Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°TIGA BELAS°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

[Play this]

Hira berdiri di bawah guyuran air hangat. Bahagia menggerayangi hatinya, nama dirinya menjadi daftar utama dan topik hangat para guru dan alumnus dalam grup Line. Bahkan tadi, sang reporter sekolah memotret dirinya, merekam secara terpisah bagian Hira menyanyi secara solo untuk bagian akhir Hymne sekolah.

Hira tak luntur tersenyum bahagianya. Namun, setelah berselancar di jejaring sosial melihat tak ada kebahagiaan di dalam senyum Ale. Meski Ale sukses mempertahankan gelarnya. Hira jadi murung. Kakinya menjajaki anak tangga menuju ruangan kecil yang Nanda siapakan untuk bermain musik. Ada piano, gitar, biola sampai beberapa alat musik tiup yang dilengkapi dengan partitur setiap lagunya.

Hira duduk di dekat jendela, tangannya membuka kotak biola. Diapitnya biola tersebut, diletakan dagu dan rahangnya pada chinrest. Jemari dari tangan kiri Hira mulai bergerak pada fingerboard bersenar lembut itu. Sementara jemari tangan kanannya, menggesekkan bow pada bridge. Bow bergerak naik, sesekali Hira memiringkan benda panjang dengan senar dari surai kuda tersebut.

Alunan suara lembut, sedikit melengking itu membuat Hira mengawang jauh dalam kesendirian. Terbawa dalam lagu sendu milik Billie Eilish dan Khalid bertajuk Lovely. Getaran dan resonansi suara yang terpancar dari dalam F holse tanpa sadar membuat kedua bola mata yang terkatup kelopak berbulu lentik itu menitikan kristal bening nan hangat. Tangan Hira masih menari lincah, memainkan setiap kunci-kunci nadanya. Setia menjamah senar juga menggesek permukaan bow senada rasa pilu dalam dadanya.

Nanda yang berdiri di depan pintu, tepat di belakang punggung Hira pun ikut merasakan alunan yang meremas relung sepinya. Nanda berlari memeluk tubuh sang adik. Badan biola dan bow terjatuh begitu saja ke pangkuan Hira. Kedua wanita itu menangis, kesepian setelah kematian kedua orang tuanya sepuluh tahun silam tak enyah. Sedetik selalu terpanjatkan doa, sedetik selalu terpanjatkan sebuah harap tentang pertemuan lagi. Pertempuran rasa rindu-mengutarakan banyak hal. Dari sedikit kebahagiaan sampai segudang rasa takut memerangi dunia yang lebih besar dari isi pikiran.

Rasa takut itu selalu membuat Nanda mengangkat senjatanya, memperkokoh sifatnya, membuat hatinya sekeras batu, tatapan matanya sedingin hujan di tengah samudera bersama ketakutan yang gulita, mungkin ini yang dinamakan mati pelan-pelan.

“Ra, gua nggak suka sama Ale bukan karena Ale itu anak pecandu, bukan. Gua nggak suka, karena gua takut ayahnya. Gua nggak tau isi pikirannya. Dan gua takut lo kenapa-napa,” jerit Nanda memekakkan telinga Hira.

Tubuh Nanda merosot, dengan tangan masih bergelantung di tubuh Hira. “Gua takut, apalagi orang-orang bilang kalau ayah Ale itu suka banget jelalatan. Dan gua juga takut Ale sama kayak ayahnya. Meskipun kita ada di sini bertahun-tahun, tapi gua tetap nggak bisa setenang lo,” imbuh Nanda semakin merintih kesakitan.

Hari itu, satu tahun lalu.

Musim pancaroba tak pernah bisa diterka. Terik yang semula menyengat. Kini hanya berganti angin besar nan dingin. Langit berubah gelap, wajah murungnya menjatuhkan bintik-bintik air mata. Muntahan dari mulutnya yang semula kering.

Nanda masih menggeluti beribu-ribu kata dalam setiap lembar naskah di layar gawainya. Jam menunjukkan pukul dua siang, tetapi hari sudah seperti pukul sepuluh malam yang gelap. Hari ini Sabtu, seperti yang Hira katakan jika anak kelas satu, di awal semester punya agenda khusus untuk ekstrakurikuler. Apalagi sebagai anak paduan suara, adik semata wayangnya punya kegiatan rutinan untuk Senin upacara. Tak asing bagi Nanda jika setiap Sabtu dirinya hanya sibuk mengurung diri di kamar sebagai seorang editor novel, yang kadang merangkap sebagai layouter freelance.

Gerimis perlahan berkumpul pada jendela membasahi lantai kamarnya yang memang tak punya aling-aling yang pabila jendela dibuka air hujan masuk tanpa izin. Nanda meraih tirai yang bergerak satu arah sesuai anginnya. Namun, tangannya tak cukup panjang untuk sekadar menarik ujungnya saja. Wanita yang saat itu berusia dua puluh dua tahun, beranjak menuju jendela. Kedua bola matanya yang terbingkai kacamata bulat berbatang hitam tebal mendapati sosok Ale berjalan seorang diri tanpa Hira yang biasanya tak pernah absen dari sisinya.

Nanda lantas keluar dari rumah, dengan terbirit-birit dirinya mencegat langkah Ale yang baru saja akan membuka pagar rumah dengan wajah tak bersemangat. Nanda menjulurkan kepala dari celah pagar rumahnya. “Al, nggak balik sama Hira?” lontar Nanda suksess mengejutkan Ale.

Wajah Ale kaku, kedua bola mata pemuda itu membulat, dengan bibir agak terbuka. Cepat-cepat Ale sadar saat Nanda melambaikan tangannya. Ale menggelengkan kepalanya letih.

“Loh, kenapa nggak barengan Hira?” lontar Nanda lagi. Suaranya yang berubah sedikit melengking lagi-lagi sukses membuat Ale terkejut untuk ke dua kalinya.

Ale tersenyum penuh duka. “Aku pulang duluan. Soalnya ada sesuatu, Kak,” balas Ale kehilangan gairahnya. Suara yang biasanya tampak sangat bersemangat kini terasa seperti suara gerimis yang beradu angin lalu.

“Kenapa?” Nanda mengerucut bibirnya, sebuah tanda tanya yang kontras di wajahnya cukup ampuh buat Ale tersenyum kikuk.

“Itu, Ale nggak enak badan, Kak.” Ale membuka pagar rumahnya. Terlihat sosok pria berwajah sangar, dengan bekas tato yang dilaser menyebabkan benjolan merah daging di lengannya sudah berdiri menatap kasar pada Ale. Pemuda itu langsung memindahkan tongkat kayu kesayangannya ke balik punggung.

Nanda baru saja hendak memutar tubuhnya, akan tetapi suara hantaman benda tumpul dengan tulang rawan memancing dirinya untuk berbalik. Seluruh kapiler di wajah Nanda bekerja aktif. Pusat kepala berkedut nyeri begitu juga dadanya. Kaki Nanda kehilangan keseimbangannya. Kini bola mata Nanda bergetar takut, menyaksikan pria garang tersebut menampari wajah Ale. Tepat berada di sudut bibir Ale, cairan kental merah membasahi dagunya. Dan pria itu hanya menatap puas.

“Berhenti jadi atlet! Bisbol hanya sampah! Berhenti jadi apa yang kakekmu mau! Dia hanya belulang dalam tanah!” teriak pria itu sembari menghantam wajah putih Ale hingga rona merah keunguan agak biru tercap di pipi. Lekas melempar tongkat kesayangan Ale sembarang.

“Om!” pekik Nanda memberanikan diri setelah berkutat cukup lama dalam keterkejutannya. Kaki Nanda bergerak cepat menuju rumah Ale yang jaraknya hanya beberapa jengkal. Nanda kini berdiri di depan tubuh Ale yang terduduk kehilangan tenaga di teras. Wajah masak Nanda berhadapan dengan wajah garang ayah Ale.

“Om, sampai kapan bakal mukul Ale? Semua orang tau kalau Ale itu nggak pernah berbuat salah. Kenapa di mata Om, Ale selalu salah?” sungut Nanda. Dia mengepalkan tangannya dengan berang hati. Nanda menekan gerahamnya, terbaca sesekali bahwa dirinya benar-benar muak akan sikap ayah Ale yang tak bisa lagi ditoleransi.

“Diam, ya, anak bau kencur. Anak yatim piatu kayak kamu nggak akan ngerti rasanya dididik oleh orang tua, secara kedua orang tua kamu udah mati. Dan, kamu juga nggak besar dengan ajaran dari orang tua mana bisa ngerti! Jadi jangan ikut campur!” bentak pria itu tak lain adalah Tian Erlangga.

Nanda tertohok. Sakit dan pedih ulu hatinya. Nanda mengepalkan tangannya kuat-kuat. Berbaliklah dirinya, kemudian berjalan dengan ketus meninggalkan pekarangan rumah Ale. Meski dirinya ingin merangkul Ale tetapi ucapan ayah pemuda itu benar-benar membuat Nanda benci. Walaupun hanya mengingat nama Ale.

“Aku yakin kalau orang tua aku masih hidup mereka nggak akan mendidik aku dengan cara binatang seperti itu. Bahkan aku tau serigala aja nggak pernah sejahat itu pada anaknya.”

Nanda merasakan sebuah hentakkan kaki di balik punggungnya. “Jangan bicara apa pun, Kak. Hira bisa menangis jika Kak Nanda terluka,” lirih Ale setipis udara di bawah gerimis. Nanda membeku kelu sejadinya.

“Saya bisa mengirim dirimu kepada ayah dan ibumu, Nanda. Saya nggak segan jika kamu berani ikut campur lagi. Dan satu hal yang harus dan wajib kamu tahui, kalau setiap orang tua punya cara sendiri untuk mendidik anaknya. Bahkan, hewan bisa menjadi lebih agresif dan bersifat kanibalisme. Dan itu semua terjadi secara naluriah.”

Tubuh Nanda bergetar semakin hebat saat tubuh Ale diseret dengan paksa. Nanda lemas, kakinya langusng merosot ke tanah saat Ale menyerah. Meloloskan sebuah erangan penuh derita nan duka yang sangat membunuh.

“Ayah, aku mohon, Ayah!”

Nanda menutup kedua daun telinganya bersamaan petir yang membelah langit, dan wajah bumi memuntahkan seluruh isi perutnya.

Di waktu ini, malam semakin larut Nanda dan Hira masih menangis tersedu-sedu. Hira mampu merasakan dekapan tangan sang kakak yang menusuk kulitnya. Kesakitan yang membabibuta. Namun, Hira memilih melepaskan tangan Nanda lantas memeluk tubuhnya sendiri sembari memegangi biola.

“Ale nggak akan pernah menyakiti aku,” bisik Hira memilukan.

“Gua benci Ale, gua benci hidupnya dan semua yang ada dalam dirinya.”

Hira merintih, “Apa yang salah dari Ale, Kak? Dia selalu membuat aku bahagia. Nyaris tanpa ada luka dalam dada.”


Bagian 13. Rekomendasi banget dengar lagunya! Baca sambil dengerin, soalnya aku perlu musik untuk menikmati sebuah bacaan. Kamu gitu juga, nggak?

Bagian ini entah menjawab alasan Nanda jutek ke Ale atau nggak. Entah sampai atau nggak rasa sakit tiga tokoh ini dari setiap waktunya. Intinya, semua tokoh punya rasa sakit, sepi dan kesendirian sendiri.

Oke, segitu aja.

Publikasi 130921
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWritingChallenge

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro