Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°TUJUH BELAS°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Sejak hari dimana Ale berbincang dengan sosok pelatihnya, membicarakan banyak hal. Pemuda itu merasa jika dirinya benar-benar tak boleh mengecewakan siapa pun yang ada untuknya. Terutama sang pelatih, Hira, teman-temannya juga ayah dan ibunya. Dengan demikian Ale berlarian di bawah terik matahari yang menyengat membakar kulit putihnya kecokelatan semu menghitam. Peluh seukuran biji kacang merah menghiasi wajah dan basahi pakaian latihannya. Tiga minggu menuju kualifikasi babak penentuan delapan besar, di tengah semester tahun ini. Lalu empat besar di akhir semester sebelum kenaikan kelas, kemudian semi final dan terakhir ending fairy ceremony, sekitar empat bulan sebelum Ujian Nasional.

Waktu sekian bulan ke depan, Ale harus manfaatkan dengan berkerja lebih keras, berlatih lebih intens dari yang lainnya. Tetap menjadi ujung tombak, anak panah yang mendarat di jantung hati orang-orang dan yang pasti jadi bintang paling bersinar di antara siswa dan atlet Komka lainnya.

Kaki Ale sudah memberi radar nyeri mangkel yang luar biasa di tulang belakang lutut hingga paha atas. Tetapi, kakinya masih bergerak intens melalui balok-balok plastik yang dijajarkan dengan jarak beberapa jengkal. Marino dan kawan-kawan mengamati dengan dahi terlipat. Terheran-heran mereka karena Ale masih bisa berlari dengan enerjik sementara mereka berleha-leha di saat-saat krusial menghadapi Orion Jatim 2000 yang jelas tak bisa dianggap remeh. Marino mengudarakan botol minumnya, sembari sedikit diguncang isinya agat Ale menepi untuk minimal minum satu atau dua teguk. Akan tetapi, Ale masih fokus pada larinya.

Hira melambaikan tangannya dari samping lapangan dengan tangan membawa minuman dilengkapi isotonik. Hira mendekat lebih ke pinggiran lapang. Melihat Hira, Ale memperlambat larinya. Menepi sejenak, kemudian meminum air isotonik yang sahabatnya bawakan tersebut lalu sambung berlari. Dan ini sudah putaran ke delapan belasnya.

“AL ... !!” teriak Aaron, Ralle dan lainnya sebab merasa jika Ale sudah terlalu lama dan banyak berlari. Lantaran masih ada beberapa latihan lainnya. Seperti latihan mengayun, melempar hingga menangkap air-out ball yang tentunya tidak boleh dilewatkan. Marino melempar bekas botol minumnya tepat di depan kaki Ale, pemuda itu berhenti. Duduklah dirinya dengan kaki selonjoran.

Marino seketika berlari ke arah Ale dengan wajah masam, dihentak kaki pemuda itu tepat di hadapan Ale. Marino menunjukkan kerutan di dahi yang ketus, bibirnya mengerucut, dengan kedua tangan berkacak di pinggang. “Mentang-mentang runner terbaik, latihan lari sampai segitunya. Kita capek lihatnya!” protes Marino sewot.

Ale tertawa renyah, wajahnya yang kini kecokelatan sedikit memamerkan bias merah jambu di pipinya. Tangan pemuda itu mengibas-ngibaskan udara kecil ke wajahnya, memberi ruang untuk rasa gerah terbakar. Ale menoleh pada Hira yang berdiri memegangi botol minuman dengan tangan yang bergetar hebat bahkan membuat botol itu hampir terguling. Sontak, bokong juga kaki yang masih kelelahan itu berdiri, menyambar tangan Hira. Ale menuntun Hira ke bangku besi bercat merah dengan gradasi kuning, juga oranye. Dengan sebuah anggukan kepala Hira duduk tanpa penolakan.

“Jangan terlalu capek, jangan berdiri di tepi lapangan sana, nanti malam lo meler, kalau nggak meler nanti minisan lagi, cukup bikin gua khawatir setiap harinya. Hari ini sampai seterusnya jangan!” serang Ale pada gadis yang menatapnya lugu. Wajah polos Hira mampu buat Ale tertawa renyah. Ale lekas berkata, “Sana ke kelas aja, di sini hawanya nggak bagus buat lo, dan buat gua. Soalnya dari tadi Refka terus berdiri di sana.”

Kedua bola mata Ale menyudut pada sosok pemuda berseragam putih abu dengan jaket parasut berwarna dongker, yang memasukkan kedua tangannya ke saku celana bersama kilat rasa tak suka yang mana membuat wajahnya semasam belimbing wuluh ah, atau seperti mangga muda yang bahkan senyum saja ogah mencicipnya.

Ale melangkah mendekati kawanannya sembari menenteng pangkal leher botol minuman pemberian Hira. Sesekali dirinya melempar botol tersebut ke udara. Ale duduk bersebelahan dengan Aaron, menyandar kepalanya pada rekannya tersebut.

“Pernah mikir kalau Hira itu cewek paling cantik, nggak, sih?” celetuk Aaron menyadari jikalau pusat perhatian Ale hanyalah tentang gadis itu.

Ale berdeham berat, kepalanya terasa mengangguk cepat. Aaron membalasnya dengan dehaman serupa. Ekor mata Aaron bergulir pada Ale yang masih memusatkan segala atensi atas segala dirinya pada Hira di seberang sana. Ralle ikut duduk di sebelah Aaron, pemuda itu mengangkat kedua bahunya dengan sudut bibir mengarah kepada Ale. Aaron menggeleng serupa alis matanya terangkat.

“Lagi mandangin Hira?” tanya Ralle tiba-tiba saja membuat Ale tersadar. Duduklah dirinya dengan tegak sempurna.

“Enggak,” elak Ale menyembunyikan bias merah jambu di pipinya.

“Hira cantik, ya? Apalagi kalau lagi minum obat, ekpresi mukanya nahan pahit kadang bikin gua ketawa,” lontar Ralle cekikikan.

“Setiap hari cantik. Mau lagi nahan pahit, menikmati manis. Dia cantik.” Aaron meluruskan perkataan Ralle. Sementara Ale tampak biasa saja, dan tidak keberatan akan hal itu. Hira memang cantik, hidup dan perjuangannya untuk sembuh juga cantik.

Latihan selesai dalam waktu dua jam, seperti biasanya. Seluruh anak-anak bergegas pulang, tetapi Ale izin untuk tidak pulang bersama Hira. Sebab ada hal yang dirinya akan kerjakan. Hira menurut saja dan pulang bersama Cheria adik kelas yang letak rumahnya berada tiga blok dari rumah Ale dan Hira.

Tongkat bisbol berbahan kayu milik Ale terayun seirama langkah kaki pemuda itu. Topi bertanda tangan asli dari seorang Masahiro Tanaka bertengger menutupi rambut hitam lebar Ale. Langkahnya menuju taman kecil kumuh di dekat sebuah taman kanak-kanak yang lama tak kunjung selesai renovasi. Mungkin sekitar delapan tahun lalu sejak ada himbauan pembangunan.

Ale duduk di batang pohon gundul kokok tersebut. Kakinya mengayun, tangannya memutar-mutar tongkat kesayangannya itu ke udara. Sebuah palang besi dengan kaki yang tinggi sekitar 155 senti dipandangi Ale. Ada bandul bola kayu yang tergoyang oleh angin. Bandul kayu yang sang kakek pasang sebelum dirinya wafat. Tempat ini adalah tempat kakek mengajar, tempat Ale bersekolah dan berlatih memukul.

Ale turun dari batang pohon tersebut dengan lompatan kecil. Cukup lama dirinya terdiam memandangi bandul tersebut. Tongkatnya mulai bergerak naik hingga ke atas bahu. Posisi tubuhnya yang tegak semu condong ke depan dengan kuda-kuda kokoh, menandakan Ale siap memukul bandul yang bergerak-gerak akibat angin tersebut. Tangannya mengayun, ujung tongkatnya bersentuhan membuat suara benturan sederhana akibatnya. Bandul itu bergerak cepat, belum sempat diam, bandul itu kembali dipukul oleh Ale. Bergitu berulang-ulang kali.

Senja mulai pancarkan pesona keemasannya. Sementara Ale masih memukul bandul itu tanpa henti. Meski tangannya sudah kebas bukan main. Jika dihitung tadi sejak datang hingga saat ini ada sekitar dua puluh delapan pukulan yang meleset; hampir delapan puluh enam pukulan di antar ujung tongkat dengan tubuh tongkat. Namun, Ale merasa itu belum cukup untuknya.

Kilan Sejagad, dia adalah batter terbaik yang Orion Jatim 2000 punya yang kadang kala posisinya bertukar menjadi pitcher, 3rd base, kadang pula sebagai center fielder. Kilan adalah salah satu Bintang Komka yang bisa dibilang serba bisa. Bukan musuh Ale, tetapi tetap harus Ale kalahkan.

Ale masih berlatih mengayunkan tongkat membuat pergelangan tangannya jadi lebih lentur dan tentunya pukulannya naik level kecepatan dan ketangkasan. Tubuh Ale terkulai ke tanah dengan punggung mendarat lebih dulu. Topinya terhempas begitu dirinya mendarat, tongkatnya pun sama. Sementara itu bandul kayu di tubuhnya masih bergerak akibat pukulan juga angin yang menyentuhnya.

Embusan napas Ale tersengal-sengal karena lelah bukan main. Kakinya bergetaran hebat, juga peluh seukuran biji kacang merah itu kembali basahi wajah juga pakaiannya. Angin sore bertiup menyegarkan gerah badannya. Ale memejamkan matanya, merentangkan tangan juga kakinya. Menikmati aroma tanah kering tak bernyawa tersebut.

“Onadio!?”

Bola mata lincah itu memandang pada seorang pria berambut putih yang berjalan membawa bola cokelat bergaris hitam. Senyun di wajah keriput itu membuat si empunya mata tersenyum lebar.

“Kakek!”

Kaki kecilnya berlari mendekat, memeluk tubuh yang sudah mulai bongkok di hadapannya. Matanya bergerak sama lincahnya dengan senyum cerah, merekah tersebut. Belaian mendarat di kepalanya. “Kakek, ayah kembali masuk di daftar pitcher majalah minggu ini. Sampai majalah Jepang mewawancarai ayah. Ada nama Ale di sana!” ucapnya kegirangan.

“Cucu kakek mau seperti itu juga nggak?”

Kepalanya mengangguk.

“Ayo kita latihan. Kakek akan memukul bolanya, Ale yang lempar.”

“Aku mau jadi batter biar keren. Biar Hira bisa lihat kalau aku kuat! Kalau cuma lempar Kakek yang tua aja bisa. Ale mau jadi pemukul hebat, jadi seperti ayah!”

Sentuhan di puncak kepala itu membuat si kecil bermata lincah itu melompat bahagia.

Bola mata Ale terbuka lebar, dan bandul itu masih bergerak meski kini kecepatannya berkurang. Mengenang hal itu membuat Ale tak pernah ingin menyerah meski ayahnya selalu menentang. Perihal cedera seperti yang ayahnya yakini karena beliau mengalami sampai harus gantung tongkat. Ale tidak peduli, sebab setiap pekerjaan selalu berdampingan dengan konsekuensinya sendiri.

Bab 17. Alasan Ale suka bisbol, sejak kecil Hira sudah jadi atensinya. Ayah jadi idola terbesarnya, dan Kakek adalah motivator Ale.

Publikasi 170821
#ExclusiveLovRinz
#LovRinzWritingChallenge

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro