°LIMA°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Di kediamannya, Ale tidak bermaksud memperkeruh suasana hari lalu atau hari ini, hanya saja sudah cukup letih mendengar perdebatan tak berujung kedua orang tuanya. Pertengkaran sejak sore tak surut. Ale memandang penuh amarah saat ibunya berkemas dengan koper besar. Pemuda itu mengepalkan seluruh kekuatannya, menekan gerahamnya dengan kesal. Walaupun begitu, wajahnya tampak gelisah, dan bola matanya gemetaran.
Ale menyugar rambutnya, pemuda itu merintih, “Bunda yakin akan pergi bahkan aku belum menunjukkan performa terbaik yang aku punya?” Ale memandang sendu jadinya.
Wanita itu tampak tak hiraukan ucapan anaknya, melirik pada sosok pria yang terkulai lemah tak berdaya di atas sofa. Pria yang baru saja memukuli seluruh tubuhnya dengan berbagai benda yang ada di sekelilingnya. Wanita itu berdeham, “Iya, untuk apa Bunda tinggal di sini jika ayahmu tidak pernah peduli dengan nasib rumah ini? Jika ada pria lain yang bisa menafkahi lahir batin, mengapa Bunda harus tinggal?” paparnya dengan aura amat murka.
“Meski jadi perusak rumah tangga orang lain? Apa itu bisa dibenarkan? Aku malu, Bunda.” Ale mengaduh kesakitan.
“Bunda lebih malu!” raungnya dengan tangis yang mengiris hati. Wajahnya menjadi merah berkeringat, bola matanya berair basahi pipi dan seluruh riasan di bibirnya pudar. Wanita itu menunjuk pada pria yang terkulai tersebut. “Sampai surat perceraiannya resmi keluar, Bunda akan tetap kirim uang. Terserah mau dipakai apa, setelah itu jangan cari lagi, atau datang ke rumah itu!” pangkasnya menyudahi.
Lantas dirinya pergi membanting pintu, meninggalkan Ale yang berdiri mematung kesakitan.
Ale menundukkan kepalanya, menahan air mata yang meluap-luap sejadinya. Pemuda itu terjatuh ke lantai, punggungnya bersandar ke dinding. Bola matanya mengamati seluruh lantai yang dikotori berbagai barang pecah belah. Ponselnya berdering, sebuah pesan dari Hira, jikalau gadis itu sudah menunggu sejak tiga puluh menit di taman komplek. Ale bergegas menemuinya, meski masih sakit terasa setiap kali kakinya melangkah keluar rumah. Namun, diam pun tetap menyakitkan hatinya.
Semuanya menjadi putih, mengalum sempurna lantas pergi. Begitulah bulan tampakkan dirinya malam ini. Di jam delapan lewat sepuluh ini, kaki Ale menjelajah tanah kota yang tak pernah tidur. Kerlap-kerlip lampu gedung dan taman iringi perjalanannya. Hira sudah berdiri menyambutnya dengan lambaian tangan hangat. Senyum gadis itu membuatnya merasa semakin tenggelam dalam sakit.
Bukankah akan lebih baik menjadi yatim piatu seperti Hira? Tak perlu mendengarkan berbagai keluhan menjijikan setiap harinya? Bukankah menyenangkan hanya tinggal seorang diri saja? Mungkin opsi yang lumayan baik tinggal dengan saudara yang diam-diam perhatian? Bukankah tak harus berjuang sendirian? Batin Ale carut-marut tak karuan. Pemuda itu sesekali mendongak ke langit sambil menarik napas panjang guna menenangkan dirinya.
Hira melambaikan tangan di bawah langit yang terang. Malam ini Ale datang ke taman sesuai janjinya. “Kamu ke mana aja, Al?” tanya Hira dengan girang.
“Gua tadi abis nugas dulu, nggak fokus ke hape,” kilah Ale sambil tersenyum kikuk. “Maaf dua hari nggak sekolah. Gua bener-benar sibuk.”
“Tadi siang anak-anak nanyain kamu, aku bilang kamu ada urusan tapi mereka not sure,” goda Hira sambil menepuk-nepuk bahu Ale. Gadis itu tampak sangat ceria nan girang malam ini. Ale rasa demikian. Tak seperti biasanya jika terlambat bertemu masih tetap ceria, itu mustahil.
Hira menyangga duduknya dengan tangan memopang ke belakang. Mata gadis itu menerawang langit yang biru keunguan. Suasana taman sedikit sepi, pasalnya belum banyak yang datang. Sebab hari ini Kamis, bukan malam Minggu.
“Ada sesuatu yang bikin lo bahagia, Ra?” tanya Ale sembari melirik dalam-dalam.
Hira mengangguk antusias, kemudian berseru semangat. Wajahnya menjadi merah jambu, dan senyum sumringah bibirnya menjadi semakin lebar tatkala gadis itu berbalik menatap Ale. “Emm,” angguknya, “aku akan jadi pengiring tim kamu di kompetisi terbuka nanti.”
“Really, seriously?” Ale terperanga, bola matanya membulat dan membesar. Ale menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Tangannya memukul lutut dengan spontan, “OMG, gua nggak percaya,” ledeknya agak sok ganteng.
“Sesuai janji kita dulu, kan?” Hira menatap yakin. “Padahal aku nggak mikir bahwa latihan tadi itu seleksi buat nanti. Aku berderet sama kak Kirara, loh!”
“Wah, selamat udah bisa berderet sama kak Kirara.”
Hira tertawa. “Kok kayak nggak senang gitu?” tanyanya dengan wajah cemberut.
“Gua seneng, kok. Cuma gugup aja kalau nanti penampilan lo ternyata lebih bagus dari gua. Bisa curi panggung, dong?” Ale balik menggodanya sampai salah tingkah.
“Kamu tetap nomor satu, Al.” Hira berbisik lembut.
Ale memeluk Hira, pemuda itu sesegukan sambil meremas jaket yang Hira kenakan. Tubuhnya yang bergetar membuat Hira terkunci dalam perasaan terkejut, parahnya sama-sama ingin ikut menangis. Ini pertama kalinya Ale tampak sangat kacau, tak seperti biasanya dia sehancur ini. Kalau dulu mungkin terlihat biasa bagi Hira. Punggung Ale diusap Hira.
“Ada masalah apa, Al?” lirih Hira.
“Gua nggak akan kalah dari Nando, kan? Gua bisa bawa nama sekolah ke ajang bergengsi tanpa kalah, kan, Ra?” tanya Ale menatap Hira dalam-dalam.
Tatapan matanya yang agak padam berhiaskan air mata membuat Hira hanya terdiam sambil tersenyum samar. Hira mendaratkan tangannya di puncak kepala Ale, mengacak-acak rambut hitam agak cokelatnya dengan asal.
Hira menggeleng anggun, sekali lagi dia tersenyum samar. “Nggak akan kalah. Karena Ale selalu jadi pemenangnya. Aku yakin, kamu pasti bisa melawan mereka, ingat yang pernah dikatakan seseorang, lawanmu adalah dirimu sendiri.”
Ale merajuk dengan bibir manyunnya.
“Jadi, kalahkah rasa takutmu. Nando bukan hal yang harus kamu takutkan.”
Ale semakin sendu. “Emm, hibur gua doang,” pintanya manja.
“Ish, ujungnya jelek,” cebik Hira kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Ale. Gadis itu larut menikmati malam, kelopak matanya turun perlahan. “it don’t matter where I am, I’ll always be there, like you’ve been there, gitu kata Harris J di lagu I promise.”
Ale pun menyandarkan kepalanya pada Hira, menikmati suasana malam, singkatnya sebelum esok hari yang pengap kembali pada aktivitasnya yang padat merayap. Hampir dua puluh menit keduanya bercerita kisah masing-masing tentang kegelisahan. Keduanya memutuskan untuk pulang sebelum jam sembilan.
Pagi ini, Ale tidak terlambat bangun karena Hira mengiriminya alarm. Seperti beberapa hari lalu, keduanya duduk tak bersama. Bagi Ale ternyata lebih nyaman memandang dari kejauhan, daripada berdekatan tapi tak bisa memandang karena canggung. Hira bersenandung, dan Ale menjadi pendengar setianya. Gadis itu begitu menikmati nyanyiannya dan Ale menikmati rona kemerahan di wajah gadis itu sebab udara yang mulai hangat.
Aaron terlihat memasuki kelas dengan Radian. Keduanya saling merangkul, tertawa-tawa receh, sesekali saling senggol rusuk satu sama lain. Aaron langsung menyambar kursi Nadia, duduk di meja Ale dengan tatapan menggoda. “Ke mana lo kemarin? Dicariin bu Endang. Katanya kalau nggak ada Ale nggak ada yang bisa disuruh ngerjain tugas di papan tulis,” seloroh Aaron dengan wajah dan suara menyebalkannya.
“Ada.”
“Terus kenapa nggak ke sekolah?” Radian menimpanya. “Kangen, nih.”
“Dih. Eh, gimana, gimana, soal usuran strategi buat turnamen?” tanya Ale mengalihkan perhatian kedua sahabatnya tersebut. Ale melipat kedua tangannya di meja, membuat tubuhnya condong pada Aaron dan Radian.
“Nggak tau, tuh. Soalnya kemarin coach cuma ngasih jadwal latihan intens sama line up doang.” Aaron tersenyum, bibirnya maju-mundur.
“Soal pencairan dana?” sahut Ale, diam-diam matanya melirik pada Hira. Gadis itu tengah membaca buku, seperti biasa dengan penyuara tanpa kabel di daun telinganya.
“Gua dengernya, sih, sama rata sama ekskul lain.”
Ale menoyor kepala Radian. “Kan beda level. Udah pasti kalau kita di stadion utama. Internasional Baseball Arena, Jakarta City. Masa samaan?”
“Ehehe, iya, mana gua tau!” Radian sewot.
“Harus demo nih gua!” seru Ale semangat. Telapak tangannya menghantam meja.
Aaron dan Radian ikut berseru, membuat suasana kelas jadi ramai. Tak berselang lama, bel masuk jam pertama berbunyi.
“Selamat pagi, anak-anak, sesuai janji hari ini Lab. Fisika-Kimia, ya! Jangan lupa bawa buku masing-masing! Ale, buku absen masih di ruang kesiswaan. Silakan ambil!” beo pak Syahril di depan pintu.
Seluruh siswa berhamburan keluar kelas.
Pergantian demi pergantian waktu terus berputar. Dan bel terakhir di jam empat, menandakan waktu pulang ke rimba masing-masing. Kali ini, Ale dan Hira sama-sama harus latihan untuk Komka mendatang. Sebetulnya Ale lelah, tapi di rumah pun Ale tak ada kegiatan. Hanya menambah beban pikiran buang-buang tenaga saja. Ale terkantuk-kantuk di meja dengan bibir menganga. Sedangkan temannya sudah berganti seragam.
Bagian LIMA. Sudah selesai ditulis dan siap dibaca! Saranku, kalian bisa baca sambil denger lagu I Promise dari Harris J ataupun Silent Cry dari Stray Kids. Pasalnya, bab ini ditulis sambil mendengarkan kedua lagu itu.
Sekian.
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWritingChallenge
Bandara
Publikasi, 050821
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro