Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teori 09

Cinta hanyalah istilah belaka.

(Al-Ghazali)

🕊

Fikri memarkirkan mobil di pelataran masjid tepat ketika azan zuhur selesai dikumandangkan. Faza memandang sekeliling, ramai. Masjid jamik ini memang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang bekerja dan dalam perjalanan karena terletak di tengah-tengah kota. Lokasinya strategis.

"Salat."

"Susah," jawab Faza.

"Cepat."

"Dibilangin susah, juga," gerutu Faza.

Tas kecil yang diselempangkan di bahu kirinya tak terdapat pembersih make up.
Gadis itu tidak kepikiran untuk membawanya. Yang teringat hanya tisu, dompet, dan ponsel hingga hanya tiga benda itu yang dibawa. Memang, polesan di wajah Faza termasuk tipis. Namun, ia tak akan nyaman jika harus salat tanpa memastikan make up-nya bersih sempurna.

Fikri melirik Faza dari kaca spion depan. Gadis itu asyik merutuk berulang kali. Sebenarnya ia tahu untuk gadis yang memakai make up, salat di tempat umum adalah satu dari sekian hal yang bikin ribet. Namun, menurutnya polesan di wajah Faza akan mudah hilang walaupun tidak memakai pembersih seperti micellar water sekalipun.

Terlebih, ia ingin memberi jeda untuk diri sendiri. Afra dan air matanya masih terbayang di kepala Fikri. Wajah Zidan yang berdiri berdampingan dengan Afra pun ikut-ikut terseret ke dalam pikirannya. Lelaki itu, dilihat dari segi mana pun memang lebih unggul dari Fikri. Ia menyadari hal tersebut.

"Langsung pulang aja, deh. Baru selesai azan, juga. Masih sempat salat di rumah," ujar Faza. Fikri menggeleng.

"Lagi di sini, jangan ditunda."

Faza mencebik.

"Mas Fikri aja, langsung salat sana. Aku bisa tungguin, kok. Ntar aku salatnya di rumah aja."

Fikri terdiam sebentar. "Saya nggak salat."

Faza tertegun. Alunan ikamat sudah digemakan, tetapi gadis itu sibuk memikirkan arti dari ucapan Fikri yang menimbulkan banyak kemungkinan. Nada datarnya, ekspresi wajah yang kusut, serta pandangan yang dialihkan ke luar jendela membuat Faza urung bertanya hal lain.

"Ya udah, tapi jangan salahin kalau lama, ya." Faza membuka pintu, keluar buru-buru.

Ya, gadis itu juga tahu kalau Fikri butuh waktu. Banyak hal yang membuat Faza bingung, ingin ditanyakan. Namun, ia masih bisa menahannya. Orang yang baru saling mengenal, bukankah tidak sopan menanyakan banyak hal?

"Ya."

🕊

Laura dan Ahmad sepakat agar memberi nama anak mereka sesuai gender. Jika perempuan, maka yang memberi nama adalah ibunya, begitu pun sebaliknya. Selebihnya, mengenai kepercayaan yang dianut oleh anak-anak mereka kelak ketika sudah mengerti, mutlak menjadi pilihan mereka.

Siapa sangka putra putri mereka memilih untuk ikut keyakinan berdasarkan pilihan nama? Eleanor Liora, memegang kepercayaan yang sama dengan Laura. Fikri Atqanul Aqil, menggenggam erat dogma yang diwarisi ayahnya. Tak ada niat dalam sukma untuk mengubah identitas indah pemberian kedua orang tua mereka. Tumbuh dalam nama, tumbuh sebagai doa.

Menjadi taat dalam memegang bara api di tangan sendiri, walau hidup dalam lingkup perbedaan yang menonjol. Tak pernah ada kasta, toleransi menjadi makanan sehari-hari. Bahkan keluarga kecil mereka biasa mendiskusikan berbagai hal berdasarkan sudut pandang agama masing-masing. Saling menghormati, tidak ada yang merasa lebih benar lantas menghakimi sisanya.

Dua windu hidup dalam keberagaman, membuat dua anak insan itu lebih bisa menerima segala hal yang bertentangan. Elea dengan sikap positifnya dan Fikri dengan kemampuan berpikir yang mendalam tak pernah merasa lebih unggul dari yang lainnya. Di rak, Alkitab dan Al-Qur'an diletakkan berdampingan.

Fikri tak mempermasalahkan trinitas secara terang-terangan. Elea juga tak memperdebatkan tauhid secara zahir. Bukan karena hendak mencampurkan yang hak dan batil, atau jatuh pada hal mutasyabihat. Namun, karena mereka saling menjaga hubungan horizontal sesama manusia.

Laura dan Ahmad benar-benar berhasil mendidik dua manusia itu dan mencapai visi mereka dalam pernikahan. Memanusiakan manusia, merangkul perbedaan, berjalan bersama tanpa merasa salah satunya paling benar. Menurut Fikri, semua hal itu terjadi sebab cinta.

Cinta Papa kepada Mama. Cinta Tuhan kepada mereka. Namun, jika mereka akhirnya berpisah sebab tak sama, siapa yang mesti disalahkan? Siapa yang paling benar? Siapa yang harus diikuti?

Terlebih, apa makna cinta itu sendiri? Fikri tidak mengerti. Mengingat masa lalu yang indah sebagai memori tak kunjung membuatnya paham.

Fikri menyandarkan punggung, meletakkan tulang hasta di atas kening. Menekan semua pikiran yang menggelayut.

Cinta itu apa?

Sampai sekarang belum ada yang memberinya jawaban memuaskan. Kata Elea, cinta itu sayang. Cinta itu alasan bertahan. Ah, apakah benar demikian?

"Halo! Ya Allah, hei! Sakaw apa, yak?"

Fikri tersadar ketika mendengar ketukan di jendela mobil. Faza sudah di sana dengan wajah masam. Lelaki itu tak menyadari bahwa sejak lima menit, Faza sudah mengetuk jendela sebelahnya. Alam bawah sadar membawanya berkelana hingga jauh.

Faza sudah menghapus riasan. Hijabnya juga diubah menjadi bentuk paling sederhana. Aslinya, gadis itu tetap cantik walau tanpa make up. Fikri membuka kunci pada pintu mobil.

"Mikirin Mbak Afra?"

"Nggak."

"Bohong. Eh, iya. Bentar, aku mau beli sesuatu."

Baru menyentuh jok, Faza bangun lagi. Ia pergi secepat kilat entah ke mana. Fikri mendengkus. Gadis itu sering kali bertindak sesuka hati.

Lima menit kemudian, ia kembali dengan menenteng kresek biru. Fikri lekas menghidupkan mesin mobil setelah Faza duduk tenang.

"Nih, buat orang yang lagi stres." Faza menyodorkan es krim rasa vanila kepada lelaki yang tengah fokus keluar dari parkiran.

"Saya nggak stres."

"Ya udah, putus cinta," ralat Faza.

Fikri bergeming. Tak dipedulikan lengan Faza yang sudah beberapa detik menyodorkan sebungkus es krim. Lelaki itu sedang sibuk dengan pikirannya.

"Ya Allah, aku dicuekin. Ambil nih, harusnya Mas Fikri yang traktir, karena aku bantuin hari ini. Itung-itung Mas Fikri yang lagi patah hati, nggak apa-apa, deh, aku yang traktir. Ish, nggak denger, apa? Nih---"

"Woi!" seru Fikri spontan ketika pipinya ditempeli kemasan es krim. Mendadak tempat itu terasa beku dan kebas.

Faza mendengkus. Memang harus begitu agaknya menyadarkan Fikri yang asyik tenggelam dalam lamunan. Untung saja lelaki jangkung itu tetap memerhatikan rambu lalu lintas dan tidak mengebut.

"Saya nggak suka vanila."

"Yah, harusnya tadi aku ambil rasa cokelat aja, ya?"

"Nggak suka cokelat juga."

"Stroberi?"

"Boleh."

"Eh, tapi nggak bisa! Aku juga suka stroberi. Cokelat enek, vanila terlalu legit. Lidahku rasanya jadi lengket." Faza lekas mengamankan es krim di dalam kresek biru.

"Saya nggak minta es krim kamu."

"Ya, aku juga nggak niat kasih kalau Mas Fikri maunya yang stroberi."

Fikri melengos. Faza menarik tangannya lagi, menyimpan es krim rasa vanila ke dalam plastik. Ia berencana membawa pulang saja untuk diberikan kepada Mas atau Mbak di rumah. Jika meleleh saat sedang di perjalanan, bisa dibekukan kembali walaupun nanti hasilnya tidak lebih rapi dari bentuk semula.

Sepanjang perjalanan, mereka berdua diam saja. Faza tidak berminat buka suara, takut menyinggung Fikri. Lelaki itu belakangan jarang bersuara. Ah, atau memang ia tidak suka bicara?

"Mas Fikri! Eh, eh, eh! Lewat, Mas. Rumahku, loh, udah lewat!" jerit Faza tertahan.

Fikri berjengit. Spontan saja kakinya menginjak rem hingga tubuh mereka sama-sama terpental sebab aksi mendadak tersebut. Untung saja dua orang tersebut tidak sedang berada di jalan raya. Tiba-tiba mengerem di jalan umum bisa menyebabkan kecelakaan beruntun.

"Duh, hati-hati. Bahaya, tau, ngerem kayak tadi. Lagian ngelamunin apa, sih? Dari tadi juga udah aku setop, tapi nggak didengerin. Hati-hati, dong. Kalau nyetir, mbok, ya, fokus," omel Faza. Gadis itu masih mengurut dada, syok. Untung selamat.

Lelaki itu mengusap wajah gusar. "Kelewatan berapa meter?"

Faza melirik ke belakang, memperkirakan. Ini bahkan bukan lagi wilayah rumahnya. Kira-kira sudah 200 meter di depan.

"Nggak tau, nggak ngitung. Pokoknya jauh."

"Sebentar, saya putar balik."

"Nggak usah. Jalan aja dikit lagi, ke Taman Pelangi aja kita," sergah Faza.

"Saya janji sama Abah tuh langsung anterin kamu pulang."

"Nggak usah khawatir kalau sama Abah, mah." Faza mengibaskan tangan.

Fikri menurut. Ia mengemudikan mobil menuju Jalan Ahmad Yani. Sebenarnya ia ingin langsung pulang saja, tidur sampai sore dan malamnya memeriksa tugas mahasiswa. Menyibukkan diri adalah opsi terbaik menurutnya agar tidak memikirkan Afra. Namun, ia merasa tak ada salahnya mengikuti maunya Faza.

Mereka sampai di sana sepuluh menit kemudian. Faza langsung keluar, menghirup udara. Langit sedikit kelabu, jadi cukup untuk menjernihkan udara siang ini.

Lokasi kesukaan Faza. Ia biasa menghabiskan waktu ke sini, entah seorang diri atau bersama seseorang yang ... ah, gadis itu menolak untuk mengingatnya. Gemericik air mancur bisa membuatnya sedikit lebih tenang setelah menyapa hiruk pikuk kota Surabaya.

Belum ramai pengunjung, sebab orang-orang kebanyakan memilih waktu sore dan malam untuk merehatkan pikiran dan badan di taman ini. Di saat-saat itu memang taman menjelma dua kali lipat lebih indah. Faza mengitari atensinya, mencari posisi duduk yang strategis. Tak butuh waktu lama, matanya yang sudah terbiasa langsung menemukan target.

Fikri mengikuti langkah Faza yang berhenti di depan bangku panjang di bawah pohon. Duduk di sana, Faza di ujung kanan, Fikri di ujung kiri. Jika dihitung, jarak mereka sekitar dua hasta orang dewasa.

Lelaki jangkung dengan rahang kokoh itu mendongak, menyandarkan tubuh di sandaran bangku panjang. Dipejamkan mata sesaat, menarik dan menghela napas panjang berulang kali. Angin sepoi menyapa tubuh, memainkan rambut yang jatuh di dahinya. Sejuk.

"Mbak Afra pasti bahagia sama Mas Zidan," celetuk Faza. Gadis itu bukan tidak memerhatikan ekspresi Fikri. Sejak pulang dari acara Afra, keningnya selalu mengkerut. Fokusnya berkurang, bahkan ia sampai lupa berhenti tepat di depan rumah Faza.

"Nggak ngerti."

"Nggak ngerti apa?"

"Afra harusnya nggak ngomong kayak gitu. Afra harusnya bisa nerima keadaan. Dengan saya bawa kamu ke pernikahannya, harusnya dia tau kalau saya serius. Dia nggak perlu memperlihatkan air matanya."

Faza mendengar dengan saksama. Posisi mereka yang berjarak, membuatnya harus konsentrasi penuh menangkap kalimat-kalimat yang keluar lirih dari sang empu. Desau angin kadang mengacaukan fokus gadis itu, tetapi ia berusaha untuk tetap mengikuti perkataan Fikri.

"Saya nggak seharusnya mencintai gadis yang sudah jadi istri orang."

"Ya, bener. Memang nggak seharusnya. Ntar dapet gelar gratis. Pebinor, perebut bini orang," respons Faza.

"Dan dia nggak seharusnya ngomong masih mencintai saya di depan suaminya."

Faza melirik sosok yang duduk berdampingan dengannya. Rambut yang awalnya tersugar rapi kini sudah sedikit acak-acakan di bagian depan. Lelaki itu meletakkan lengan di atas dahi, menekan beban.

Fikri diam di tempat. Matanya masih terpejam, terlihat syahdu menikmati embusan bayu. Bahkan Faza mengira lelaki itu sudah terlelap, padahal tidak.

"Faza?"

Mendengar intonasi yang tak asing ketika namanya dipanggil, gadis itu langsung menolehkan kepala ke sumber suara. Untuk beberapa detik pertama, gadis itu terpaku. Memori lama memaksa untuk menguar seiringan munculnya lelaki berbalut kemeja dan bertopi hitam.

Sesaat sebelum air matanya mencuat, gadis itu bangkit. Ditariknya lengan baju Fikri hingga lelaki itu terbangun paksa. Meski sedikit bingung lantaran dipaksa pergi tanpa kata, ia ikut saja.

"Faza! Tunggu, aku mau bicara!"

🕊🕊🕊

Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro