22. The Long Day Without Star
Sayup-sayup kudengarkan suara riuh di sekitarku. Ah, aku pasti sudah ketahuan ...
Aku ingin membuka mataku tapi rasanya begitu sulit. Semua tulang-tulang yang kumiliki kini berkhianat dengan otakku, mereka tidak mau bergerak. Astaghfirullohaladziim... Apa si kembar baik-baik saja? Seketika aku merasa begitu bodoh telah melibatkan mereka dalam keputusan berbahaya ini. Seharusnya aku lebih berhati-hati.
"Sayang...," suara berat itu menggema, jelas terdengar hingga menembus hatiku. Suara milik Teo yang terdengar sangat khawatir, beradu dalam embusan napasnya yang tersengal.
"Yang... Apa yang terjadi?" bisik Teo padaku. Dia terasa semakin dekat. Napas berat itu menjauh diiringi bunyi pukulan keras. Ya, aku mendengar bunyi pukulan dan suara John. Jangan John! Teo tidak bersalah.
"Teo, Ah! Kak Phyta mendonorkan darahnya diam-diam untuk ibumu. Apa kau bahkan tak tahu mereka memiliki darah yang sama, dan ... Langka? Hah!" John benar-benar terbakar emosi. Sedangkan Teo... Aku tak mendengar pergerakan apapun darinya.
Aku merasa tubuhku bergerak, ditarik ke suatu tempat. Dan hanya tangisan Mama dan John mengiringiku.
"Phyta... Ta...!"
"Menjauh dari putriku," jerit Mama.
"Mah, kumohon jangan .... jangan, aku tak bisa hidup tanpa Phyta, Ma."
Menyakitkan rasanya. Kesadaranku masih ada namun tak berguna karena mata dan mulutku seolah terkunci. malfungsi. Gelap dan hampa.
***
Kubuka mataku, dan kudapati diriku tengah terbaring di sebuah ruangan yang begitu tenang. Sayup-sayup angin segar masuk diiringi gemerasak daun yang beradu. Tubuhku terasa segar. Tunggu...
Kugapai perutku untuk mencari keberadaan si kembar. Ah, mereka masih di sana. Bahkan perutku semakin membesar. 'Hai... keduanya kini menendang perutku. Baiklah, Nak. Ibu sudah bangun sekarang.'
"Ah, Nona Flo sudah sadar?" tanya seseorang dengan suara yang tenang dalam bahasa seperti di Drama Korea. Senyumnya tergambar melengkung sempurna beserta kedua mata sipitnya seolah menyambutku membuka mata. Kurasa, Dia belum pernah kulihat sebelumnya. Siapa Dia?
"Hello... I am Lee Won. Aku asisten Doktor Jung Wiraningrat dan bertugas di sini. Salam kenal," ujarnya menggunakan bahasa Inggris dengan fasih.
"Hai, nice to meet you, Lee Won-ssi. Aku ada di mana?" Sekali lagi aku melihat ke sekeliling yang begitu asing.
"Kau berada di rumah sakit JungHe, Seoul," jawabnya.
Aku di Seoul? Kok bisa?
"Doktor Jung mengantarkan Nona secara khusus kemari. Dan sudah dua bulan lebih Nona tak sadarkan diri."
Aku syok mendengarnya. Bagaimana bisa aku sedang hamil namun pingsan selama itu? Saat kugapai perutku, mereka kembali menendang. 'Wah, kalian sangat hebat ya. Tetaplah sehat sehingga ibu bisa melihat kalian. Mengerti.'
***
"Makanlah, Nona." Meja kecil diletakkan di depanku berisi beberapa makanan.
"Thank you." Aku melihat sekilas makanan yang tersaji di depanku, meja yang berhasil menutup perut besarku ini berisi banyak makanan asing.
"Doktor Jung mengatakan bahwa kau muslim sehingga kami menyiapkan makanan sehat untuk muslim," jelasnya sambil tersenyum.
Aku hanya menurutinya, menyuap makanan dengan enggan. Aku merasa kesepian, sedang apa ya Teo? Mengapa aku merasa sehampa ini? Mungkinkah? Ah tidak-tidak! Jangan berpikir negatif Ta! Teo baik-baik saja.
"Ah, Lee Won-ssi. Bisakah aku jalan-jalan setelah sarapan? Aku ingin keluar dan berkeliling. Sudah lama rasanya aku tak berjalan kaki."
"Baiklah, aku akan menemani Nona nanti. Sekarang makanlah. Aku akan menemui pasien dulu." Dia tersenyum cerah dan undur diri.
Sebenarnya siapa Dia? Asisten Mama sebagai dokter, bodyguard atau badan intelejen negara? Mengapa hanya ada dia yang menemaniku di sini? Kemana perawat yang lain?
Hufh, menyebalkan saat aku penuh tanya begini namun tak ada seorangpun mampu menjawabnya. Dia terlihat seperti model dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh limaan.
***
Kami berjalan-jalan mengelilingi rumah sakit, sebenarnya hanya Lee Won-ssi yang berjalan karena aku di dorongnya dengan kursi roda. Tadi aku mencoba beberapa meter berjalan tapi rasanya hampir jatuh tertelungkup karena perutku lebih besar daripada tenagaku. Jadilah aku naik kursi roda.
Kami berhenti di taman rumah sakit di lantai tiga. Rasanya begitu sejuk, sangat kontras dengan keadaan kota Seoul yang sibuk hingar bingar.
"Nona Flo, kau menyukai bunga?" tanya Lee Won-ssi.
Selama ini kami bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris karena aku belum menguasai bahasa Korea.
"Ya," jawabku singkat.
"Wait," bujuknya. Dia meninggalkanku, melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke dalam. Aku menghirup udara yang terasa menyegarkan relung kepalaku. Haruskah aku kabur ke Indonesia agar bisa bertemu dengan Teo?
"Jja... Fresh flower from me." Dia memberikan sebuah bunga mawar berwarna lavender, "mulai hari ini, aku akan memberimu bunga ini setiap hari."
Aku terkejut, sambil berusaha mengingat perkataan seorang gadis bunga di sekitar butik. Mawar berwarna kuning artinya keceriaan, persahabatan, dan ucapan selamat datang kembali.
Mawar berwarna putih berarti kepolosan, berjiwa muda, murni dan penuh simpati. Mawar warna coral artinya keinginan. Sedangkan mawar warna lavender artinya ...
Cinta pada pandangan pertama dan pesona? Apa dia serius dengan ini?
"Kenapa Nona melamun?"
"Sorry, sepertinya ada yang salah. Kau tahu aku sedang hamil tua begini kan? Kau mungkin juga tahu aku sudah bersuami. Kenapa kau melakukan ini? Memberiku ini?"
Kusodorkan lagi sekuntum bunga mawar berwarna lavender itu padanya. Namun dia menolak dengan senyum yang manis, tampan, lembut serta menenangkan. Jarang sekali orang memiliki senyum selengkap dia.
"Kau memesona."
Kata itu mampu membuatku terpaku. Dia menganggap aku memesona? Dengan perut buncit, pipi lebar, paha besar ini dia sebut memesona? Selera yang aneh.
"Ya, Lee Won-ssi. Aku merasa tidak pantas menerima ini. Maafkan aku."
"Kau bilang kau suka bunga. Baiklah, itu buatmu. Aku takkan memberimu bunga begitu lagi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Just call me, Lee Won Oppa."
Dia berjongkok di hadapanku, senyumnya merekah lagi. Apa matanya tak lelah selalu menutup karena garis senyumnya mendorong sang mata untuk menutup? Hingga daun tertiup di kepalanya. Subhanallah...
"Hmm, baiklah. Asal kau terima satu syarat juga dariku."
"Apa?" jawabku cepat. Kualihkan pandangku darinya.
"Aku mulai tahu situasi ini. Kau menjagaku di sini karena alasan perjodohan, kan? Jika benar begitu maka jangan paksa aku untuk mencintaimu. Kau tahu hatiku telah dikunci seseorang, kan?"
"Yeah, waktu ada pada kita. Kita jalani saja perlahan."
Baiklah, dengan jawabannya padaku ini mampu membuatku berpikir bahwa dia memang dijodohkan kedua orang tuaku denganku. Meski aku sedang hamil tua begini.
Rey
(270518)
Maaf sangat lama update. Rey sedang banyak pikiran. Jiah... Semoga pembaca tidak kecewa dengan up yang lama ini. Semangat buat yang sedang menjalankan ibadah puasa ya. Semoga kita diberkahiNya dengan karunia yang tak terduga. Aamiin....
Bye ^^/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro