Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°SATU°


Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

“Anjir!” teriak pemuda berambut gimbal yang berdiri di depan papan pengumunan dengan mata membelalak. Kepalanya lalu celingukan mencari sesuatu, bibirnya kembali berteriak, “Sumpah, ini orang gila apa, ya?”

“Kenapa?” lontar seorang pemuda bermata cokelat tua di balik punggung pemuda gimbal itu yang tak lain adalah Marino.

Onadio Ale Erlangga—berdiri dengan senyum miring pada pemuda tersebut. “Ada yang aneh sama isi artikelnya?” lontar Ale lagi. “Emang udah jelas, kan, kalau gua adalah batter terbaik di sekolah?”

Marino menggeleng, dia kalah—kemudian meneguk ludahnya dengan segera sebelum Ale beranjak dari tempatnya berdiri. Marino berdecak, “Apa editor artikelnya nggak nyunting omongan lo, Le?”

“Buat apa disunting kalau itu fakta?” Ale tersenyum lebar. Senyum yang amat mencekam dan mengintimidasi siapa saja yang melihatnya. Marino kembali mengangguk dengan pelan, kakinya bergerak mengiringi langkah Ale di sampingnya, kedua pemuda itu memasuki kelas yang amat ramai. Beberapa anak terlihat sedang menulis, lainnya bermain gim daring, bergosip sambil nyalon, adapula yang tidur pulas.

Ale menyambar kursi di sebelah sosok gadis yang tengah membaca buku sambil mendengarkan musik dari penyuara tanpa kabel.

“Aku baca artikel kamu hari ini, kata-katanya menarik,” ucap gadis itu dengan santai. Intonasi suaranya yang dingin membuat Ale tiba-tiba tertawa.

Dia—Akhira Swastikaluna, biasa disapa Hira—begitu Ale menyapanya. Seorang gadis yang membuat sosok Ale jatuh cinta, sejak pertama kali berjumpa di usia Ale tujuh tahun hingga kini usianya tujuh belas tahun.

“Bukan Onadio Ale jika tidak bisa memukul bola dengan kuat hingga mengenai wajah pelemparnya itu sendiri atau orang-orang di bangku penonton hingga mimisan. Bukan Onadio Ale jika tidak bisa berlari dengan kedua kakinya yang kokoh. Dan, bukan Onadio Ale jika tidak bisa mengalahkan Tim Galantika 2002 di turnamen terbuka nanti!” gumam Hira sambil mebaca bukunya.

Gadis itu berbalik menatap Ale. “Apa itu nggak berlebihan, Al?”

“Nggak, itu malah kurang. Harusnya aku tambahin kalimat, Nando jangan banyak tingkah, reputasi lo abis bentar lagi,” jawab Ale dengan wajah datar.

Hira menghela napas panjang kemudian beranjak dari tempatnya duduk keluar dari kelas. Ale terdiam, dia menggulirkan kedua bola matanya dengan jenuh. Pemuda itu menutup kepalanya dengan jaket, lantas menempelkan pipi serta kepalanya di permukaan meja. Kelopak matanya terpejam dengan erat sesaat sebelum bel berbunyi.

Pemuda itu mengangkat kepalanya sambil merasakan suasana kelas yang panas nan bising. Jam pelajaran berikutnya dimulai, semua akan menjadi tenang di kursinya masing-masing setelah bu guru duduk di kursi depan dengan tatapan mata elang. Tak lama Hira datang lantas duduk anggun di sebelah Ale, seperti biasanya.

Namun, tak enak hati, Ale bertukar tempat dengan teman di sebelahnya. Entah mengapa, rasanya Ale tak ingin membuat suasana hati Hira rusak di jam mata pelajaran kesukaannya—Fisika. Buku catatan dibuka, sebuah tugas yang hari lalu dikerjakan dengan Hira, ditatapi Ale dengan khidmat.

Sejak dulu, Hira selalu menjadi gurunya ketika mengerjakan tugas rumah. Sebab, Ale tak punya panutan, pelindung, penjaga atau seorang yang dengan tangan terbuka memberikan secuil pelajaran jikalau dirinya tak bisa. Kedua orang tuanya amat sibuk dengan pertengkaran yang selalu terlaksana tiap pagi, seperti apel. Atau setiap siang seperti suara perut kelaparan, bahkan malam hari seperti suara serangga yang beradu mulut untuk memperebutkan mangsa. Begitu setiap harinya.

Ale harus hidup dalam rumah yang tak lagi menyimpan sisi hangat. Tak ada aroma nasi yang dinanak dan mengepulkan asap untuk sarapan. Tak ada camilan kue manis dengan sari jeruk peras untuk menyapu tenggorokan yang kering, atau santapan ringan sebelum tidur dalam keadaan kenyang. Semuanya tak lagi ada selepas ibunya selingkuh dan ayahnya sibuk main perempuan. Yang tersisa hanyalah kesendirian yang ditemani kehadiran Hira sebagai tetangga baru yang menjelma jadi cinta juga bagian hidupnya.

Orang asing yang memberinya senyum  sebagai penyambut pagi sebelum bertemu ibu atau bapak guru. Orang asing yang menawarkan makan setelah pulang sekolah, dan orang asing yang mengatakan, “Selamat tidur, Al; semoga mimpi indah!”

Hiira adalah orang asing yang membuat Ale tak pernah ingin kehilangan kehadirannya. Orang yang ingin selalu Ale jadikan sahabat terbaiknya.

Tak terasa, jam ke tiga kelas sudah selesai, istirahat ke dua sedang berlangsung. Seperti biasanya, sekolah akan dimulai pulul 06:45 dan berakhir pada pukul 15:50, dan saat ini memasuki pukul 12:50; masih tersisa sekitar tiga jam menuju jam pulang. Ale menyandarkan punggungnya sambil menikmati suasana taman sekolah yang rindang dengan berbagai jenis tanaman, salah satunya tomat ceri manis semu asam favorit pemuda itu.

Dengan pandangan kosong Ale menkmati kudapan gratisnya, juga lemparan bola berbahan kulit putih dengan pola jahitan merah di tangannya yang dilemparkan ke udara lalu kembai lagi ke tangannya. Seorang penjaga taman berteriak pada Ale, “Den, jangan nyampah di situ, nanti bapak kepala marah!”

Ale hanya berdeham dengan cuek.

“Den, jangan dimakan terus tomatnya, nanti pohonnya gundul.”

“Iya, Pak!” jawab Ale ringkas lantas beranjak dari tempatnya duduk. Terlihat beberapa siswi berjalan ke arahnya dengan senyum genit yang menjijikan di mata pemuda itu. Ale segera berjalan dengan cepat untuk menghindari, akan tetapi sosok Leoni—si primadona sekolah yang katanya punya suara indah seperti Hira—menarik tangannya dengan lembut.

Ale terpaksa menghentikan langkahnya dengan malas. Dagunya terangkat sedikit dengan bola mata memicing.

“Tomat ceri kesukaan bintang sekolah,” ucap Leoni dengan manja.

“Gua nggak makan makanan dari tangan orang. Sorry,” balas Ale dengan raut wajah datar. Suaranya yang berat nan serak membuat Leoni tersenyum menggigit bibirnya. Lagi-lagi kegenitan Leoni hanya membuat Ale jijik.

“Gua juga bisa kali sama kayak Hira. Gua bisa nyanyi, dan suara gua bagus. Masih ragu buat nerima cinta gua, Al?” goda Leoni dengan bibir yang lagi-lagi digigit sembari senyum-senyum tebar pesona.

“Semua anak paduan suara pasti bisa nyanyi. Tapi nggak ada yang sebagus Hira. Dan jangan pernah deketin gua, karena gua nggak mau buang-buang waktu sama orang yang gua nggak suka,” tandas Ale dengan enteng.

Pemuda itu lantas berlari melewati koridor papan pengumuman menuju kelas, dia tak boleh telat masuk kelas Bahasa Inggris, bukankah selain kemampuan di lapangan kemampuan Bahasa bisa membantu karirnya sebagai atlet? Pikir Ale sambil berlari menikmati aroma papan pengumuman yang dipenuhi berbagai artikel tentangnya.

Ale berlalu melewati meja Hira begitu saja. Hira menoleh sambil tersenyum samar. Pupil hitam milik Hira menjadi besar, menandakan dirinya terkejut bercampur heran. Baru kali ini Ale terlihat cuek, apa karena tadi aku bacain artikelnya? Pikir Hira menerawang wajah Ale.

Dengan senyum irit Ale menatap, kemudian tertunduk pada bukunya, mendengarkan langkah seseorang masuk ke kelas dengan heboh.

“Bukunya tutup, mari kita quiz!”

Sontak seluruh penghuni kelas bersorak, menolak sebuah kalimat yang baru saja terlontar dari mulut ibu guru yang kini berdiri tegap di depan kelas dengan mata memindai. Meskipun demkian mereka tetap memasukan buku ke dalam tas masing-masing dengan wajah kecewa. Ale menelan ludahnya, bola mata sang guru tepat menerobos pertahanannya. Senyum canggung terbit di wajah pemuda itu, tangannya bergeriliya di atas kulit kepala.

Ale terkekeh kecil, “Kenapa, Bu?”

“Bukunya simpan di dalam tas, ya, Ganteng!”

Semua tertawa, termasuk Hira. Suara nyaring nan renyah gadis itu membuat Ale menoleh lantas mendesah kesal. Pemuda itu menutup tubuhnya dengan jaket. Lagi-lagi pemuda itu mendesah berat. “Ada apa lagi, Bu?” tanya Ale pada sang guru yang menatapnya dengan cermat.

“Seragamnya, Ale. Mohon diperhatikan, kalau rapi ‘kan, nambah tingkat kegantenganmu juga,” cibir sang guru.

Narasi panjang beriska segala materi quiz mulai diperdengarkan. Semua anak tampak serius dengan pemikirannya masing-masing, termasuk Hira yang berusaha kuat mengingat setiap kalimat yang terdengan penuh penekanan. Apa itu kisi-kisi tersirat? Batinya menerka-nerka.

Kertas pun dibagikan, sudah ada sepuluh pertanyaan beranak a, b, c, hingga e pada lembaran tersebut. Senyum seketika terbit di bibir Hira, benar dugaannya; beberapa soal mengacu pada kalimat berintonasi penuh tekanan tersebut. Bagi Hira, kadang ibu guru yang satu ini mudah ditebak, walaupun sisanya lebih banyak mudah mengomel.

“Waktu kalian dua puluh lima menit dari sekarang!” ujar sang guru dengan santai, kemudian beliau duduk sambil mengawasi setiap pergerakan seluruh siswanya.

Hira menoleh pada Ale, terlihat jelas jika pemuda itu juga cukup mendengarkan, beberapa pertanyaan sepertinya hendak diisi. Bola mata gadis itu kembali pada lembar jawabannya. Suara bisik-bisik mulai silih bersahutan dari kursi di belakang duduknya. Meski begitu, Hira tetap bergeming. Memilih menjadi orang pelit untuk sesaat daripada kehilangan nilai kuis untuk nilai tambahan. Karena bagi Hira, akumulasi nilainya kelas akan membawanya pada dunia kampus yang diharap dan mimpikan.

Ale terdengar mengetuk permukaan meja dengan bolpoinnya. Hira menoleh mendapati lembar jawab milik sang sahabat sudah hampir penuh, bola matanya melirik pada jam tangan di pergelangan kanan Ale, sebab pemuda itu kidal. Waktu berlalu sudah tujuh menuju delapan menit. Dan Ale terlihat sangat serius mengerjakan tugasnya. Hira tersenyum simpul, dadanya terasa panas juga tak karuan ia berdetak.

Menatap wajah Ale sedang begini, selalu teringat masa-masa kecil ketika Ale selalu menangis jika tak bisa mengerjakan suatu soal. “Waktu berlalu begitu cepat, Al,” gumam Hira masih menatapnya lekat-lekat,

Selepas jam sekolah selesai, rutinitas anak ekstrakurikuler adalah latihan. Beberapa punya jadwal tersendiri. Seperti tim bisbol. Mereka akan latihan setiap harinya, tanpa terkecuali.

Matanya menatap tajam pada kepalan tangan Marino yang berisi bola putih berjahitkan benang merah tersebut. Posisi badannya miring, dengan kepala lurus ke depan. Tangannya dengan erat memegangi tongkat kayu. Napasnya berembus dengan ringan. Tongkat diayunkan saat bola dari tangan Marino melesat cepat dan lurus ke arahnya.

Permukaan tongkat kayunya membentur bola kulit tersebut dan terlontar ke udara. Kakinya dengan sigap berlari menuju base pertama dengan kilat sebelum bola tertangkap. Ale berlari dan terus berlari melewati base per base, hingga kembali ke rumahnya semula. Dia bersorak gembira.

Marino, dan anak-anak lainnya berdecak. “Ah, gila, pukulan lo emang susah ditangkap di udara atau di darat! Sampai kapan bakal home run kayak gini terus?” kata Marino dengan kesal.

“Bagus dong, tim lawan nggak akan cetak poin banyak kalau setiap inning-nya pemain tim kita home run?” balas Ale dengan senyum percaya diri. Bola matanya berpedar pada anak-anak lainnya yang mengangguk setuju.

“Tapi, gua sebagai pitcher merasa gagal.” Marino menyeringai.

“Udah untung nggak ball sepanjang permainan, auto jalan sendiri sampai ke rumah masing-masing,” timpal yang lainnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Wajah Ale yang putih, memerah saat cahaya matahari yang terik sinari dirinya. Meski sudah memakai tabir surya dan topi, kulitnya tetap melepuh bahkan kerap kali hangus dimakan panas. Pemuda itu beranjak duduk di bawah pohon sambil menikmati udara segar yang melepaskan segunduk rasa gerah di tubunya. Peluh bercucuran di tubuhnya tersapu oleh handuk kecil yang tersedia di dalam kotak pendingin bersama air minum isotonik.

“Nikmati aja, setiap permainan, kan, emang ada suka dukanya, Mar,” lontar Ale dengan ringkas. Pemuda itu bersendawa nikmat setelah membasahi kerongkongannya yang kering. Wajah Ale mendongak, meresapi angin di bawah terik matahari yang segarkan peluhnya. “Paham, Mar?” imbuhnya lembut.


Nah, SATU sudah update.
Bandara, 010921
Kenalan sama Ale dan Hira, dulu, ya.
Kenalan sama Authornya juga boleh, kalau mau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro