Journey-21
"Sebuah keputusan, tanpa alasan yang kadang tidak masuk akal, dilakukan oleh orang tersayang.
Untuk apa?
Jika, alasannya untuk kebaikan kita.
Bisakah hal itu di sebut bulshit belaka?"
Tentang Mereka
Author's POV
"Halo, assalamu'alaikum, Lia? Aku udah mau berangkat, nih!"
"Wa'alaikumsalam. Hah, kok buru-buru? Oke aku kesitu, yah?"
"Ndak usah! Ini aku juga udah di bandara. 25 menit lagi pesawat nya take off. Kan rumah mu jauh. 30 menit baru sampe."
"Tapi kan, aku pengen nganter kamu."
"Nganter apaan sih, maksudnya? Aku tuh cuma mau terapi. Jangan-jangan kamu pengennya nganter aku kealam baka, yah?"
"Ih, Syifa! Serius! Jangan bercanda kalo tentang ini."
"Iya, iya. Maaf. Udah intinya ndak usah ke sini. Kamu cukup do'ain aja aku."
"Untung lagi libur kenaikan kelas, Syif. Besok kalo udah masuk kelas 12, pasti penyakit itu udah ilang, dari kamu! Percaya deh! Semangat yah, Syifa!"
"Kayak aku ndak ngelanjutin kelas 12, sebelum penyakit aku bener-bener ilang, deh. Aku... mau berhenti dulu."
"Maksud kamu? Kamu harus yakin, dong Syif. Stadium nya juga belum tinggi, kok."
"Aih, Lia! Ini tuh bukan penyakit demam, yang sehari-dua hari udah sembuh. Ini kanker, loh! Aku juga sebenarnya ndak mau hiatus sekolahnya. Tapi, Bunbun maksa."
"Eh, iya. Kanker yah? Hehehe, lupa aku tuh. BTW, maksud hiatus apaan?"
"Abaikan, deh! Eum, udah dulu, yah! Do'ain aku biar lancar pengobatan nya. Dan, yah jangan bilang dulu ke yang lain. Ok? Assalamu'alaikum"
"Iya, iya. Wa'alaikumsalam."
Syifa memutuskan sambungannya dengan Lia.
Saat Syifa sedang tenang-tenang nya menunggu di boarding room, sembari memainkan game ponsel. Seseorang yang spesial, tiba-tiba sudah ada di depannya.
"Nihay!"
Syifa yang tadinya fokus dengan ponselnya, mendengar seseorang memanggil lembut dengan sebutan itu.
Tanpa menduga, di yakin orang itu adalah...
"Mas Fattah?"
Syifa berdiri dari duduknya.
Grep
Syifa mengerjap seketika. Pelukan hangat, namun secepat kilat.
Syifa menengok ke arah samping, di mana sang Ayah sedang menatap geram.
"Eum, Om! Saya gak akan lama-lama kok, di sini. Tapi ijinkan saya, bicara 5 menit saja dengan Syifa."
Ayah Syifa hanya menjawab dengan gumaman.
"Hmmm."
"Dan, saya juga butuh privasi."
Ayah Syifa memandang tidak suka.
"Sudah, Yah! Ndak pa-pa kalo cuma sebentar." Ucap Bunda Syifa menenangkan.
Ayah Syifa pun mengagguk kecil. Bunda Syifa menggenggam tangan sang suami, dan mengajaknya entah kemana.
Setelah dirasa aman -tidak ada orang tua Syifa-. Kedua sejoli itu memulai pembicaraan.
"Mas, kok, tahu aku di bandara?"
"Menurut mu?"
Syifa menatap mata Fattah, sekejap.
"Lia? Bingo!"
"Kamu, kok, bisa setega ini gak ngasih tau aku?"
"Aku... aku cuma--"
"Belanda atau Singapore?"
"Singapore."
"National University Hospital, right?"
Jawaban nya hanya anggukan 3 kali.
"Berjuang, yah!"
Syifa mengangkat kedua tangannya. Menangkup kedua pipi sang kekasih.
"All you wish!"
Perlahan Fattah menurunkan kedua tangan yang merangkum wajahnya tadi.
Syifa menatap seakan bertanya.
'Apa yang terjadi?'
"Sebenarnya aku temu kesini, mau ngomong sesuatu. Tapi... gak jadi, deh."
"Ngomong aja udah."
"Gak kamu--"
"Cepetan 15 menit lagi take off."
"Aku... mau... kita sampai di sini!"
"Maksud kamu apa? Hahahah ndak lucu sebenernya."
"Hubungan kita, sebatas teman aja, yah."
"Kamu sakit? Sakit apa? Ndak demam, kan?"
"Udah gak ada jalan buat kita, Syifa."
"Kamu beneran sakit? Diare, atau sembelit kali ini?"
"SYIFA KITA PUTUS!"
Kata Fattah sedikit berteriak.
Air mata yang sedari tadi di bendung Syifa, akhirnya luruh.
"Kenapa?" Tanya Syifa lirih.
Tangan kokoh itu, merangkum kedua pundak mungil Syifa.
"Suatu saat kamu akan tahu."
"Setidaknya kasih aku alasan!"
"Demi kebaikan mu, Syifa!"
Syifa menatap nanar. "What do you say? Can you repeat it? For my good? An llogical reason, you know! I willn't accept it!"
Syifa berusaha menahan emosinya. Yang menjadi sasaran, malah hanya menatap nya intens.
"Do you have another woman?"
Alih-alih menjawab, Fattah malah tetap bungkam.
"I'm right? You have another woman. Who? Who is she? Tell me right now, who is she?"
Dengan air mata yang sudah tumpah ruah. Syifa memukul-mukul dada bidang Fattah.
Jengah dengan kelakuan Syifa, Fattah pun mencekal erat kedua pergelangan tangan Syifa.
"Enough. This isn't what you think! Someday you'll understand. Trust me, means believe in fate too. And, you only have two choices. Want to wait, or let go."
"What do you mean? By waiting or leaving?"
"Not now! Not now my sweetheart! Just believe destiny!"
Mata Syifa memancarkan kebingungan yang luar biasa.
Fattah tersenyum simpul.
"And now, i pause for you. Let fate govern us. If we are destined together, then I will not let you go!"
Syifa speechless dengan apa yang dikatakan Fattah. Namun, dirinya masih belum mengerti, apa maksud yang dikatakan orang tampan di depannya ini.
Di saat momen-momen seperti ini, kedua orang tua Syifa datang.
"Ayo, Syifa! Pesawat nya sudah mau take off. " Suara lembut mengalun dari Bunda Syifa.
Syifa mengangguk cepat.
Fattah pun berpamitan kepada kedua orang tua Syifa, walaupun ditanggapi dingin.
Ketika Fattah berjalan menjauh beberapa meter di depan Syifa. Fattah memutar kepala, dan tubuhnya ke belakang. Berucap sedikit keras, menjadikan mereka perhatian orang-orang di bandara, dan membuat pipi Syifa bersemu merah.
"Also remember this one thing. I love you. For now, tomorrow, and the future."
Fattah tersenyum manis, kemudian berbalik melanjutkan langkah nya.
.
........TBC
.
.
.
.
.
.
.
*****
R: kok dikit?
A: Takut kalian jadi ngantukan kalo baca cerita ku panjang-panjang mulu.
HAI EPLIBADEH!
KAYAKNYA PREDIKSI AUTHOR SALAH, DEH.
MASIH ADA 1 PART LAGI BARU SELESAI.
MAAFKEUN YAH!
OKE 👌, SIPP!
10001 KISS FOR YOU😘😘😘
BY: n_n❣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro