°EMPAT BELAS°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Nyanyian serangga malam menemani Ale menikmati wajah langit yang biru kehitaman. Segelas kopi tutu dengan sedikit gula disesap oleh dirinya selagi masih panas. Kelopak mata itu sesekali terpejam. Sebagian besar jiwanya dipenuhi kecemasan, tetapi bibirnya tetap melengkung. Apalagi jika mengingat bagaimana cantiknya wajah Hira yang selalu ada dalam benaknya.
Angin berembus, menerbangkan tirai yang entah kapan terakhir diganti. Tirai yang berdebu nan usang, aromanya pun amat berumur. Ale duduk pada dinding jendela atap, tempat menyimpan barang-barang lama. Bahkan ada pula barang lawas milik ayahnya saat masih menjelma sebagai pitcher andalan.
Ale memeluk lututnya, mendekap langit pada pangkuannya untuk bantalan. Menjadikan angin malam sebagai selimut tubuhnya. Suara serangga adalah kenikmatan setelah letih dan bosan serta muak mendengar keluhan yang menyakitkan dada.
Memoar kepergian sang kakek masih jelas berjalan-jalan dalam pikiran Ale. Bergerak amat merangkak. Ale menitikan air mata, terkadang Ale merasa malu. Terlahir sebagai laki-laki tetapi hanya bisa menangis. Namun, Hira pernah mengatakan menangis bukanlah sebuah dosa. Menangis adalah sebuah anugrah, sebab banyak orang keras hati di dunia yang besar ini. Terhibur, tentu. Namun lagi, menyembunyikan rasa malu tetap Ale tak bisa lakukan di depan Hira. Tangis itu selalu membasahi pipinya.
Hanya Hira seorang yang tahu bagaimana hancurnya Ale sejak matahari terbit hingga bulan bangun dari pembaringan. Hanya Hira yang paham, berusaha memahami dan menyayangi. Meski ada Nanda yang menjaringnya dalam ketakutan dan kebencian. Sebab hari itu, jika bukan hari itu, mungkin Nanda akan tetap baik-baik saja. Seperti Nanda remaja yang datang dengan senyum dan sebuah jabatan tangan yang lembut keibuaan. Nanda yang selalu memberi Ale kenyamanan ketika bertamu, kehangatan ketika rasa lapar datang. Juga Nanda yang melindungi bagaikan langit-langit bercahaya pijar.
Kini, Nanda hanya kenangan. Kilas balik sebelum dua anak panah menghancurkan hati dan cintanya. Hanya seorang kakak yang ketakutan adiknya terluka. Kakak yang membenci sahabat adiknya, kakak yang berharap jika waktu bisa diputar mungkin tak akan pernah datang untuk membela.
Sayup-sayup alunan biola menggetarkan indera Ale. Senyum muncul di bibir tipisnya, teringat segala sesuatu tentang Hira. Gadis cantik yang diincar banyak laki-laki di sekolah, salah satunya Refka. Ale menggelengkan kepalanya, tersenyum geli memikirkannya.
Di rumah seberang, Nanda membungkus dirinya dengan selimut di kamar pribadinya. Dan Hira masih bermain biola di ruang musik. Hanyut dalam pilu, menebas rasa sedihnya, membuang rasa sesaknya, serta menangisi ketakutan sang kakak. Tersayat, batinnya. Air matanya bercucuran, sementara kelopaknya masih rapat terkunci. Bibirnya terkatup, bergetar menahan isak. Tubuhnya menggigil tatkala angin menghempas tirai dan jendela. Menimbulkan bunyi hentak yang membangunkan jiwa Hira.
Matanya terbuka perlahan, panorama paling menenangkan saat Ale ternyata mengamati dirinya dari atap rumah pemuda itu bersama cahaya langit yang temaram. Ale melambaikan tangannya dengan seulas senyum bungah. Kedua bola matanya yang berpedar, memancarkan setirik rasa nyaman. Jelas, angin membelainya dengan lembut ditemani secangkir kopi yang Hira terka sudah berubah dingin.
Hira meletakkan biolanya di atas papan piano. Dengan segera, telapak tangannya diletakkan di samping pelipis dengan kepala dibuat miring. Radar sederhana itu dibalas gelengan kepala. Hira langusng membalasnya lagi, mengangkat kedua bahunya, alis mata gadis itu terangkat, bersamaan bibir yang tersimpul. Ale setia menggeleng. Mimik wajah pemuda itu membuat Hira mengernyit banyak tanya keluar dari pusat kepalanya. Tangan Hira langsung bergerilya di perut, bibirnya manyun bimbang. Namun, Ale setia menggeleng ringkas.
Ale menunjuk pada piano yang berada di balik punggung Hira bersamaan terbitnya senyuman damai. Hira beranjak menuruti permintaan Ale. Jemarinya mulai menekan blok-blok putih dingin tersebut. Tubuh Hira mengimbangi melodi riang yang dihasilkan lagu bertajuk I'm Yours yang dinyanyikan Alessia Cara. Jemari Hira bergerak lincah dari tuts A ke D, ke B dan G bersamaan. Tubuhnya menari begitupun dengan kepala Ale yang ikut mengimbangi pemainan jemari lentik Hira. Kakinya bergoyang sesekali mengetuk-ngetuk alas tempat dia duduk.
Senyum bahagia, penuh tenteram pada bibir pun kedua bola mata keduanya secerah bulan yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Bahkan kini, angin bertiup gemulai. Menerbangkan serpihan rasa hangat pada kedua remaja tersebut.
Ale menggulirkan kedua bola matanya pada langit. Memoar hari itu berputar-putar agak kejam mengusik kedamaiannya.
Satu tahun lalu.
Gerimis yang meradang menenggelamkan tubuhnya yang terbujur kaku di lantai ruang tamu. Sementara ayahnya berbaring di kasur kamar dengan mengunci pintu. Ale merangkak, memegangi kaki lemari untuk bangkit. Setelah mendapatkan hampir tiga pukulan di punggungnya. Bibir Ale mati rasa, pasalnya baru saja darah kembali termuntahkan. Punggungnya ngilu minta ampun. Ale terpogoh-pogoh berlari ke kemar mandi dan lagi-lagi mulutnya memuntahkan cairan kental berbau anyir tersebut.
Tubuh Ale merosot begitu saja saat punggung menempel pada dinding yang dingin. Ale merasakan kerongkongan kering, tenggorokannya kelu bukan main. Ale memijat kepalanya yang berdenyut, telinganya berdenging. Dan sekujur tubuhnya berubah suhu secara drastis. Giginya gemelentuk, bulu tangannya berdiri dan warna kulitnya memucat. Ale terbatuk-batuk akan tetapi ayahnya masih mengurung diri tak peduli.
Ale mendorong tubuhnya setelah berpegangan pada ember berisi air. Kakinya yang gemetaran bersusah payah berjalan hingga ke kamarnya yang berada di dekat tangga. Sedangkan Nanda masih terdengar menangis di luar sana. Ale mengurungkan niatnya untuk berbaring. Tangannya mendorong gagang pintu, hujan sudah semakin deras. Tubuh Nanda kuyup, meringkuk memeluk lututnya penuh luka tusuk pada batinnya setelah mendengar perkataan tidak manusiawi ayahnya. Ale menyambar tubuh Nanda. Akan tetapi wanita itu langsung mendorong Ale dari hadapannya.
“Jangan pernah datang ke rumah gua! Gua benci sama lo!” Nanda menjerit sembari meremas rambutnya. Tatapan frustrasi itu membuat Ale tertohok.
“Jangan pernah tampakkan wajah lo di rumah gua! Jangan harap gua bisa melupakan hal ini!”
Ale membeku, hantaman benda itu seakan menghantam dirinya lagi. Bedanya, ini langsung menusuk hatinya, mematahkan harapan dan kebahagiaannya. Mematikan kinerja otak kirinya seketika. Bibir Ale yang terkatup, perlahan bergerak.
“Kak Nanda,” rintih Ale. Temaram wajahnya tak digubris Nanda. Wanita itu berlari ke pagar rumahnya dengan sesegukkan.
“Kak Nanda, dengar dulu ….”
“Cukup, kalau gua mungkin berbaik hati, itu karena Hira. Karena gua nggak mau lihat adik gua terluka.”
Terdengar bunyi pintu dibanting, petir bersahutan angin yang beradu argumen ke mana arah perginya. Meluluhlantakkan seisi pikiran Ale, jiwa dan benda di sekitarnya termasuk bangkai-bangkai daun yang mati gugur.
Ale bermandikan air mata langit, dan air mata penuh duri yang meronta-ronta dari bilik dadanya. Meringkuk, memeluk sukmanya yang memang sudah lebur sejak kakek meninggalkan dunia. Seluruh kekayaan yang semula memanjakannya, sirna. Kasih sayang kedua orang tuanya yang semula utuh, musnah. Kehidupan keluarga kecil bersama seorang kakek sepuh yang sudah amat bongkok, goyahkan dunia yang bertabur gula. Kini lenyap semua. Ale merindukan kakeknya yang selalu ada. Selalu punya dongeng nyata tentang kehidupan.
Kakek adalah veteran perang, mantan atlet tolak peluru juga. Darah atlet mengalir pada anak semata wayang juga cucunya. Namun, di puncak kejayaan anak yang kerap disanjung itu, kabar tak sedap berembus. Bak bangkai yang menyeruak dari dalam rumpunnya. Kabar yang mengatakan bahwa seorang Tian Erlangga melakukan pelecehan pada beberapa anak didiknya bahkan hingga bunuh diri, merenggut masa depan—menanggung beban ibu seorang diri. Seorang pebisbol yang kecanduan obat-obatan dan gila perempuan.
Kabar lainnya berembus sangat tak sedap. Ibunda Ale, menjadi buah bibir warga komplek setelah isu tinggal satu atap bersama seorang pengusaha beranak tiga. Kabar itu terus menusuk, menggusik dan membuat Kakek melepaskan atensinya dari dunia. Memilih meninggalkan Ale seorang diri. Menelan kenyataan bahwa perpisahan akan segera datang. Kenyataan bahwa kekerasan dalam langit-langit berpijar itu ada, dan Ale merasakannya. Tak ada pembelaan tak ada jua usaha untuk melindungi sebab tak sanggup melawan seorang diri.
Ale menertawakan kesedihannya di bawah derasnya gemuruh mulut langit.
Kembali ke waktu ini, setelah permainan piano Hira selesai. Gadis itu tampak menguap. Jam memang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Baik Ale dan Hira sama-sama menuruni anak tangga menyambut mimpi sebelum hari berganti pagi.
Ale berdiri di depan cermin, menatapi punggung tak berkain itu dengan nanar. Bekas luka yang membiru itu hitam kini. Sisa pembuluh darah yang pecah akibat pukulan bertubi-tubi.
“Aku akan tetap mencintai keluargamu, Hira. Aku nggak akan pernah benci mengapa Nanda berubah. Aku juga akan tetap berlatih menahan sakit di depanmu, aku mencintaimu, Hira. Selalu sepanjang waktu.”
Ale menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Bagian 14. Hujan pagi-pagi, ditemani Ale dan Hira. Melebur sukma, bersama-sama sembari dengar lagu apa pun, Ale lagi dengar lagu I'm Yours, Alessia Cara, terus bersambung ke lagu A Little More Alessia Cara juga.
Publikasi 140921
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro