Teori 05
Cinta bukan melepas, tapi merelakan. Bukan memaksa, tapi memperjuangkan. Bukan menyerah, tapi mengikhlaskan. Bukan meraintai, tapi memberi sayap.
(Fiersa Besari)
🕊
Lingkar matanya makin jelas, lelaki yang tengah berkutat dengan laptop memeriksa secara rinci email yang masuk itu makin kuyu penampilannya. Kacamata tipis yang bertengger sempurna di atas tulang hidungnya yang tinggi menambah kesan melelahkan di wajah tampan tersebut. Beberapa kali ia mencebik, menandakan bahwa ia lelah, tetapi enggan berhenti.
Fikri menggerutu dalam hati. Mengapa mahasiswa masih senang mengambil jalan pintas? Plagiasi yang dilakukan rata-rata mencapai 50%, bahkan ada yang secara terang-terangan menjiplak seisi makalah, hanya mengubah sampul depan saja, mengganti nama penyusun yang lalu dengan namanya.
Selain itu, yang membuatnya kesal adalah beberapa rujukan yang tidak pas. Dalam daftar pustaka diurutkan beberapa judul buku yang dijadikan referensi, tetapi tidak ada narasi dari buku tersebut dalam makalah yang disusun. Penulisan Bahasa Indonesia yang benar juga masih banyak yang keliru, padahal mahasiswanya sudah menginjak semester lima. Setiap unit sama saja.
Ah, Fikri memang orang yang terlampau teliti dan perfeksionis. Hal-hal kecil seperti itu tidak pernah luput dari pengamatannya.
"Udah, sih, tidur aja." Itu suara Mbak Elea. Perempuan yang sudah memakai daster itu berniat keluar untuk mengambil air sebab haus. Namun, urung balik ke kamar ketika sadar bahwa lampu ruang tamu masih menyala.
Mbak Elea memutuskan duduk di sofa, melihat objek yang membuat Fikri masih betah berlama-lama menghabiskan malam.
"Nggak bisa, Mbak. Makalah mereka hancur sehancur-hancurnya. Copas sana-sini, asal-asalan nyantumin daftar pustaka, urutan penulisan footnote masih ada yang salah, nggak ngikutin ketentuan ejaan bahasa Indonesia yang bener juga," keluh Fikri.
Elea tertawa renyah. Dari dulu, Fikri memang tak berubah. Wataknya yang teliti dan perfeksionis sempurna mirip Papa. Lihat sekarang, kelebihan itu justru menyusahkannya.
"Lihat, tuh, paman kamu. Belum tidur sampai jam segini karena kerajinan periksa tugas mahasiswanya," ujar Mbak Elea sambil mengusap perutnya yang buncit. Usia kandungannya hampir mencapai tujuh bulan.
Fikri mencelos. "Mbak tidur, gih, kasian dia kalau Mbak nggak tidur. Ini masih banyak yang harus diperiksa."
"Kamu, tuh, yang harus tidur. Kasian tuh mata sampai punya lingkar hitam. Kek panda."
Fikri mengisyaratkan matanya pada laptop. Mbak Elea melengos.
"Mahasiswa itu tugasnya kan banyak, Dek, nggak cuma dari kamu. Ya, wajarlah mereka copas dikit-dikit. Nggak usah terlalu dipikirin, lagian."
Fikri mencebik. Mana bisa begitu.
Mbak Elea memajukan tubuh, menutup laptop milik Fikri. Sebelum pemuda itu protes lebih jauh, sang kakak melepas kacamata tipis dari wajah adiknya, kemudian memijat bahunya sebentar.
"Tegang amat nih bahu. Rileks dikit. Nggak capek apa, kerja mulu? Ngejar apa sih?"
"Duh, Mbak, jangan keras-keras---aw!" protes Fikri. Jari Mbak Elea memang pandai mengendurkan otot-otot yang menegang. Dari dulu, ia seperti juru pijat di rumah. Namun, tetap saja Fikri tidak terbiasa dipijat.
"Oke, udah." Mbak Elea menepuk bahu Fikri. Lelaki itu bernapas lega.
"Oke, makasih." Lelaki jangkung itu merenggangkan badan hingga beberapa tulangnya berbunyi saat ia menarik tangannya ke atas tubuh. Kemudian ia mengambil laptop, hendak beradu ke kamar.
"Bentar, Dek. Sini, duduk dulu sama Mbak."
Fikri menurut.
"Afra gimana? Tiga hari yang lalu kamu ke rumahnya, kan?"
Ah, benar. Sudah tiga hari berlalu dan Fikri belum buka mulut sejak saat itu. Elea tahu hal tersebut langsung dari Afra. Itu pun sebab ia memperhatikan tingkah laku Fikri yang tak biasa. Mudah lupa, sering melamun, hingga dua kali tak sengaja memecahkan gelas.
"Afra yang cerita sama Mbak?"
Mbak Elea mengangguk. "Tapi, Mbak lebih pengen dengar ceritanya dari kamu."
"Bingung mau cerita dari mana. Mbak nanya aja, aku yang jawab."
Elea mencari padanan kata yang tepat. Ia sebenarnya sudah mendengar cerita dari Afra meski gadis itu hanya berbicara sepotong-sepotong sambil terisak. Namun, Mbak Elea sudah cukup paham akar permasalahannya.
"Kenapa nggak mutusin buat kembali? Kayak Papa. Kamu bisa dapat banyak hal. Ketenangan yang kayak dulu, dipandang terhormat, dan bakal dapet Afra."
Bagus. Fikri sangat menantikan pertanyaan yang seperti itu. Ia tidak suka pada orang yang bertele-tele. Elea memang sosok yang paling memahaminya sejak dulu.
"Mbak tau? Untuk membuat seseorang kembali ke hal yang dulu pernah sangat dipercaya itu nggak mudah." Fikri buka suara. Elea mengangguk, tentu saja ia tahu.
"Ada Afra, dia bisa bantu kamu. Setidaknya kamu percaya sama dia, kalian bisa saling belajar."
Fikri menggeleng. "Aku bisa-bisa aja percaya sama orang, Mbak, tapi mengikuti orang yang kupercaya? Tetap sulit. Hanya aku yang bisa mengubah diriku sendiri. Bukan Afra, Mbak. Bukan siapa pun."
"Jadi kamu memang bener-bener relain Afra karena itu?"
Fikri mengangguk.
"Padahal kamu cinta sama dia, kan?"
Fikri tertegun. Lehernya menengadah, membuat atensi cokelat yang dibingkai alis tebal itu menatap langit-langit. Kemudian, pandangan dialihkan menatap Mbak Elea.
"Cinta itu ... sebenarnya gimana, Mbak?"
🕊
Fikri baru saja mengumumkan nilai pada mahasiswanya. Rata-rata mendapat nilai C, itu pun sudah ditambahkan sedikit rasa kasihan. Fikri tidak dapat menoleransi kesalahan, baik kesalahan kecil sekalipun. Lelaki jangkung itu juga tidak akan repot-repot mengomeli mahasiswa, ia bukan tipe manusia yang banyak bicara.
Untuk perbaikan nilai, Fikri menyuruh mereka membuat resume dari makalah yang dikumpulkan, tanpa melihat dan membuka lagi isi makalah yang ditulis tempo hari. Ia ingin melihat, sejauh mana mereka memahami materi. Akan terlihat kentara siapa yang benar-benar membuat tugas sambil belajar dan siapa yang hanya menyalin tanpa benar-benar membaca.
Sebenarnya itu hanya akal-akalan Fikri saja. Perbaikan nilai tidak ada artinya untuk sosok jangkung bergaris wajah tegas itu. Ia hanya sedang malas mengajar. Sejak pertemuannya dengan Afra terakhir kali, ia jadi tidak bersemangat melakukan apa pun.
Ponsel Fikri berdering, nama Afra tertera di sana sebagai orang yang menghubunginya saat ini. Setelah tujuh hari tanpa kabar, setelah tujuh hari nomornya diblokir, kini gadis itu lebih dulu menyapa. Fikri keluar kelas untuk menerima panggilan Afra.
"Halo?" Beberapa detik berlalu, sapaan Fikri tak berbalas. Lelaki itu masih memilih menunggu.
"Apa kabar, Mas?"
"Baik," jawab Fikri. Suaranya terdengar canggung, begitu pula Afra di sana.
"Ah, rupanya cuma Afra aja yang nggak baik, ya? Bagus, deh, kalau Mas Fikri baik-baik aja."
Fikri menelan ludah susah payah. Kerongkongannya seperti disumbat bola golf. Ia tidak dalam keadaan sebaik yang dipikirkan Afra, tentu saja. Namun, ia harus menjawab apa? Lelaki jangkung itu tidak ingin memberi harapan sekecil apa pun kepada Afra.
"Afra mau ngasih undangan."
Secepat itu? Bahkan belum ada sebulan kita hilang kontak, batin Fikri. Namun, ia tak membalas ucapan Afra dari seberang.
"Mas Fikri berhasil, Afra bener-bener bakalan nikah sama Mas Zidan. Ya, sakit hati, sih, tapi kalau Mas Fikri bahagia, Afra bisa apa? Mas Fikri juga nggak mungkin ninggalin paham yang Mas anut demi Afra. Itu inginnya Mas Fikri, ya ... Afra harus hargai itu."
Kening Fikri mengernyit. Sejak kapan Afra suka memanipulasi psikologis orang lain? Selama ini, gadis itu selalu terlihat kalem, tidak banyak bicara. Senang tersenyum, memberi energi yang menenangkan, dan kata-katanya selalu penuh keindahan. Inikah sifat aslinya Afra?
Lelaki jangkung itu masih enggan buka suara. Di seberang pun sama, hening. Afra menunggu Fikri merespons, dan Fikri menunggu Afra menutup sambungan. Sungguh, jauh dalam hati, ia pun merasa sakit. Namun, yang ada di pikirannya sekarang jauh berbeda. Afranya tidak seperti sosok yang dikenal.
"Mau Mas Fikri yang datang ke rumah Afra atau Afra yang datang ke rumah Mbak Elea?" tanya Afra setelah jeda beberapa saat.
"Di rumah kamu ada siapa aja?"
"Afra lagi sendiri. Bapak sama Ibu nginep di rumah Mbak."
"Kalau gitu, kamu aja yang ke rumah Mbak Elea," jawab Fikri tanpa harus berpikir dua kali.
Lelaki itu cukup tahu batasan. Ia tidak boleh masuk ke dalam satu ruangan jika hanya berdua dengan seorang perempuan. Sebab jika hal itu terjadi, setan akan mengambil peran paling besar untuk membinasakan mereka. Sungguh, saat Fikri berkata pada ayahnya Afra bahwa ia tak melupakan apa yang pernah dipelajari, ia tidak sedang melakukan omong kosong.
"Oke, dan Afra pengen ketemu Mas Fikri langsung, ya. Jadi, undangannya nggak cuma Afra titip di Mbak Elea."
Sebenarnya Fikri tidak paham maksud Afra. Harusnya jika benar-benar sakit hati, gadis itu menghindarinya. Sama seperti ia yang belum siap untuk melihat sosok Afra, bahkan siluetnya sekalipun. Selama ini, kontaknya bahkan diblokir oleh gadis ayu tersebut. Bukankah demi menghindari luka baru sebab temu, lebih baik menitipkan saja undangan pernikahan itu kepada Mbak Elea?
"Ya." Fikri sebenarnya ingin bertanya, tetapi urung. Akhirnya ia hanya mengiyakan permintaan Afra.
"Sekarang, bisa?"
Fikri melirik arloji yang melingkari di pergelangan tangan kiri. Pukul 12.45 WIB. Mata kuliahnya baru akan berakhir satu tiga puluh menit lagi. Lelaki jangkung itu memeriksa keadaan kelas. Senyap, para mahasiswa sibuk membuat resume.
"Bisa."
Setelah itu, tanpa aba-aba, pembicaraan diputus oleh Afra. Fikri menyandarkan punggung di dinding. Beberapa mahasiswi fakultas yang berlalu lalang terkadang memandanginya lama, tetapi ia tak peduli. Fikri sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
"Resumenya dikumpul ke komisaris, besok komisaris temui saya untuk ngumpulin resume kawan-kawan. Saya harus balik sekarang. Kalau udah selesai, kalian bisa langsung pulang."
Fikri mencangklong ransel, berjalan dengan langkah panjang-panjang ke luar kelas. Mahasiswa bersorak senang. Merupakan sebuah peristiwa langka saat dosen muda rupawan itu tidak meninggalkan tugas.
Jika dihitung antara jarak rumah Afra dan kampus menuju rumah Mbak Elea, harusnya ia tiba lebih dulu. Benar demikian, karena saat tiba, Fikri tidak melihat motor milik Afra di halaman rumah Mbak Elea yang asri.
"Nah, itu dia orangnya. Fik, gimana, sih? Mbak loh, udah ngirim WA ke kamu, minta tolong buat jemput Chesa," gerutu Mbak Elea. Setelan jasnya masih rapi. Di sofa, Chesa---keponakan Fikri---duduk sambil mengayunkan kaki. Mulutnya mengemut lolipop.
Fikri mengernyit. Segera diperiksa aplikasi chatting tersebut. Benar saja, Mbak Elea mengirim lima pesan yang belum dibaca olehnya. Lelaki itu melengos dalam hati. Bagaimana bisa ia abai dengan notifikasi dari sang kakak, tetapi begitu sigap menerima nada dering dari Afra.
"Makanya, HP mbok, ya, jangan di-silent. Untung aja gurunya nganter Chesa pulang. Dia nungguin hampir dua jam, loh. Tau sendiri Chesa anaknya gampang nangis. Tuh, matanya sembab," omel Mbak Elea.
"Ya maaf, Mbak. Harusnya Mbak telepon aja tadi, aku jarang buka chat," ujar Fikri.
"Noh, minta maaf sama nih anak. Capek nungguin pamannya, malah nggak dateng."
Fikri menekuk lutut, menyejajarkan posisi kepalanya dengan Chesa. Wajah cantik anak perempuan itu masih masam. Fikri menarik ujung bibir, memberikan senyum manis untuk bocah kesayangannya.
"Maafin Paman, ya? Tadi itu, Paman lagi ngajarin kakak-kakak. Chesa pulang bareng siapa?"
"Lain kali jangan lupa sama Eca, dong. Eca tinggal sendirian di sekolah tadi."
"Berdua, dia ditungguin gurunya," ralat Mbak Elea.
"Mbak? Makasih toiletnya. Saya izin balik, ya. Chesa, Ibu pulang, ya. Baik-baik di rumah---loh ... Mas Fikri, kan?"
"Mafaza," lirih lelaki jangkung itu.
🕊🕊🕊
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro