Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°ENAM BELAS°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

[Play this]

Tubuh Ale gemetar hebat, bola matanya membelalak. Dan keringat dingin mulai mencucuri seragamnya. Sontak dirinya berdiri sembari mengerjap. “Eh, Coach?!” lontar Ale diselimuti rasa takut dan gugup berbarengan.

“Kenapa nggak masuk kelas, Al?” Suara lembut khas pria dewasa itu membuat Ale menundukkan kepalanya berpasrah diri akan konsekuensi yang akan didapat. Sebuah belaian dari tangan pria itu membuat Ale mendongak, dengan tatapan mata menyendu.

“Saya harus mendinginkan isi pikiran sebelum masuk kelas. Saya pikir menikmati angin di sini mungkin bisa membuat saya merasa segar kembali.”

Mendengar pembelaan diri dari anak didiknya yang istimewa tersebut. Pria itu hanya bergeming, melipat kedua tangannya di depan dada. Tak ada balasan baik itu pertanyaan mengapa yang mendesak atau sejenisnya. Pria itu lebih memilih menarik pergelangan tangan Ale, mengimbangi langkahnya menuruni anak tangga. Keheningan yang berada di antara keduanya, ampuh membuat Ale merasa sesak di dada, yang jadi masalah Ale tak berani bertanya ataupun melawan perlakuan pelatihnya yang sudah dianggap sebagai orang tua pengganti tersebut.

Langkah keduanya menyusuri koridor, melewati kelas-kelas yang sudah duduk tertib menyimak pembelajaran, adapula kelas yang gaduh karena belum ada guru. Ale menjajaki anak tangga lantai dua, menuju kelasnya di jurusan IPA kelas sebelas. Pelatihnya sedikit mendorong tubuh Ale ke depan pintu kelas, saat pak guru duduk bercakap-cakap bersama seisi kelas. Hira yang tak sengaja menoleh mendapati Ale berdiri kaku dengan pelatih yang berada di belakangnya beberapa jengkal. Pak guru menolehkan kepalanya, mengikuti pergerakan bola mata Hira.

“Tanggungjawab kamu bukan hanya di lapangan, atau bisbol. Kelas juga harus jadi prioritas, sana masuk,” tutur pria itu dengan senyum ramah nan bijak. Dituntunnya Ale hingga memasuki kelas. “Pagi, Pak, Ale-nya saya pinjam sebentar, tadi.”

“Nggak apa-apa. Kelasnya juga baru mau mulai, Pak,” balas pak guru yang sama-sama melempar senyum ramah secerah mentari.

Ale melangkah dengan lunglai, begitu yang Hira bisa lihat, meski lainnya melihat Ale baik-baik saja dengan senyum malu-malu kucing. Hira mengamati Ale yang menyambar kursi di sebelah Ralle. Kepalanya tertunduk meski Ralle mengajaknya berbincang sembari bisik-bisik.

Kelas dimulai saat pelatih Ale benar-benar pergi dari depan pintu. Materi sederhana diberikan pak guru mengenai aritmatika, geometri dan sedikit bahasan fisika untuk bidang miring juga kelajuan. Mata pelajaran Fisimatika tersebut berjalan setengah waktu, dan pak guru hanya meminta para siswa mempelajari modul yang dibagikan lewat grup Line.

Hira mengetuk permukaan meja Ale, pemuda itu menengadah dengan embusan napas lembut. Menolehkan dirinya pada Hira yang menunggu dirinya tersenyum. Kedua bola mata Ale menjadi sendu dibuatnya. Beberapa jenak keduanya saling berpandangan, Ale kemudian menengok pada jendela yang memerlihatkan suasana langit yang semakin biru. Menoleh lagi dirinya pada Hira dengan senyum bungah.

“Kenapa, Ra?” tanya Ale ringkas, sembari mengerling.

“Nggak, sih. Tadi aku cariin kamu tapi nihil. Taunya kamu sama coach Dinar,” ucap Hira yang lalu mengacak-acak rambut Ale dengan lembut. “Kirian bolos!” imbuh Hira dengan lidah terjulur mengejek.

Ale terkekeh pelan, padahal memang tadi niat hatinya bolos pelajaran jika pelatihnya—coach Dinartidak datang memergoki dirinya di atap. Anak-anak mulai sibuk pada dunia masing-masing, Ralle, Radian dan beberapa siswa memutuskan menyelesaikan tugas dan akhirnya duduk di pojok untuk melanjutkan gim daring tempo hari. Hira memilih membaca buku pelajaran bab ini, sembari mendengarkan lagu. Bola mata Ale sigap memerhatikan sekitarnya. Pedar tajam miliknya selalu saja menangkap hal unik yang orang mungkin tak lihat, seperti saat ini Jeriko diam-diam mengupil, Divas yang mengorek kuping lalu disusutkan jarinya ke kolong meja dan lainnya. Namun, ada satu yang buat Ale jadi gundah.

Ale mendekati bangku Hira, berjongkok dirinya di samping tubuh Hira. Dipegangi tangan Hira dengan erat oleh Ale. Hira menoleh dengan senyum heran yang irit. Alis matanya bertaut menimbulkan lipatan-lipatan penuh tanya. Ale mendesah parau. “Lo nggak lupa minum obat, kan?” tanya Ale cemas.

Hira membuka penyumpal telinganya. “Nggak, kok.”

Sejak Ale tahu jika Hira mengidap tremor kadang kala dirinya gelisah. Takut Hira telat minum obat atau celaka. Ditambah saat itu ketika ada pemeriksaan, ternyata Hira menderita Hipotiroid genetika, yang ayahnya turunkan dan tremor yang ibunya juga turunkan.

“Jangan lupa minum obat, ya!” ucap Ale kemudian dia bangkit. Tangannya membelai puncak kepala Hira dengan penuh sayang. Berlalu Ale dari kelas menuju kantin, yang kalau penuh mungkin perpustakaan lebih baik.

Membahas Hipotiroid yang dialami Hira, adalah sebuah keadaan dimana kelenjar yang bernama tiroid tidak dapat menghasilkan hormon (tiroid) dalam jumlah cukup atau normal. Tiroid sendiri adalah kelenjar kecil yang berada pada pangkal leher yang jika pada laki-laki letaknya di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini pada dasarnya berfungsi sebagai penghasil hormon yang mengontrol metabolisme tubuh, mengatur suhu tubuh hingga detak jantung.

Tak jarang, meski tak dalam kondisi gugup penderitanya merasakan debaran jantung yang ekstra cepat dan kencang. Seperti habis berlari, bahkan dalam keadaan duduk pun rasanya jantung berdebar-debar dan kelelahan. Juga yang Ale tahu jika Hira selalu mandi dengan air hangat sebab para penderita hipotiroid biasanya mereka intoleransi terhadap cuaca apalagi dingin atau disebut cold intolerance. Tak jarang pula di siang bolong gadis itu akan berjalan di rumah dengan kaos kaki. Atau sebaliknya banjir keringat dan amat kegerahan meskipun berdiam diri di ruangan ber-AC. Diagnosis awal yang terjadi pada Hira adalah Hipertiroid, atau kelebihan hormon tiroid dalam tubuh. Pengobatan dengan mengonsumsi obat anti tiroid dan terapi ablasi menggunakan cairan iodium radioaktif.

Di awal pengobatan, Hira ditangani beberapa dokter spesialis kedokteran nuklir, hingga memutuskan menetap menjadi pasien khusus di salah satu rumah sakit sederhana di jantung kota. Terapi ablasi yang Hira jalani tidak terlalu membuahkan hasil baik, kemungkinan besar 80 persen peluang sembuh dan sisanya Hira akan terkena Hipotiroid seperti saat ini. Namun, Hira tidak terlalu peduli akan hal itu. Dalam hatinya tertanam apa pun hasilnya Hira sudah berusaha untuk sembuh. Tetapi karena sudah mengidap Hipotiroid, seumur hidup mungkin akan Hira habiskan dengan meminum obat seperti biasanya. Obat yang fungsinya sebagai hormon sintetis, karena dalam keadaan hipotiroid kelenjar tiroid seseorang jadi kurang aktif, akibatnya sistem metabolisme tubuh melambat.

Sepanjang jalan memikirkan Hira, kakinya sampai di perpustakaan. Ale meraih sebuah buku dari rak yang begitu sepi. Dibacanya buku berjudul Wuthering Heights karya Emily Brontë. Kisah Heathcliff dan seluruh penghuni Wuthering Heights, percintaan, muka masam, tingkah kejam, licik dan lainnya yang kadang buat Ale tersenyum miris terutama pada nuansa klasik yang kelam tentang balas dendam.

Ale menghentakkan kepalanya pada buku, mencoba lenyapkan resah gelisahnya. Bulan depan dirinya harus kembali ke Komka melawan Orion Jatim 2000 dan tentunya koloni Nando yang tak pernah habis topik untuk menggunjing dirinya. Sebungkus roti kukus hangat yang mengepulkan asap serta aroma cokelat pandan yang sedap membuat Ale terperanjat. Senyum yang pagi tadi sukses memengaruhi kinerja jantung Ale berdebar kencang, saat ini perasaan itu terulang kembali.

“Makan dulu, kata para seniormu, berat badan kamu turun drastis. Kenapa? Puasa atau diet?” sentilnya berlayak cuek dan dingin, tetapi kilat hangat di kedua bola matanya membuat Ale tersenyum.

“Kan ini perpustakaan, nggak boleh makan.”

“Makan aja, nggak apa, asal bekasnya dibereskan. Lagi pula, hari ini saya yang jaga perpus,” urai pria itu—Dinar—dengan tutur lemah lembut.

Ale dengan segera menyuapkan roti kukus terserbut dengan lahap. Tangan pria itu mendarat di punggung Ale lekas dielus punggung lebar yang sedikit bungkuk akibat tangan bertumpu sembari memegangi roti. Embusan napas hangat lolos dari bibirnya. Sudut bibir itu agaknya bungah, bersinar ria. Namun, kenyataan di bibirnya berbanding terbalik dengan tatap matanya yang masygul, tak bergairah, seakan mengibakan setangkai ranting tua yang bisa saja tumbang saat diterpa badai, atau berguguran saat angin menggulung dahannya dengan erat.

“Tuhan nggak suka kalau kita hidup hanya untuk menyakiti diri. Tuhan nggak akan memaafkan umatnya yang berbuat jahat, terutama pada dirinya. Ada kalanya, kita benar-benar harus menghentikan kebiasaan itu, untuk membahagiakan diri.”

Kalimat bersuara pilu itu membuat Ale terhenyak, menghentikan gerakan menyuapkan roti juga mengunyahnya. Bola mata Ale menyudut pada sang pelatih. Pipi yang dipenuhi roti itu gemuk dibuatnya. Keheningan kembali menyergap ruang perpustakaan yang berbalutkan aroma kertas tua, serta debu yang lembab. Pria itu kembali menghela napasnya, menahan kening dengan tangan yang terkepal di depannya. Tubuhnya agak meringkuk, kedua bola matanya terkatup rapat. Ale hanya bisa menatap, menelan sedikit demi sedikit roti di rongga mulutnya. Tak ada pembicaraan hampir sepuluh menit berlalu, bahkan roti itu kini dingin di setengah potongan terakhir gigitan Ale.

“Utang ayahmu biar saya yang bayar. Sekarang fokus kamu hanya belajar, boleh kamu berjuang mati-matian, tetapi kamu juga harus menata masa depanmu, Al. Tetaplah jadi ujung tombak untuk masa depan yang cerah di depan sana. Biar masa lalu itu jadi masa lalu,” singkapnya.

Bab 16. Bab 17 sebetulnya sudah ada tapi biar penasaran up terpisah, ya. Masih nungguin nggak, nih?

Kenapa sih harus lagu “Bunga”, Entah ini cocok atau selaras sama isinya. Tapi, bagi Ale mendapatkan Cinta dari orang-orang tertentu itu agak sulit. Membuka hari mereka sulit, cintanya Ale nggak bersambut. Cinta yang bukan hanya pada dunia kecilnya, Cinta Ale ke ayahnya, ibu dan lainnya. Meski Hira ada, Ale tetap merasa jika itu hampa. Aku selalu berharap pesannya sampai ke teman-teman yang membaca. I love you, guys! Ale sayang kalian.

Publikasi 160921
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWriringChallenge

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro