°ENAM°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Seluruh lantai di ruangan aula tempat paduan suara dipenuhi anak-anak yang berlatih olah rasa, vokal dan lainnya. Adapula yang asyik membaca not-not balok di layar ponsel masing-masing. Sedangkan, Hira tengah latihan mengolah suaranya. Kepala gadis itu mendongak, bibirnya bernyanyi. Sensasi bergetar di rongga-rongga mulut dan leher membuat rasa gatal menyerang. Hira langsung meneguk air minum dengan cepat, membuat jantungnya pun ikutan berlarian.
Bibir Hira membentuk huruf a, dari kecil hingga besar. Setelahnya membentuk i lalu u, e, sampai o secara runtut untuk mempertegas artikulasi. Hira sedikit menundukkan kepalanya, kini dia bernyanyi merasakan getaran suara beralih di depan wajahnya dengan halus. Hira berlatih menggunakan head voice, akan tetapi kepalanya langsung berdenyut. Hira pikir, mungkin olah vokalnya kurang.
Manajemen napas dilakukan Hira dengan baik. Sebagai seorang soprano, tentunya Hira tak boleh boros dalam memakai oksigen di seluruh tubuhnya untuk bernyanyi, atau napasnya akan terputus dan mengakibatkan false. Hira meletakkan tangannya di depan perut, sesekali menarik banyak oksigen lalu mengembuskannya hingga terasa rongga dada sangat mengempis. Begitu selama hampir dua puluh menit. Anak-anak lainnya baru saja tiba sebab sebagai dari mereka ada yang piket kelas dulu, bahkan ada yang baru selesai kelas karena ulangan harian.
Mereka langsung pada posisi, melatih vokal dan pernapasan masing-masing tanpa dibantu Hira.
“Ra, jadi soprano buat gua ketinggian!” protes seseorang dari depan pintu. Leoni, berdiri di sana dengan wajah merah cabai. Ketingat gerah basahi lehernya yang juga memerah. “Sumpah itu ketinggian. Kepala gua sampai sakit!” protesnya masih sama.
“Loh, emang kamu latihan juga? Kamu kan bukan tim kita?!” sahut Alina merasa risi atas kehadiran Leoni yang membuat suasana jadi gaduh. Kedua gadis itu tampak saling melotot.
“Terus, mau diturunin? Atau mau dirubah ke mezzo sopran?” Alina terkekeh, bola matanya yang sudah belo semakin saja dia belo. “Lo dari dulu emang nggak cocok di paduan suara. Disuruh nyanyi pakai suara rendah alto aja nggak bisa. Harusnya nggak lolos!”
“Udah, udah. Nanti aku tes kamu deh, kalau ternyata range vokal kamu ada di mezzo atau alto bakal aku bilang sama kak Reren kalau dia datang buat ngajar minggu depan. Sekarang mending kamu latihan supaya pita suara dan otot lehermu nggak tegang. Ada baiknya kamu banyak manajemen napas. Jadi, nggak ngerasa sakit kalau harus melakukan nada tinggi dan head voice.”
Tanpa basa-basi dan rasa berterima kasih, Leoni pergi begitu saja. Rambutnya yang hitam mengkilap dikibas ke wajah Alina dan anak-anak dalam ruangan. Bagi Hira, Leoni memang sosok yang suka cari pesona terutama di depan Ale dan khalayak ramai.
Alina mendesah sebal, “Dasar, sok cantik. Siapa sih yang ngasih label dia primadona? Udah jelas-jelas yang cantik di sekolah itu Hira.”
Yang dituju membelalak dengan mulut terbuka sedikit. Alina mengangguk. “Iya, kamu cantik Hira. Kulit putih, rambut hitam, mata juga hitam, bibir merah alami, badan juga bagus berisi. Nggak kayak bihun yang tipis, atau kwetiau yang lebar,” puji Alina membuat Hira menggelengkan kepalanya malu.
“Udah, ah. Hayo hayoo, kita latihan lagi!” seru Hira semangat. Tangannya terangkat sembari mengepal.
Di lapangan, setelah dua jam berlalu sejak kelas selesai. Ale tengah bersiap untuk pulang. Pasalnya senja sudah hilang, dan petang semakin gelap menuju malamnya. Ale menunggu Hira, hari ini keduanya janjian pulang bersama sambil membahas Komka dan Nando.
“Udah nungguin dari lama, Al?” tanya Hira santun.
“Nggak juga. Gimana latihannya, seru nggak?” balas Ale balik bertanya pada gadis yang kini sibuk membenahi rambut berponinya.
“Seru seperti biasanya. Mendengar suara, bermain piano dan mengejar nada tinggi, selalu mengasyikkan.” Sorot mata Hira begitu bahagia dan melegalkan seperti yang Ale selalu harapkan.
“Bagus, dong.”
“Latihan kamu gimana?” Hira tersenyum antusias. Lincah kerling matanya membuat Ale ikut senang.
“Seru. Hari ini aku pukul muka Marino sama Iden. Sampai mereka kejungkal,” beber Ale cengengesan.
“Kamu emang hebat. Nando aja lewat!” puji Hira dengan sungguh-sungguh, begitu Ale yakini sebab mata gadis itu tak akan pernah bisa berbohong.
Sesampainya di rumah masing-masing, baik Hira ataupun Ale langsung mandi dan melanjutkan mengerjakan tugas untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, membuat ilustrasi hewan dengan pensil empat jenis. Tumpul, lancip, jel dan mekanik 0,02 kecilnya.
Ale merebahkan tubuhnya pada kasur sambil memantul-mantulkan bola karet ke udara. Bola matanya yang tegas sedikit sayu menatap lamat langit-langit sambil membayangkan setiap pergerakan Nando pada setiap pertandinganya. Gerakan kaki Nando seperti sapuan torado, memiliki responsif yang bagus, tubuhnya dinamis, pergerakan bola matanya juga cerdik, memiliki sensor yang sensitif dan menghasilkan assis yang aktif.
Nando bukan lawan yang bisa diremehkan. Sebagai seorang batter atau pemukul, Ale juga harus punya kekuatan setara dengan Nando. Lebih bagusnya lebih. Ale menghela napas panjang, sebelum melemparkan bola karet di tangannya pada keranjang di sudut ruang,
Ale kembali menerawang, merasakan permukaan tongkat pemukul yang dingin nan halus. Merasakan tangannya yang selimut rasa hangat mulai panas perlahan. Ayunkan, hanya perlu mengayunkannya dengan tepat. Fokus, hanya fokus pada arah bolanya. Jangan pernah menatap mata sang pelempar, jangan sampai terbaca akan mengayun ke mana tongkat di tangan, tak perlu pedulikan gerakan di belakang sang pelempar, hanya perlu memastikan bahwa permukaan tongkat bertemu dan bersentuhan dengan bola. Dan, lari sekuat tenaga untuk menyelamatkan poin. Begitu Ale berperang dengan benaknya sampai tertidur pulas.
“Ingat strike zone,” gumam Ale, kelopak matanya terpejam. Dirinya benar-benar tengaj menggapai ingatan Komka tahun lalu saat mengalahkan Nando. “Nggak perlu mengayunkan tongkatnya kalau arah bola nggak masuk area lutut sampai tengah punggung,” monolog panjangnya.
“Iya, gua nggak harus pukul bolanya kalau itu emang sekiranya nggak masuk itungan.” Ale tersenyum tegas.
Dipeluknya bantal, dan matanya terlelap setelah menguap nikmat.
Di waktu yang sama rumah sebelah, tepatnya rumah Hira. Gadis itu sedang duduk manis menatap sebuah figura kecil berisi sebuah keluarga bahagia. Air mata tiba-tiba saja turun tanpa komando. Hira lantas mengusapnya dengan punggung tangan. Buku dikibas-kibas ke depan wajah memberi sedikit udara segar. Hira menekan dadanya yang sontak berdegup.
“Aku selalu berdoa, supaya Ale juga sekali waktu bisa bahagia seperti aku punya ibu dan bapak seperti kalian,” rintih Hira tak bisa membendung air matanya.
Kepala gadis itu tertelungkup di meja dengan dihalangi buku.
Nanda membuka pintu kamar sang adik, terlihat Hira sudah lelap. Diambilnya selimut dan dibalut tubuh Hira dengan kain tebal itu. Nanda mengecup kening sang adik. “Heh, rese, lo jangan kecapean gua suka khawatir, tau!” bisik Nanda ketus. Meski begitu wajahnya menampilkan sisi lembut dari bagian juteknya.
Pintu kamar Hira kembali ditutup, dan Hira tidur di meja belajar dengan nyenyak. Ini bukan yang pertama, ini suatu kebiasaan ketika dirinya kelelahan.
Jam menunjukkan pukul sebelas, Nanda hendak menutup jendela. Terlibat Ale yang juga duduk di dekat jendela kamarnya yang letaknya memang saling berhadapan dengan kediaman Nanda dan Hira.
Nanda mendesis, meneguk ludahnya sebal. “Belum tidur lo, Al?” tanya Nanda dengan keki. Sebenarnya gengsi, rasa itu tergambar dari senyum yang agak dipaksakan itu.
“Kelihatannya?” sahut Ale sama kekinya.
“Dih,” cibir Nanda kemudian menutup jendela rumahnya. Terlihat Ale tengah asyik memandangi langit. Nanda terpaku beberapa jenak.
Di mata kedua orang tuanya Ale itu sampah. Katanya tidak berguna dan jadi beban. Padahal setiap hari sejak Nanda dan Hira pindah tepat ke rumah ini. Ale kecil selalu menyembunyikan air matanya dan seluruh luka fisiknya dalam keceriaan. Dia selalu melampiaskan rasa sakitnya dengan melempar bola, dia menyenangi olahraga tolak peluru. Kata mulut kecilnya, jika suatu saat bolanya mendarat di wajah kedua orang tuanya, Ale berhasil. Setidaknya, dia ingin mereka tahu, jika Ale sanggup bertahan sejauh dan sekeras bola itu melesat lalu mendarat.
Nanda tersenyum, saat Ale menatap kaca jendelanya. Bola mata itu selalu berambisi, bibir itu selalu berkata bahwa dia selalu bisa. Dan, wajah itu selalu dipenuhi pelangi meski kadang lahirnya mendung tak bercahaya. Ale itu benar-benar tetangga yang menjelma jadi adik lainnya.
Sedang Nanda memerhatikan Ale, pemuda itu justru fokus pada dinding rumah Hira. Sejak hari ketika Hira datang hanya dinding itu yang mungkin mendengar segala keluhannya sepanjang malam. Dan, suara nyamuk menjadi melodinya. Sembari memandangi langit yang tak pernah membawa bintang jatuh. Walaupun Ale percaya itu mitos. Seenggaknya, Ale ingin membawa keinginannya didengar semesta.
BBagian ENAM. Sudah siap kamu baca.
Publikasi 069921
#ExclusiveWritingChallenge
#ExclusiveLovRinz
#LovRinzWritingChallenge
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro