa, sih, Fik? Kok nggak jelas gitu?" Elea memegangi perut dan pinggang bersamaan. Tawanya berderai hingga sudut matanya membentuk sebulir cairan bening.
"Kita belum kenalan, ya, Mas? Saya Dani, kakak kandungnya Faza. Oh, yang mau fitting baju itu saya dan calon kakak iparnya Faza. Dia cuma nganterin saya, soalnya saya nggak tau tempatnya." Dani mengulurkan tangan. Bibirnya mengukir senyuman ramah.
Fikri menelan saliva. Tangan Dani masih menggantung, tetapi Fikri terlalu enggan untuk menyambutnya. Elea lagi-lagi tertawa, membuat bahunya berguncang. Chesa yang melihat itu mengedikkan bahu. Mamanya jika tertawa memang suka terlalu keras, bocah itu tak heran lagi.
"Heh, secemburu itu sampe nggak mau salaman sama Dani? Dia masnya Faza, loh."
Fikri mencebik. Jika boleh, sudah dikunci kakaknya itu di dalam kamar. Ia terlalu blak-blakan dan berhasil membuat Fikri tengsin berkali-kali. Akhirnya, Fikri membalas jabatan Dani.
"Cie, jatuh cinta sama aku, ya, sampe cemburu? Dih, padahal apa tadi katanya? Cinta bukan permainan, nggak mudah cari penggantinya? Idih," ledek Faza.
Cewek ini, apa nggak bisa jaga image? batin Fikri. Lelaki itu menanggapi dengan dehaman.
"Itulah akibat jarang ngomong. Sekalinya ngomong, aneh. Faza ajak dia banyak ngomong, ya," cetus Mbak Elea.
"Susah, Mbak. Lebih enak ajakin ikan cupang ngobrol daripada ngobrol bareng Mas Fikri," balas Faza.
"Ikan cupang, kan, nggak bisa ngobrol, Ibu Faza," potong Chesa.
"Itu cuma istilah, Chesa. Maksud Ibu, segitu susahnya ngomong sama pamanmu, kayak Gerald di kelasmu. Dia nggak suka ngomong, disuruh bicara malah nggak mau. Chesa suka kesel nggak, kalau gitu?"
"Kesel banget, Bu. Echa pikir dia bisu, loh. Echa kan nggak bisa bahasa tangan untuk ngomong sama dia." Yang dimaksud Chesa adalah bahasa isyarat. "Oh, Paman gitu juga?"
"Iya," jawab Faza.
"Assalamu'alaikum." Perhatian penghuni ruang tamu beralih menatap sosok perempuan di depan pintu. Faza dan Dani menjawab salam.
Gadis itu, seseorang yang dikenal Fikri. Hanya, wajahnya sudah berbeda. Tidak ada sinar, matanya sayu, kulitnya lebih pucat, dan pipinya makin tirus. Tanpa menunggu lama, ia memelesat dan duduk di depan lutut Fikri hingga kepalanya hampir terbentur meja. Pergerakan itu tak terduga.
"Mas, Afra udah nggak kuat. Afra nggak bisa, Mas, nggak bisa lagi. Afra pengen mengakhiri ini semua. Afra ... Afra ... Afra nggak pengen jadi orang jahat untuk Mas Zidan."
Seisi ruangan terdiam. Bahkan Chesa beku di tempatnya, walau ia belum mengerti maksud Afra yang datang tiba-tiba. Fikri bergeming di tempatnya.
"Berdiri, Afra. Jangan duduk kayak gitu."
"Nggak mau, Mas. Tolong, bantu Afra. Cuma Mas Fikri yang bisa, cuma Mas Fikri yang selama ini nggak bisa digeser kedudukannya di hati Afra, bahkan ketika Afra udah punya Mas Zidan sekalipun. Tolonglah, Mas."
Fikri memalingkan wajah dari muka Afra yang sendu.
"Kamu nggak seharusnya berlutut kepada saya untuk memohon apa yang nggak akan saya lakukan, Afra."
🕊🕊🕊
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro