Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°TIGA°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu dan kesanmu.

Sore lalu, saat Ale selesai menemani Hira belajar dengan sedikit paksaan karena kasihan. Ale langsung menyambangi taman tempat biasanya. Ale melemparkan bola bisbolnya bolak-balik dari tangan kanan ke kiri, begitu sebaliknya sembari melamun tidak jelas. Marino dan Aaron terlihat kebingungan.

Ralle spontan menoyor kepala Ale dengan tongkat bisbolnya. Ralle bertanya heran, “Tumben banget ingin ketemuan sama kita, kangen, ya, Le?”

“Iya, Al, kangen, ya?” Aaron menimpali dengan penuh canda.

“Gua bosen aja di rumah, nggak ada kegiatan.”

Ralle memainkan tongkat bisbolnya, memuar-mutar benda panjang bulat berbahan kayu itu ke udara sembari bersiul-siul. Ralle berdecak, “Nggak nyuci seragam, emangnya?”

“Nggak,” balas Ale dengan ketus.

“Eh, iya, lo udah kirim proposal pengajuan dana latihan ke pihak sekolah sebelum kompetisi pertama dibuka, Al?” Marino mengalihkan pembicaraan. Bola mata pemuda itu bergulir mengamati Ale dengan saksama. Pemuda itu tersenyum. “tinggal dua minggu lagi, loh,” sambungnya.

“Belum, nanti aja.” Ale merebahkan tubuhnya di atas rumput taman, tempat biasanya anak-anak itu berkumpul.

Sebuah taman kota yang asri dengan pemandangan gedung-gedung mewah, beberapa permainan seperti jungka-jungkit, perosotan dan lainnya. Tangannya terlipat menyangga leher dan kepalanya. Kelopak matanya terpejam erat, dadanya naik turun menghirup dalam-dalam udara segar siang menuju sore ini. Anak-anak lainnya ikut berbaring di atas rumput dengan posisi sama.

“Arti bisbol buat lo apa, sih, Al?” tanya Ralle santai, seraya menyikut tangan Ale di sampingnya.

“Arti bisbol buat gua banyak,” kata Ale dengan singkat.

Aaron mendadak tertawa, kemudian duduk dari berbaringnya. Membuat anak-anak lainnya ikutan bangkit, begitu juga dengan Ale. “Ada kaitanya sama Hira, ya?” selorohnya menggoda sang kapten tim.

“Nggak ada. Gua suka bisbol karena berharap suatu saat bola yang gua pukul bisa mendarat di wajah bokap dan nyokap gua.” Ale berujar demikian santai. Jemarinya memijat kening yang mendadak nyeri lagi. Jemarinya kini meremas rambut lebatnya yang hitam kecokelat karena terpapar senja.

Ale mendongak tegar, dia melanjukan kalimatnya, dia berkata, “gua harus membuktikan bahwa gua emang mampu jadi batter terbaik. Bisbol yang gua jalani bukan beban, bukan juga permainan panjang yang akhirnya game over.”

Semua teman-temannya tampak sangat serius mengamati wajah sang kapten. Mereka sadar di tengah rutinitas sekolahnya. Ada setitik keinginan yang tulus membuktikan bahwa mereka memang layak disebut anak untuk orang tuanya; yang mana kadang dipandang beban tanpa tahu seluk-beluk kehidupan remaja yang begitu rapuh. Memilih menjadi yang baik untuk menjadi yang terbaik. Berusaha menjadi istimewa untuk menjadi yang teristimewa tanpa ada perbandingan antara yang asli dengan standar anak tetangga.

“Karena kita punya masalah sama orang tua kita masing-masing. Tapi, nggak ada satupun di antara kita yang meracuni pikiran lainnya untuk membenci orang tua kita sendiri, yang ada, kita berjuang bersama supaya jadi yang terbaik dalam setiap inning yang kita mainkan untuk mereka walau nggak ada yang peduli,” ujar Ralle dengan semangat.

Ale menghela napasnya sambil tersenyum. “Karena itulah, bisbol sangat berarti buat kita. Karena tujuan kita sama.”

Ralle, Aaron, Marino juga teman lainnya memeluk tubuh Ale dari segala arah. Mereka tertawa bersama, di bawah senja yang tersenyum turut bahagia. Jantung mereka berdebar-debar, kelopak mata mereka saling berbicara jika mereka baik-baik saja. Meski nyatanya, ada patahan dalam hati tentang impian kecil. Datang ke kompetisi disaksikan dua insan yang Tuhan titipkan untuk menjaga hidup hingga matinya.

Sementara hari lalu berkisah tentang rumah, siang hari ini, seperti rutinitasnya latihan intens sebelum Komka. Ale berlari dari base satu ke base lainnya sambil mengamati gerak bola hasil pukulannya di udara. Saking cepatnya dia berlari hingga menimbulkan sampah botol minum di sisi lapangan terjatuh. Semua orang yang menontonnya berlatih begitu terpesona, terutama Leoni. Gadis itu sudah berdiri dengan satu kotak makan sore untuknya, tak sabar menunggu kapan Ale selesai berlatih.

Marino melambaikan tangan saat perutnya terasa melilit sebab kelelahan.

Anak-anak lainnya pun meminta waktu untuk makan. Semuanya berkumpul di bawah pohon, Ale meraih handuk, lalu diseka keringat olehnya. Minuman dingin berisotonik menjadi pereda teronggorokan keringnya. Ale berpedar, tak ada tanda-tanda Hira datang ke lapangan sore ini. Ale bangkit dari duduknya, meraih bola yang tergeletak di tanah. Kemudian berjalan menjauh dari para koloninya, saat sang pelatih manggilnya.

Ale terlihat gugup selain anak-anak gadis sekolahnya menyoraki, Hira pun ternyata berdiri mengamati di samping dinding lemari tempat menyimpan alat-alat olahraga dengan tangan memegangi botol minum. Ale menoleh dahulu pada gadis itu, sebelum menghampiri sang pelatih. Hira mengangguk tanpa alasan, dia senang saja melihat Ale demikian bersemangat hari ini.

Pelatih membelai rambut Ale dengan lembut, wajahnya yang berseri-seri membuat pemuda itu semakin gugup. Ale berujar, “Ah, Coach jangan gitu malu tau!”

“Emmm, kerja bagus. Hari ini kalian main cukup bagus,” puji sang pelatih dengan kedua ibu jari terangkat ke udara. “Tapi, sampai kapan kamu mau mukul bola dengan cara itu?”

Ale terdiam syok.

“Al, jangan berambisi memukulnya dengan keras. Kamu juga harus punya nilai, pukulanmu harus tepat juga harus elegan disamping kuat. Ingat, batter juga harus bisa mengendalikan emosi dan egonya. Kami menghargai setiap pukulanmu, tapi home run aja nggak cukup.”

“Iya, aku akan berusaha sebaik mungkin.” Ale mengangguk.

“Kita kumpul jam lima sore, ya. Habiskan waktu lima belas menit buat istirahat sebelum evaluasi.” Pelatih pergi, masuk kembali ke arena gedung utama sekolah.

Ale lantas menghampiri Hira yang sudah menyambutnya dengan senyum antusias. Tangannya menyodorkan botol minum pada Ale, gadis itu masih senantiasa tersenyum. Ale mengusap tengkuknya dengan malu-malu. “Sorry, gua nggak bisa nemnin lo jajan cilor. Ada evaluasi hari sampai isya,” cetus Ale canggung.

“Nggak apa-apa, kok. Jajannya bisa kapan aja. Semangat, Ale.”

Ale mengacak-acak rambut Hira, kemudian kembali pada kawanannnya yang menikmati sisa waktu istirahatnya dengan rebahan di lapangan. Disangganya leher dengan kedua tangan sambil memejamkan mata meresapi udara sore ini yang hangat. Sekelebat bayangan hitam seakan menghalangi wajah langit dari kelopak matanya. Ale menggembungkan toraks kemudian membuka matanya perlahan beriringan berembusnya napas.

Hira sudah berdiri di depan wajahnya, dan seluruh kawanannya sudah hilang dari lapangan. Ale lantas menutup matanya kembali, merasa sangat gugup melihat pemandangan saat ini meski senja bersinar amat keemasan amat mendukung untuk sebuah adegan romantis seperti cerita novel best seller atau sinetron anak SMA. Tetapi Ale kepalang malu.

Ale setengah duduk, kemudian mendongak mendapati Hira menatapnya seperti tengah menyiapkan sesuatu. Ale menghela napas berat, lantaran malu-malu bangkitlah dirinya dengan wajah menunduk. Tangannya dilipat ke belakang pinggang, bibirnya naik sebelah. “Kok balik lagi, Ra?"

Pemuda itu beranjak dari tempatnya berdiri, ditolehnya Hira yang masih tersenyum menyimpan rahasia. “Nggak jadi balik, Ra?” tanya Ale bingung.

“Lupa ….” Hira cengengesan sembari menggaruk dahinya.

Ale menatap serius, bibirnya maju mundur menggoda. Pemuda itu berdeham lembut. “Lupa kalau nggak bisa jauh dari Ale, ya?”

Hira melayangkan telapak tangannya ke kepala Ale sampai sahabatnya itu tersungkur karena kaget bukan main. Hira tertawa terbahak-bahak melihat wajah merah Ale. “Lupa kasih tau kalau besok aku bakal latihan. Jadi kamu pulang sendiri,” ungkap Hira dengan santainya.

Ale tercengang, hidungnya mengkerut dengan bibir terbuka seperempat. Ale meneguk ludahnya dengan cepat. “Astaga, kirain apaan, deh. Iya, gua tau, kok, kalau besok jadwal anak paduan suara latihan.”

Hira tersenyum.

Sepanjang jalan setelah berpamitan, Hira merasa sepi, biasanya ada Ale yang akan terus melawak tentang Marino dan seluruh koloninya setiap selepas latihan. Kaki Hira berhenti di depan gerbang, terlihat Nanda berkacak pinggang. Kedua bola mata hitam nan belo Nanda membuat Hira getir. Langkah Hira ragu-ragu. “Aku pulang!” sapa gadis itu seraya melambaikan tangannya.

Nanda sontak membuka pintu, wanita itu tak membalas sapaan adiknya. Hanya tersenyum kecut sembari melirik pintu kamar mandi agar Hira segera bebersih diri.

“Dih, jutek banget, sih!?” kelakar Hira sembari mencomot dagu Nanda. Wanita itu lantas menepis tangan Hira secepat kilat.

“Udah, buruan mandi, makan, terus kerjain tugas. Soalnya gua mau keluar sebentar. Kalau si Ale mampir ada tuh … telor dadar, makan aja dengan santai.” Nanda berkicau dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya jutek bukan main. Bibirnya yang keriting kini menyeringai, mengejek Ale yang bahkan aromanya saja tak ada di sini.

“Iya, iya. Judes banget, sih!”

Nanda terkekeh, di telinga Hira suara itu sangat ngeselin.

Bagian TIGA sudah bisa dibaca.
Publikasi 030921
Bandara,

AVA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro