Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 12

Cinta adalah penyakit. Ia membuat orang lemah di hadapan insan yang dicintainya. Ia menyebabkan candu kehidupan, seakan-akan hidup tak punya arti tanpanya, dan seseorang harus memiliki ketergantungan dengannya.

(Friedrich Nietzche)

🕊

Hari itu, Oma sakit. Permintaannya kepada Ahmad sederhana, menceraikan Laura dan menikahi janda pilihannya sebelum wanita tua itu meninggal. Kata Oma, ia ingin memiliki cucu yang diakui. Bukan Elea, bukan juga Fikri. Ia ingin, putranya pulang menuju cintanya, bukan rengkuhan Laura.

Mendengar kabar itu, Laura patah. Fikri terpaksa pulang dari pesantren sebab ibunya yang penuh cinta itu terbaring lemah di rumah sakit. Kata dokter setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Laura tidak menderita penyakit parah. Asam lambungnya tinggi, penyebabnya stres berkepanjangan.

Ahmad berjanji tidak akan meninggalkan Laura saat mereka menikah. Namun, jika harus memilih antara istri dan ibu, ia harus apa? Bukankah ia harus mendahulukan ibunya? Bakti seorang perempuan akan berpindah ke suami jika ia sudah menikah, tetapi lelaki, jika sudah menikah pun, ibu tetaplah surganya, baktinya tidak berpindah.

Lagi pula, ia memiliki firasat bahwa waktu Oma tak lagi lama. Ia begitu merindukan sang ibu. Lantas, jika satu permintaan itu bisa menebus dosanya selama ini, mengapa tidak dituruti? Toh, Ahmad berjanji bahwa Laura tetap menjadi prioritas. Ia hanya akan menafkahi janda pilihan ibunya dari segi materi. Namun, meski begitu, wanita mana yang bisa menerima kenyataan bahwa lelakinya tetap mendua?

Laura pergi dari Ahmad, pulang ke Manado. Katanya, ia akan baik-baik saja jika ditinggal. Ia juga merindukan keluarga yang sudah lama tak dijumpai. Padahal, alasannya sederhana. Ia tidak ingin mendengar seruan talak dari suaminya. Ah, entahlah. Dimadu tidak ingin, dicerai juga tidak mau. Laura benar-benar kebingungan saat itu.

Eleanor dan Fikri ikut Ahmad. Untuk pertama kalinya, saat pulang, Oma mau memeluk mereka. Wanita tua yang sudah tak bisa bangkit dari kasur itu bahkan menangis sesenggukan saat memeluk dua anak itu, menciumi mereka berulang kali sampai engap.

"Memang seharusnya perempuan kafir itu nggak pernah ada di antara kalian. Memang seharusnya wanita murahan itu meninggalkan Ahmad sendirian. Wanita tak tahu malu itu memutuskan hubunganku dengan cucu-cucuku."

Begitulah perkataan Oma yang Elea dan Fikri ingat selepas memeluk mereka. Tiga orang di sana tertegun.

"Oma ... siapa yang Oma bilang wanita kafir? Siapa yang Oma sebut wanita murahan?" ucap Elea lirih, air matanya sudah berderai turun.

Fikri juga menahan segala emosi. Tangannya mengepal hebat, hatinya panas, darahnya mengalir hangat, dan rahangnya mengetat. Bagaimana bisa manusia mengafirkan orang lain, sedangkan dalam pemahaman lelaki remaja itu, hak mengafirkan orang lain adalah hak perogratif Tuhan. Bagaimana bisa sesama manusia merasa pantas men-takfir sesamanya?

Terlebih dari itu, bagaimana bisa Oma terang-terangan mengatai Laura di depan Elea? Mereka menganut ajaran yang sama, terikat darah yang setara. Bahkan Fikri saat itu menyadari, dari buku-buku tangan Elea yang memutih sempurna, gadis itu marah luar biasa.

"Bu, tolong jaga ucapan Ibu di depan anak-anak," pinta Ahmad. Lelaki itu masih cukup menaruh hormat pada wanita yang melahirkannya. Ia menjaga suaranya tetap rendah, walau emosinya membuncah.

"Apa yang salah dari perkataan Ibu? Dia itu lacur, menggadaikan agamanya untuk tetap bisa nikah sama kamu. Bahkan dari segi agamanya pun, tindakan itu nggak bisa dibenarkan, Ahmad. Kamu mencintai orang yang salah."

Masih diam di tempat dan sama-sama menunduk, Fikri menggeram halus. Mau sampai kapan wanita tua itu menghina ibunya, wanita yang melahirkannya? Mau sekejam apa lagi ucapannya? Fikri beristighfar dalam hati, berusaha tidak terpancing lebih jauh.

"Oma! Oma sadar apa yang Oma katakan? Oma sadar kalau ada anak dari putra Oma dan orang yang Oma sebut lacur itu di sini? Oma sadar ada darah Oma ngalir di tubuh Elea? Oma sadar tidak, kalau Oma dibutakan kebencian?"

Elea berang. Napasnya tersenggal, bahunya berguncang. Siapa yang tahan dikatai anak dari seorang pelacur? Hanya karena pernikahan tak direstui, bukan berarti mereka melakukan hubungan terlarang. Mata Oma yang sayu mengilat tajam.

"Begini, Nak? Begini cara istrimu mengajari cucuku berbicara pada omanya?"

"Bu, jangan begini. Jangan begini di depan anak-anak. Ahmad mohon, Bu, jangan hina istri Ahmad. Kalau Ibu menghina dia, berarti Ibu juga menghina Ahmad," sergah Ahmad cepat.

"Hei, Nak, namamu siapa, tadi? Eleanor Liora? Apa aja yang mamamu ajarin selama ini? Menjadi wanita paling suci? Merebut putra dari ibunya? Atau apa?" Oma tak menghiraukan pinta Ahmad. Ia tersenyum remeh menatap Elea yang air matanya terus diperbaharui alirannya.

"Mama nggak ngajarin banyak. Cuma cinta dan kemanusiaan yang tinggi, Oma. Kemanusiaan, memanusiakan manusia walau beda keyakinan, ras, dan etnik. Kemanusiaan, yang nggak Elea temukan di Oma, bahkan di pertemuan pertama kita," terang Elea. Suaranya lirih, nyaris tidak terdengar jika kipas angin diputar lebih kencang.

Oma meremas seprai, ikut terpancing. Napas Oma mulai terbata, pendek dan satu-satu dengan jeda sepersekian detik.

"Cinta apa? Cinta, hah? Hanya orang-orang bodoh yang percaya cinta! Nggak Ahmad, nggak Laura, anak-anaknya pun sudah kena racun sepenuhnya! Demi hal hina ini, kamu dulu ninggalin Ibu demi perempuan itu?" bentak Oma. Ahmad menggeser duduknya, lebih dekat kepada Oma.

"Bu, tenang. Jangan kayak gini. Laura dan Elea nggak salah, Bu."

"Kamu, lagi! Udah dididik tinggi-tinggi, masih aja bodoh! Nak, hei, Fikri! Kamu nyantri, 'kan? Kamu satu-satunya anak yang bisa Oma banggakan sekarang. Katakan sesuatu, bela omamu ini. Oma nggak salah, orang tuamu yang bodoh." teriak Oma.

Untuk pertama kalinya setelah menerima penghinaan atas orang tuanya, Fikri mengangkat kepala. Ditatapnya tajam wanita tua di atas kasur. Wajahnya memerah sempurna, remaja laki-laki itu sudah berada di kapasitas tertinggi menahan rasa marah. Ia bangkit dari duduknya.

"Oma tau, nggak? Ustad Fikri di pondok pernah bilang, 'Orang yang memandang rendah orang lain, tidak akan pernah membuatnya menjadi lebih tinggi. Yang ada justru membuatnya makin hina.' dan Fikri pikir, itu ada benarnya."

Oma terdiam saat remaja itu berlalu dari hadapannya.

🕊

Dua hari setelah pembicaraan tersebut, Fikri tak pernah lupa. Di mana papanya meminta izin untuk menikahi janda satu anak tersebut. Berunding di teras sambil membiarkan angin malam merasuki pori-pori, memohon kepada dua anaknya untuk tidak memberi tahu Laura perihal pernikahan itu. Sebab katanya, Ahmad akan menceraikan janda itu setelah Oma tiada.

Masalahnya adalah, siapa yang tahu umur seseorang? Papanya berbicara seperti itu seakan sudah memprediksi kapan umur Oma terputus dari dunia.

"Papa begini demi mama kalian. Demi kalian juga. Papa nggak bisa dengar kalian dihina, apalagi kalau Oma sampai ngata-ngatain mama kalian. Jadi tolong, jangan kasih tau Mama."

Elea dan Fikri diam, tidak ada yang merespons lebih baik daripada desau angin malam. Udara sejuk mengambil alih, berperan membuat mereka melakukan gerakan-gerakan kecil sekadar merapatkan jaket.

Saat Ahmad mengatakan alasan selanjutnya, Fikri memutuskan masuk. Tidak ada yang lebih masuk akal dari alasan seseorang melakukan segala hal demi cinta. Tidak ada.

🕊

"Hei. Ngelamun mulu."

Fikri mengerjap. Di sebelahnya, Mbak Elea duduk sambil mengurut pinggang. Kehamilannya sudah mencapai tujuh bulan, tak heran jika perempuan itu sudah mulai sering lelah.

Kembali ke masa lalu sering membuat bungsu dari dua bersaudara itu berkelana jauh. Dicoba berulang kali memaknai satu hal yang sama, mengaitkannya dengan kehidupan yang dijalani. Cinta. Ia tak kunjung mampu mendeskripsikan kata itu. Tentang kata yang menurut orang lain suci, tetapi sering digadaikan demi mencapai hasrat pribadi.

"Beliin koyo cabe, dong. Mas Harsa malam ini nggak pulang, nggak ada yang pijitin badan Mbak."

"Yang cabe, Mbak? Itu panas banget. Yakin?"

"Emangnya panas banget, ya?"

Fikri menepuk kening.

"Yang biasa aja, ya. Ntar kalau Mbak kenapa-kenapa, Mas Harsa repot."

"Ya, jangan repotin Mas Harsa. Kan ada kamu," bantah Elea sambil terkekeh.

"Mas Harsa lebih bebas, Mbak."

"Kamu juga, tuh. Kan Mbak lebih lama sama kamu dibanding Mas Harsa." Elea mengerling, menggoda Fikri, membuat adik laki-lakinya bergidik.

"Geli," seloroh Fikri. Dipacunya langkah dan meraih kunci motor untuk segera memenuhi permintaan Mbak Elea.

"Fik! Sama es dawet satu, ya!" teriak Elea sebelum Fikri menghilang di balik pagar.

Satu bulan berlalu sudah. Afra beberapa kali masih menyapa Fikri lewat pesan singkat yang jarang dibalas. Fikri cukup tahu diri untuk tidak berkomunikasi terlalu dekat dengan istri orang. Ia tidak ingin terlibat di setiap kemungkinan buruk antara Afra dan Zidan.

Pasalnya, Afra selalu mempertanyakan hal yang tidak dipahami oleh lelaki itu. Masihkah Mas Fikri mengingat Afra? Apa benar selama ini Mas Fikri mencintai Afra? Bisakah Mas Fikri kembali untuk Afra?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuatnya muak. Ia muak kepada dirinya sendiri. Ia muak sebab terpengaruh oleh masa lalu di saat Elea bisa menerima semuanya dan tumbuh bersama cintanya. Ia tidak suka ketika seseorang menjadi buta, tuli, dan mati sebab cinta, seperti yang dilakukan Afra.

"Paman!"

Fikri menunduk, mendapati seorang anak perempuan dengan seragam taman kanak-kanak berlari ke arahnya. Rambut yang diikat dua di samping bergoyang seiring langkah yang tampak bersemangat itu. Ia merentangkan tangan, berlari menuju Fikri lantas memeluk lututnya.

"Kok Paman ke sini?" tanyanya.

"Mama minta dibeliin es dawet. Eca kok di sini? Pergi sama siapa? Jam segini belum pulang, dicariin Mama, tuh," celetuk Fikri. Chesa tersenyum lebar.

"Kok sama? Tadi kata Ibu Faza, Mama juga minta tolong dibeliin es dawet, sekalian nganterin Eca pulang," seru Chesa.

"Oh ya? Jadi ini Eca pulangnya bareng Ibu Faza?"

Gadis cantik itu mengangguk.

Kenapa Mbak Elea nyuruh aku kalau udah minta tolong sama Mafaza? batin lelaki itu bertanya-tanya. Pasalnya, dari sekian gerobak yang menjual es dawet, mereka bertemu di titik yang sama. Fikri tahu persis tempat langganan Elea, sedangkan Faza?

"Chesa, udah selesai, nih. Yuk, balik—eh? Mas Fikri?" Faza membeku di tempat dengan tangan yang masih menenteng dua bungkus es dawet. Dikiranya, Chesa sedang berbicara dengan orang yang tak dikenal, ternyata Fikri.

"Chesa pulang sama saya aja."

"Eh, tapi aku juga disuruh mampir ke rumah Mbak El untuk ngenterin ini."

"Cuma itu, kan? Sini, titip sama saya aja." Fikri mengulurkan tangan yang juga sedang memegang satu plastik berisi sebungkus es dawet.

"Loh? Beli juga?"

"Ya, untuk Mbak Elea juga."

"Loh? Kok barengan?"

"Saya juga bingung."

"Ya udah, nih, titip. Sampein salam ke Mbak El. Chesa pulangnya bareng Paman, ya?"

"Sama Ibu aja. Paman bawa motor, sekarang panas banget," keluh Chesa.

"Ayo, Cha, jangan repotin Ibu Faza."

"Ih, tapi maunya sama Ibu Faza aja, deh. Enak tau, naik mobil."

"Kan naik mobil panas juga," bantah Fikri.

"Beda, Paman. Kalau angkot panas, kalau mobil ini enggak."

"Ayo, Faza. Udah selesai? Yuk, Chesa, pulang sekarang."

Dia siapa?

Fikri menatap sosok itu lamat-lamat. Rasanya, ia tak pernah bertemu lelaki tersebut. Pacar baru Faza? Apa mungkin?

"Masnya kenalan Faza? Mau ikut bareng kita aja?"

"Nggak." Tanpa aba-aba, Fikri langsung membalikkan badan.

🕊🕊🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro