Teori 08
Sumbatlah telinga nafsumu yang bagai kapas menutupi kesadaranmu dan membuat tuli telingamu.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Setelah menghabiskan tiga puluh menit di jalan, mereka akhirnya sampai di tujuan. Tenda-tenda berdiri kokoh, didominasi warna abu-abu dan dongker, seirama dengan kertas undangan yang dibagikan Afra dua minggu lalu. Acara resepsi diadakan di sebuah pondok pesantren, tempat ayahnya Zidan mengelola santri.
Beragam nyanyian dalam bahasa Arab maupun Amiyah disenandungkan. Dari luar, sahut-sahutan nada yang mengalun indah itu sudah terdengar jelas. Chesa celingak-celinguk, menatap situasi dari luar. Gadis kecil itu sangat antusias. Sesekali ia berjinjit riang, nyaris saja kepalanya menabrak atap mobil.
"Duh, Mbak nggak usah masuk aja, kali, ya?" Faza mengalihkan perhatiannya pada Elea. Wajah perempuan itu tampak gusar.
"Kenapa, Mbak?"
"Anu ... ini kan, pondok pesantren. Lah, Mbak malah nggak pakai jilbab. Lagian Fikri, sih! Kenapa nggak bilang kalau acaranya bukan di rumah Afra?" Elea langsung menuding Fikri.
"Kan di undangan ada alamatnya. Mbak nggak lupa kalau di sana bukan tertulis alamat Afra, kan?"
"Mana sempat ngecek, keburu kaget karena dadakan," protes Elea. "Harusnya tadi nggak perlu repot-repot nyalon, ngurus rambut. Kan Mbak bisa pakai pashmina, kayak Faza," lanjutnya.
Memang aneh dan tidak biasa jika perempuan tidak berhijab masuk ke dalam area pondok. Apalagi, wilayah santri putra lebih dominan dijadikan sebagai tempat berlangsungnya acara. Santri-santri itu tampak lalu lalang. Beberapa memakai seragam abu-abu, sisanya berbaju koko dan bersarung.
Sesaat, Fikri merasakan seperti sedang kembali ke masa-masanya menuntut ilmu. Tempat seperti ini selalu kental akan nuansa islami, membuatnya betah menghirup napas lama-lama di sana. Membawa kitab, memakai peci hitam, dan mengeratkan sarung di pinggang. Ciri khas yang jarang ditemukan kecuali di pondok pesantren.
Ah, nyatanya menuntut ilmu pun tidak membuatnya memahami arti cinta. Perbedaan yang dari dulu dipuja membawa lelaki itu pada ketidakpercayaan pada doktrin yang selalu dianut. Tidak ada yang mengetuk hatinya, meski bait-bait kitab memenuhi kepala. Dia patah setelah tumbuh tinggi.
"Mas Fikri, halo! Hei, ngelamunin apa? Mbak Afra?"
Fikri mengerjap ketika suara Faza terdengar dekat di telinga. Bulu kuduknya sampai merinding karena kehadiran gadis itu yang tiba-tiba berada di dekatnya. Fikri menggeleng, menjauhkan kepalanya sedikit. Lelaki itu saking dalamnya bernostalgia, sampai lupa bahwa ia harus menerima kenyataan baru.
Ia bergegas membuka pintu. Saat menjemput Faza, sudah telat tiga puluh menit bahkan lebih. Waktu yang digunakan saat menempuh perjalanan juga terkuras tiga puluh menit. Agaknya ia harus turun sekarang. Cepat-cepat memberi ucapan selamat dan langsung minggat.
"Ayok, Mbak." Faza menggenggam punggung tangan Mbak Elea.
"Ng ... anu ...."
"Mama, ayo!" seru Chesa.
"Eh? Mama di sini aja, deh."
"Loh, kenapa?" Gadis kecil itu mengerucutkan bibir.
"Karena Mama nggak pakai jilbab, Sayang."
"Kalau nggak pakai jilbab, nggak boleh masuk?"
Elea mengangguk. Ia tidak mungkin mengajarkan soal toleransi beragama saat ini kepada Chesa. Umurnya masih lima tahun dan sekarang mereka sedang tidak berada di rumah. Mungkin, sepulangnya nanti atau suatu saat ia bisa mengajarkan putri kecilnya.
"Yah! Eca juga nggak pakai. Nggak boleh masuk, dong?" Wajah Chesa menggembung. Kepalanya tertunduk, sedih.
"Eca boleh, karena Eca masih kecil," sangkal Elea.
"Mama nggak boleh karena udah besar? Kenapa beda-beda? Kan, Mama sama Eca sama-sama nggak pakai jilbab kayak Ibu Faza."
Gadis kecil itu tampaknya sedang dalam masa aktif bertanya. Faza tanpa sadar menarik ujung bibirnya hingga membentuk lengkungan simetris. Chesa memang anak pintar. Elea menghela napas panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada sang putri.
"Mama dan Chesa bisa ikut, kok, tapi ada caranya." Faza mengambil alih pembicaraan, membuat gadis kecil itu mendongak menatapnya dengan mata berbinar.
"Apa, apa? Apa caranya, Ibu Faza?"
"Jalannya harus bareng Ibu. Pegang tangan Ibu kuat-kuat, nah, masuk, deh. Nggak akan Ibu lepas."
Chesa urung bersemangat. Wajahnya cemberut lagi. "Ibu Faza pakai jilbab, boleh masuk. Eca sama Mama enggak. Masa cuma pegang tangan udah bisa masuk?"
Faza mengangguk cepat. "Ibu boleh masuk, jadi Ibu boleh bawa masuk siapa aja. Terserah, pakai jilbab atau enggak. Ya, tapi syaratnya itu harus deket-deket sama Ibu, jangan jauh-jauh," balas Faza lembut, memberikan perhatian sepenuhnya pada gadis kecil dengan gaun marun tersebut.
Wajah Chesa langsung berbinar kembali. Diliriknya Elea yang juga terpaku pada kalimat Faza. Gadis itu, bagaimana bisa mengatakan hal demikian tanpa mempertimbangkan apa pun? Bagaimana jika mereka diusir? Bagaimana jika gadis itu mendapat malu sebab dituding membawa-bawa seorang wanita yang tidak berkerudung?
"Ayo, Mbak. Aku nggak akan ninggalin Mbak." Faza mengulurkan tangan.
Awalnya Elea ragu, tetapi netra hazel terang yang bening itu meyakinkannya untuk menyambut uluran gadis cantik tersebut. Faza tersenyum saat Mbak Elea perlahan keluar dari mobil.
"Jangan nunduk, Mbak. Mbak bebas untuk lihat ke depan, ke mana aja," kata Faza.
"Eng ... nggak bisa, soalnya-"
"Kita semua sama, kok, Mbak."
Elea akhirnya mengangkat pandangan. Ia mengamit lengan kanan Faza, sedangkan tangan kiri gadis itu menggandeng jemari mungil Chesa. Segala hal kecil yang terjadi itu tak lepas sedikit pun dari perhatian Fikri. Ia seolah teralihkan dari rasa sesaknya saat melihat tenda-tenda dan keramaian.
Lelaki itu membiarkan tiga wanita berjalan di depannya. Ia akan melindungi dari belakang. Faza benar-benar tidak melepaskan pandangannya pada dua perempuan beda generasi itu. Saat orang-orang menatapnya, ia tak ambil pusing. Bahkan, gadis itu dapat mengalihkan perhatian Chesa dan Elea dengan cepat.
Mafaza itu ... benar-benar aneh, batinnya.
🕊
Faza celingak-celinguk mencari keberadaan Fikri. Karena tenda akhwat dan ikhwan berbeda, mereka sudah terpisah dan Faza tidak menyadari entah kapan. Dari tadi ia sibuk menenangkan Mbak Elea dan menemani Chesa mengambil snack yang diinginkan.
Mbak Elea dan Chesa sudah pulang, mereka bertemu Mas Harsa beberapa menit yang lalu. Mungkin suami Mbak Elea tahu bahwa istrinya merasa tidak nyaman, jadi ia membawa istri serta anaknya keluar untuk menenangkan pikiran. Lagi pula, Mbak Elea juga bilang kalau ia lumayan pusing beberapa menit terakhir. Bahkan mereka belum sempat menyapa Afra.
Karena bingung harus ke mana, Faza memutuskan untuk keluar, menunggu di depan gerbang pondok. Ajaibnya, di sana ia bertemu Fikri. Pandangan tajam itu juga tengah celingak-celinguk.
"Udah?" Faza yang menghampiri Fikri duluan dari belakang. Cowok itu berjengit kaget.
"Saya belum jumpain Afra."
"Lah, kirain udah. Kenapa? Takut sakit hati, ya? Cemburu?" Faza mencibir. Seingatnya, Fikri yang memutuskan untuk pergi, tetapi lelaki itu malah belum menemui Afra. Padahal matahari sudah menempati posisi tepat di atas ubun-ubun. Acaranya sebentar lagi akan selesai.
"Nungguin kamu," jawab Fikri pendek.
"Tinggal masuk aja, sih, ngapain nungguin aku?"
"Nggak lupa, kan, kalau kamu datang ke sini untuk bantu saya?"
"Ish! Halus dikit, kek, bilangnya. Merasa kayak diperlakukan seperti budak aku tuh," gerutu Faza.
Fikri melengos. "Bisa langsung aja sekarang?"
"Males banget."
"Ck. Biar cepat selesai."
"Bilang baik-baik, makanya."
"Ayo, bantu saya."
"Ish, bukan gitu bilangnya. 'Ayo, Faza, temani saya untuk nyapa Afra dan suaminya.' Gitu."
"Ayo, Mafaza, temani saya untuk nyapa Afra dan suaminya." Fikri menurut saja, langsung membalikkan badan setelah mengucapkan kalimat tersebut. Ia gerah lama-lama berada di kerumunan.
Faza tertawa renyah, menampilkan gingsul yang memperindah pahatan wajahnya. Gadis itu kemudian mengangguk, balik badan mengikuti langkah Fikri. Ia nyaris kehilangan jejak sebab langkah lelaki itu panjang-panjang. Untungnya, mata Faza cukup jeli.
Fikri dan Faza menaiki panggung pendek, mengantre untuk menyapa pengantin baru tersebut. Sebab sudah siang, tak banyak lagi yang datang memberi selamat.
"Selamat. Semoga bahagia."
"Aamiin, allahumma aamiin. Terima kasih banyak." Bukan Afra yang menjawab ucapan dari Fikri, melainkan Zidan. Afra hanya diam menatap Fikri.
Sepersekian detik kemudian, air mata Afra meluncur jatuh. Ia masih belum bisa melupakan Fikri hingga saat ini. Bahkan secara terang-terangan, ia mengatakan hal itu kepada Zidan dua jam setelah akad kemarin pagi. Anak kiai tersebut menanggapi dengan senyum, tidak protes. Jika tidak bisa meluluhkan hati dengan cinta, maka bisa dengan doa.
Isaknya makin deras. Faza yang berdiri di depan Afra merasa serba salah. Haruskah memeluk gadis itu? Atau mengelus punggungnya? Faza takut Afra merasa risih lantaran mereka belum begitu kenal dekat. Faza juga sadar diri untuk tidak melakukan banyak hal. Ia ke sini hanya untuk membantu Fikri.
"Kalau dia nangis, tolong dipeluk erat-erat. Kalau dia menolak pun, tolong jangan pernah pergi. Dia mudah nangis, jadi tolong jaga perasaannya. Selama ini saya nggak pernah nyentuh dia secara langsung, tapi dia selalu bilang kalau cukup ada di sampingnya, dia sudah bersyukur. Semoga Anda memperlakukannya sebaik mungkin."
Ada getaran halus di nada bicara Fikri. Mendengar hal itu, hati Faza terketuk. Bahkan gadis itu ikut meneteskan air mata. Kalimat Fikri begitu dalam dan penuh makna.
Afra makin bingung bagaimana cara menghentikan laju air matanya yang kian menderas. Makin dilihat, wajah Fikri makin memenuhi kepala. Jahat sekali rasanya mengabaikan Zidan sebab pikirannya terpaut oleh Fikri. Namun, gadis itu bisa apa?
Faza menyerahkan sapu tangannya untuk Afra. Sesaat sebelum menerima, gadis dalam balutan baju pengantin itu menatapnya lama. Faza kurang mampu menyimpulkan arti tatapan tersebut. Sendu, putus asa, dan agak ... sinis. Gadis itu segera menepis pikiran buruk tentang Afra yang tidak sengaja terlintas di benaknya.
"Jangan nangis karena saya lagi. Saya nggak lebih baik dari suamimu," celetuk Fikri tiba-tiba. Dari tadi, ia bukan tidak memperhatikan wajah Afra yang berlinang air mata.
"Jadi, apa Faza lebih baik daripada Afra, Mas?"
Faza, Fikri, dan Zidan terhenyak. Tak menyangka Afra akan mengucapkan kalimat tersebut secara terang-terangan.
"Kenapa ... kenapa secepat itu Mas Fikri nemuin pengganti? Kenapa secepat itu berpaling, seakan-akan kita nggak pernah saling kenal? Kenapa secepat itu lupa kalau aku cinta sama Mas Fikri? Bahkan sampai sekarang, aku masih cinta," seru Afra frustrasi. Fikri mengusap wajah kasar.
Rasanya ia ingin menjawab, bahwa Faza tidak ada hubungannya dengan berakhirnya kedekatan mereka. Faza hanya orang baru yang kebetulan diajak sekadar untuk memenuhi permintaan Afra agar Fikri datang bersama seseorang.
Lelaki itu hanya ingin menegaskan bahwa ia serius dengan keputusannya dan sudah merelakan Afra. Fikri cuma ingin memperlihatkan bahwa ia bisa bahagia, walaupun sebenarnya belum mencapai titik ikhlas. Ia tidak ingin Afra berlarut-larut hingga binasa. Bagaimanapun, ada seseorang yang menjadi surganya saat ini dan itu bukan Fikri.
Kalimat itu tak diucapkan. Fikri tidak berminat untuk bicara panjang lebar. Tenggorokannya sudah kerontang. Jika berucap, maka napasnya akan tercekat.
"Maafin Afra, ya."
Faza dan Fikri mengangguk ketika Zidan mengambil alih situasi tak enak tersebut. Betapa besar hatinya, meminta maaf atas kesalahan seseorang yang sudah tentu menyakiti perasaannya.
"Ayo, pulang."
Faza mengangguk. "Mbak, aku minta maaf sekiranya Mbak sakit hati dan punya prasangka buruk terhadapku. Semoga bahagia untuk sekarang dan seterusnya, ya, Mbak. Assalamu'alaikum."
🕊🕊🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro