Teori 06
Hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta seolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum akhirnya kita menyerah.
(Chairil Anwar)
🕊
"Assalamu'alaikum."
Bertepatan dengan berseroboknya atensi Fikri pada netra hazel terang milik Faza, suara Afra terndengar memasuki ruangan.
"Wa'alaikumussalam." Hanya Faza yang menjawab.
Afra masuk, menyalami Elea. Gadis itu sempat menatap Faza dengan kening mengernyit. Pandangannya kemudian dialihkan kepada Fikri yang menunduk, menolak melirik gadis bergamis abu-abu itu.
"Eca? Baru pulang?" Daripada membiarkan suasana canggung, Afra menyapa Chesa yang sedang sibuk menggigit permen. Anak itu mengangguk, tidak menjawab Afra.
"Mbak, aku---"
"Faza duduk dulu, jangan buru-buru balik. Mbak belum bikinin minum, loh. Kebetulan ada Afra juga, jadi bisa sekalian bikin. Sebentar, Mbak ke dalam dulu. Jangan kabur, loh, ya. Ca, yuk, ganti baju."
Chesa mengikuti langkah mamanya, meninggalkan tiga orang di ruang tamu dalam hening. Fikri dan Afra sama-sama diam, tidak menciptakan dialog apa pun. Kebekuan itu menular, ikut membuat Faza tegang.
Atmosfer ruangan agaknya ikut menurun. Bahkan, kaki Faza terasa dingin saat ini. Dua orang yang bersebelahan dengannya masih saja betah berlama-lama dalam kebekuan. Apa tidak ada yang bisa dijadikan obrolan? Tentang cuaca yang suka berubah-ubah belakangan ini, misalnya.
"Anu ...." Faza hendak menyusun kata-kata, tetapi tak ada yang membentuk unsur kalimat di kepala untuk diungkapkan. Ia tak pernah suka suasana canggung. Terlebih lagi, dua orang di sekitarnya ini tampak saling menghindar.
"Kenalin, Afra. Namamu siapa?" Afra mengulurkan tangan lebih dulu.
"Faza, Mbak," jawab Faza sambil memberikan senyum perkenalan yang begitu manis. Afra membalas senyuman itu.
Elea belum kembali walau sudah berlalu sepuluh menit. Hal tersebut membuat tiga orang yang duduk berdampingan itu serba salah. Afra hendak berbicara, tetapi tidak enak sebab ada Faza di dekat mereka. Fikri merasa tak nyaman jika harus berlama-lama duduk bertiga tanpa adanya pembicaraan.
Faza? Sungguh, jika bisa, ia memilih balik ke kamar mandi saja. Jika Elea tidak memintanya untuk tetap tinggal sebentar sebab akan disuguhi minuman, ia akan pulang sekarang. Lagi pula, ia juga harus menunggu angkutan umum.
"Faza kenal Fikri di mana?" tanya Afra.
"Di kafe, Mbak."
"Oh, udah lama?"
"Afra," tegur Fikri. Afra melirik lelaki itu sekilas, lantas tersenyum canggung.
"Aku cuma mau kenalan, kok. Lagian nggak enak juga kalau cuma diem-dieman, kan, Faza?"
"E---eh, iya."
Harusnya mereka bertiga bisa saling lega sebab akhirnya ada yang buka suara. Namun, nyatanya tidak begitu. Afra sibuk dengan pertanyaan yang berseliweran di kepala. Fikri sibuk menerka apa maksud ucapan Afra yang terkesan dingin dan seperti sedang menginterogasi Faza. Gadis dengan seragam khas guru TK itu juga duduk canggung, suasananya cenderung tidak mengenakkan.
"Yok, minum dulu. Maaf lama, Chesa malah nggak mau tidur siang. Udah dibilangin, juga."
Fikri bernapas lega ketika Elea datang membawa tabak berisi tiga gelas jus jeruk. Setidaknya, ada sesuatu yang mengalihkan situasi beku dan tidak menyenangkan di antara mereka. Lelaki jangkung itu langsung menyambar gelas ramping tersebut, menenggak isinya sekaligus hingga tandas.
"Haus banget, Fik?" komentar Mbak Elea. Fikri tak menjawab.
Faza dan Afra meraih gelas, minum perlahan. Dua gadis itu masih sama-sama canggung, tampak dari gerakan yang kaku. Elea yang dari tadi memerhatikan tampaknya mulai paham bahwa situasi mereka sedang tidak bagus. Faza yang mengalihkan pandangan berulang kali dan Afra yang menatap kosong ke depan, tak lepas dari perhatian wanita berusia 29 tahun tersebut.
"Udah saling kenalan?"
"Udah, Mbak," jawab Afra dan Faza kompak.
"Wah, bagus, deh. Semoga bisa temenan, ya. By the way, Afra, kok nggak bilang-bilang mau dateng?"
"Ada, kok, Mbak. Afra bilang sama Mas Fikri tadi. Makanya dia pulang lebih cepat sebelum jam ngajarnya selesai."
Mbak Elea menyipitkan mata, menatap Fikri. "Hih, pesan dari Mbak nggak kamu baca, notif Afra langsung dilihat," protesnya.
Fikri meneguk ludah melewati celah kerongkongan yang terasa sempit, lantas tertawa canggung. Mbaknya ini bisa-bisanya membahas hal tersebut langsung di depan Afra. Afra menunduk, sedikit menarik ujung bibirnya membentuk senyuman tipis.
Ternyata Mas Fikri masih peduli sama aku, batinnya. Ada rasa hangat menjalar di dada, tetapi Afra berusaha untuk tetap terlihat dingin.
Afra merogoh tas selempang yang dari tadi menggantung di bahu kirinya. Ia mengambil sebuah undangan dari sana, meletakkan undangan tersebut di atas meja tamu. Kertas cantik perpaduan abu-abu dan dongker itu menggurat nama lengkap Afra dan calon mempelai.
Elea meraihnya, membuka lipatan rapi kertas tersebut. Beberapa detik kemudian, ia terperanjat, wajahnya pias menatap Afra dan Fikri bergantian. Ia terkejut.
Sungguh, adiknya bercerita bahwa ia dan Afra baru saja memutuskan untuk tidak lagi bersama sejak seminggu yang lalu. Barusan, netranya terfokus pada tanggal akad yang tertulis di sana. Dua minggu lagi. Resepsi dilaksanakan dua hari setelahnya. Berusaha tetap terlihat santai, Elea mengukir senyuman.
"Kok cepet banget, Ra?"
"Pernikahan itu nggak boleh ditunda-tunda, Mbak. Itu udah kesepakatan dua pihak, kok. Maaf," jelasnya.
Elea menyodorkan undangan kepada Fikri. Lelaki itu mengambil benda sakral tersebut dari tangan mbaknya. Lima detik kemudian, ia membatu. Sendinya seakan beku. Ia memang sedang berusaha mengikhlaskan Afra, tetapi perjuangannya belum benar-benar membuahkan hasil. Melupakannya tidak mudah dan sekarang, dari rangkaian tanggal yang tersusun, kepingan hatinya mulai berserak lagi.
Bagaimana bisa pernikahan mereka akan dilaksanakan secepat itu? Apakah Afra menyetujuinya? Apa gadis itu sudah melupakannya? Memang, ia tahu bahwa pernikahan memang harus disegerakan. Lagi-lagi, agar tidak terjadi fitnah. Akan tetapi, rentang waktu dua minggu terkesan sangat kilat.
Fikri menghela napas berat. Ditaruhnya kembali undangan bernuansa abu-abu itu di atas meja. Diliriknya wajah Afra yang juga sedang menatap lelaki itu dalam. Sangat dalam. Bahkan Fikri menyadari bahwa ada sedikit likuid yang tergenang di sana.
Melihat respons Fikri yang datar, Afra meloloskan helaan napas panjang. Lelaki itu tidak bicara sepatah kata pun. Ekspresinya juga datar. Di mata Afra, lelaki itu tampak seperti tidak peduli. Padahal, ia berharap lebih.
Faza masih diam di tempat, menjadi patung untuk menganalisis apa yang tengah terjadi. Agaknya ia mengerti posisi dua orang di sampingnya. Gadis yang memakai gamis abu-abu adalah wanita yang diceritakan Fikri tempo hari di kafe. Faza mengingat jelas ketika dengan sendunya lelaki itu berkata, "Bukan cuma kamu yang akan ditinggal nikah."
Faza memperhatikan lamat-lamat garis wajah Afra. Dari matanya, Faza dapat menangkap cinta. Namun, mengapa mereka berpisah? Dari tatapan Fikri yang sedalam samudra dan nada frustrasinya beberapa hari yang lalu, gadis itu juga bisa menyimpulkan bahwa ia menyayangi gadis yang dipanggil Afra tersebut.
Memang, Fikri tidak menceritakan apa pun saat di kafe. Setelah mengucapkan kalimat bukan cuma kamu yang akan ditinggal nikah, ia langsung pergi, menghilang entah ke mana. Saat itu, Faza kesal setengah mati. Lelaki itu seakan ingin bercerita, tetapi memilih untuk menghindar. Padahal, mereka bisa saling berbagi rasa sakit.
Sekarang, Faza mencelos dalam hati. Senyumnya terukir miring. Bagaimana ia bisa berpikir demikian saat mereka berdua tak saling kenal? Memang sudah seharusnya Fikri tidak berbicara padanya magrib itu.
"Kamu nggak apa-apa, Ra?"
"Nggak apa-apa, Mbak. Afra nggak dipaksa, kok." Afra menoleh ke arah Fikri. "Lagi pula, kalau Mas Fikri bisa baik-baik aja, bukannya Afra juga harus begitu?"
Mbak Elea, Fikri, dan Faza terhenyak ketika setetes bulir air mata meluncur bebas dari mata sebelah kanan Afra. Meski sedang tersenyum, ia tampak tersiksa. Afra, menitikkan air mata saat tersenyum.
Menyadari senyumnya tak terlihat indah sebab diiringi sebutir air mata yang jatuh, Afra meraih ujung jilbab untuk menyeka wajah.
Apa artinya air mata itu? Harusnya kamu nggak senyum di saat ingin menangis. Sejak dulu, kamu jarang jujur sama diri sendiri dan nerima keadaan. Kenapa nggak pernah nurut sama saya soal yang satu itu? batin Fikri.
Melihat air mata Afra turun walau sebutir, membuat hatinya seperti dikoyak paksa. Ia jadi mempertanyakan kepada diri sendiri tentang keputusan yang diambil. Menyakiti Afra atau tidak? Ia pikir, Afra akan bahagia dan seharusnya hari ini gadis itu tidak menangis. Saat-saat ini, Fikri justru bimbang.
"Mas Fikri," panggil Afra lirih.
"Ya."
"Afra bakal nikah dan Afra akan buktiin kalau Afra bisa bahagia tanpa Mas Fikri. Jadi, Afra juga pengen lihat Mas Fikri bahagia."
Bagaimana bisa? Fikri mendengkus. Dipalingkan wajahnya dari Afra, otomatis tertoleh menghadap Elea.
"Mas Fikri pergi sama seseorang, ya. Jangan sendirian."
"Ya, saya pergi sama Mbak Elea," jawab Fikri cepat.
"Afra harap Mbak Elea pergi bareng Chesa dan Mas Harsa. Mas Fikri, datanglah sama seseorang yang lain. Yang bisa meyakinkan Afra kalau pilihan Mas tepat dan Mas bisa bahagia tanpa Afra."
"Harus banget kayak gitu persyaratannya?" tanya Fikri. Kepalanya tertunduk. Ia buka tak paham maksud Afra. Dua tahun bersama gadis itu membuatnya paham banyak kode yang suka diucapkan wanita.
Kamu mengada-ngada, Afra. Mana bisa saya menemukan pengganti secepat itu. Kamu tahu kalau saya nggak pernah mudah dekat sama orang, batin Fikri sendu.
"Afra pulang dulu. Makasih, Mbak, Mas. Salam kenal, Faza. Semoga bisa ketemu lagi." Tanpa menjawab pertanyaan Fikri, gadis itu bangkit dari duduknya. Ia bergerak cepat menyalakan mesin matic-nya, lantas lima menit kemudian hilang di tikungan.
Fikri menopang siku di atas lutut, menautkan jemari dan menempelkannya di dahi. Afra akan bahagia, itu sebuah keharusan. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan? Jika tetap datang seorang diri, Afra akan menganggap ia tidak serius. Jika datang dengan orang lain, apakah Afra tidak sakit hati?
"A-anu ... kalau gitu, aku pulang sekarang, ya."
"Eh? Duh, Faza, maaf banget, ya, harus terjebak di situasi ini. Mbak sampai hampir lupa ada kamu. Padahal kalau tau bakalan kayak gini, Faza bisa main bareng Chesa," celetuk Mbak Elea sambil tertawa canggung.
"Nggak apa-apa, kok, Mbak. Ya udah, aku pamit, ya. Salam buat Che---"
"Jangan buru-buru, Faza. Sekalian makan siang, yuk? Dari tadi nungguin Chesa, pasti belum makan, kan?"
"Eh, nggak perlu repot-repot, Mbak. Aku makan di rumah aja." Faza nyengir.
"Nggak repot, kok. Ini juga bentuk terima kasih Mbak karena udah nganterin Chesa pulang."
Faza bingung hendak menjawab apa. Pasalnya, saat ini ia sadar diri bahwa Fikri sedang mengalami hari yang buruk. Ia tidak terlalu ingin ikut campur lebih dalam. Faza tahu persis rasanya ditinggal nikah, sakit. Kemudian, gadis itu juga harus segera mencari angkot.
"Jangan dipaksa kalau dia nggak mau, Mbak," cetus Fikri.
"Makanya harus mau, biar nggak dipaksa," kelakar Mbak Elea.
"Eh, anu ... aku harus nyari angkot lagi, Mbak. Jadi, harus buru-buru pulang."
"Loh? Oh iya, lupa. Tadi anterin Chesa juga naik angkot, ya? Kenapa nggak pakai motor?"
Faza nyengir lagi. Mata beningnya sampai menyipit. "Faza nggak bisa bawa motor, Mbak."
Atensi Mbak Elea dan Fikri membulat bersamaan.
"Makan dulu. Nanti saya antar pulang."
"Gegayaan banget. Tadi bilangnya, 'Jangan dipaksa kalau dia nggak mau.' Dih, sekarang dia yang maksa. Halus banget caranya," cibir Mbak Elea.
"Nggak apa-apa, Mas, nggak perlu. Kalau pakai motor---"
"Pakai mobil. Makan dulu."
🕊🕊🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro