°EMPAT°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Ale berdiri di depan sebuah rumah kumuh dengan lampu remang-remang. Sambil merasakan aliran darah panas dan napas beratnya, pemuda itu melangkah setapak demi setapak memasuki pekarangan tempat tersebut. Udara di jam sembilan malam ini agaknya membuat Ale meringis kedinginan. Bahkan jaket tebalnya tak sanggup menghadang angin. Beberapa pasang mata memandangnya heran, lainnya ada pula yang bertanya-tanya seakan mencibir kehadirannya.
Ale menundukkan kepala, menolak untuk mendengar musik koplo yang bergema di sepanjang langkahnya. Menolak menikmati pemandangan para wanita berpakaian serba mini memamerkan lekuk tubuhnya. Menahan diri untuk tidak marah di tempat ini.
Ale mengembuskan napas saat sang ayah tertidur dengan wajah merah dan berair. Pria itu mabuk berat malam ini. Ale memandang lautan manusia yang mencari kenikmatan duniawi dengan cara masing-masing di sini.
Seorang wanita menghampirinya.
“Lima ratus ribu!” desaknya dengan mata melirik sang ayah. Tanpa pikir panjang Ale memberikan uang dari saku celananya pada wanita itu. “segini doang? Bokap lo minum banyak, asal lo tau!”
Ale meneguk ludahnya. “Minggu depan gua bayar. Duit latihan belum keluar.”
Wanita itu mendorong tubuh Ale dengan kasar. Mencengkeram dagu Ale dengan kuat. Bola matanya yang berlensa cokelat terang mengintimidasi Ale, tetapi pemuda itu memilih diam tak membalas tatapan intensnya. Wanita itu mendesak lagi, “Lo sesayang itu sama orang ini?”
“Bukan urusan lo.”
“Emm, semoga lain kali orang ini bakal datang ke pertandingan lo. Dan semoga aja dia sadar kalau yang selalu bawa balik dia ke rumah itu lo. Bukan halusinasinya yang balik naik jet pribadi.”
Ale tersentak bukan main. Hatinya sakit sekali, entah mengapa air matanya seakan berkumpul di seluruh permukaan matanya. Rongga dada dan hidungnya jadi panas dan berat serta memerah. Kepalanya tertunduk kembali. Ale melepaskan cengkeraman wanita itu dari dagunya. “Semoga dia nggak pernah datang lagi ke sini kalau dia waras!” ujarnya dengan dingin.
“Lo ….”
“Berhenti, Kak. Lari dari kenyataan nggak akan ada habisnya. Sama halnya Kakak yang terus pura-pura kayak gini!” bisik Ale dengan lirih.
“Padahal orang tua Kakak sama bejadnya!” sambung Ale lirih bergumam.
Wanita itu sontak gemetaran mendengar suara Ale. Sorot dari bola matanya meredup saat Ale memopang tubuh ayahnya. Wanita itu meremas uang pemberian Ale dengan kesal, lantas dia pergi dari tempatnya. Baru kali ini rasanya Ale berkata demikian, pikir si wanita sambil berjalan menjauh. Ale keluar dari tempat tersebut membawa tubuh ayahnya dengan susah payah.
Malam berlalu dengan dingin, tak bercahaya dan tak berbulan. Bahkan, tak ada mimpi yang singgah.
Pagi ini, sekolah tampak ramai. Namun, Hira merasa begitu kesepian tanpa kehadiran sang sahabat. Katanya, Ale benar-benar harus tinggal di rumah untuk hari ini saja. Suasana kelas jadi terasa sangat membosankan. Untungnya hari ini, nanti selepas pulang sekolah ada latihan vokal seperti biasanya. Hira berusaha memanjakan dirinya dengan buku dan musik. Sesekali ikut bergabung dalam obrolan anak-anak perempuan di kelas.
Jam menunjukkan pukul empat kurang, dan kelas selesai dengan santai. Tanpa beban pekerjaan rumah.
Hira beranjak ke ruangan paduan suara. Seperti biasanya, sebelum melakukan latihan olah vokal; Hira akan melakukan lip tril and humming—sebuah gerakan menggetarkan bibir guna membuat pita suaranya rileks. Setelah itu disambung dengan latihan pernapasan. Sebagai seorang soprano, latihan pernapasan adalah hal utama. Selain untuk tetap membuat suara lembut dan tarikan nada panjang, bisa juga membantu harmonisasi ketika mengejar nada tinggi tanpa terputus.
Leoni memasuki aula ruangan latihan dengan wajah cemberut, tangannya membawa satu kotak minuman. Gadis itu duduk di pojokan sambil memainkan ponselnya. Hira tak ingin peduli, tapi pasti ada kaitannya dengan ketidakhadiran Ale.
“Ra, hari ini kita latihan pakai lagu apa?” tanya salah satu anak pada Hira yang masih melakukan pemanasan.
“Emm, mungkin Ni-ne-no.” Hira menoleh, mengikat rambutnya yang mulai tak bisa diajak kompromi dengan hawa aula kini. Hira mengumpulkan anak-anak untuk membuat lingkaran. Gadis itu menata barisan, sesuai susunannya. Dari anak-anak bersuara sopran akan berkumpul di sisi kanan dan lainnya di sisi kiri. “Mulai dari suara alto, dihitungan ke tiga, ya?” titah Hira mengomando.
Anak-anak bersuara alto mulai menyanyikan lagu tersebut dengan kompak. Lantas Hira menunjuk lingkaran suara mezzo untuk memulai, dan selanjutnya suara sopran. Kepala dan kaki Hira bergerak seirama dengan lagu sahut-sahutan tersebut. Hira menggedikkan kepalanya. Dia bertepuk tangan membuat nyanyian terputus di tengah lagu. “Ada yang ketinggalan temponya. Mezzo jangan terlalu buru-buru, sesuaikan dengan alto dan sopran,” tegur Hira dengan lembut.
“Kenapa, sih, setiap latihan harus lagu Ni-ne-no?” Leoni protes dengan mata belonya juga bibir manyunnya.
“Supaya kompak, biar nggak kejar-kejaran temponya. Coba, deh, resapi setiap bagian awal ke akhir; masing-masing. Kedengeran jelas kalau kejar-kejaran. Meskipun kalian beda level suara. Kalau ketukannya sama nggak akan kabur.”
Leoni memalingkan wajahnya. Sebagai seorang yang juga memiliki tipe suara soprano kadang menyanyikan lagu tersebut membuat napasnya habis. “Emm,” sahutnya keki.
“Ya, udah. Kita latihan vokalnya pakai lagu yang kalian bisa aja,” tawar Hira sambil melirik piano di dekat jendela.
“Gimana?” tanya gadis itu meyakinkan semua anak mengangguk lantas berbaris ke tubuh piano. Hira lantas duduk, tangannya diletakkan di atas tuts.
Bola mata gadis itu berpedar sejanak, satu demi satu jemarinya menekan permukaan tuts yang dingin. Sebagai pemanasan Hira senang sekali memainkan musik Alla Turca. Bola mata gadis itu ikut bermain, sambil mengawasi teman-temannya. Jemarinya berhenti, Hira berseru, “Siapa dulu yang mau nyanyi?” tanya Hira antusias, dan seorang langsung mengangkat tangannya.
“Mau lagu apa?”
“Burning, dari Sam Smith,” pintanya sambil tersenyum.
Hira segera membuka ponselnya, mencari kunci untuk lagu tersebut. Jemarinya kemudian menari di atas tuts lagi, sembari mendengarkan temannya bernyanyi. Hira larut dalam permainan pianonya, hingga tak sadar jika seseorang mengamatinya dengan saksama. Senyum miliknya terangkat begitu lebar, sebab Hira tak pernah mengecewakan dirinya saat hadir terlambat sebagai seorang pelatih.
Bibir Hira bersuara, ikut menyanyi sebagai suara dua mengiringi temannya. Bukan tak terkejut, Hira memang menyadari keberadaan sang pelatih sejak dirinya menutup mata hendak memulai.
Orang pertama selesai menyanyikan hampir setengah lagu tersebut. Hira kemudian bangkit dari duduknya, mempersilakan sang pelatih melanjutkan latihan hari ini, dan mengoreksi kekurangan.
“Ada yang mau nyanyi lagi?” tanya sang pelatih.
“Loh, nggak evaluasi?” Hira terlihat terkejut. Pelatihnya menggelengkan kepala dengan santai. Lantas Hira duduk bersama teman-temannya, dia ingin bernyanyi jika begitu. Anak-anak silih bergantian menyanyikan lagu kesenangan mereka, sampai Hira putuskan untuk menyanyi sebagai orang terakhir setelah mendengarkan teman-temannya bernyanyi dengan semngat.
“Mau nyanyi lagu apa, Ra?” sang pelatih tersenyum menggoda.
“Sepertinya kali ini lagu dari grup wanita. Good Enough, dari Little Mix?” Hira bercakap sedikit yakin.
Sang pelatih lantas memainkan jemarinya di atas tuts, meresapi suara Hira yang lembut beradu dengan alunan pianonya. Senyum samar-samar terbit. Perlahan suaranya naik, hingga meledakkan nada tinggi pada bagian bridge lagu tersebut. Napasnya yang stabil membuat suara Hira terpancar dengan baik tanpa ada false sedikitpun. Yang diakhiri dengan sentuhan crescendo pada bait akhirnya.
Semua menjadi merinding, begitulah Hira dia memang menjadi bintang utama di kelompok suara sopran. Suaranya tak ada banding. Bahkan, pelatih saja kadang memujinya berlebihan. Selain cantik, dia juga multitalenta. Sang pelatih mengangguk kagum saat Hira mengembuskan napasnya dengan lega.
“Oke, semuanya udah nyanyi, latihan vokal, dan pernapasan dengan baik. Hari ini cukup sampai di sini. Orang yang saya panggil harap maju ke depan teman-teman.” Sang pelatih menyiapkan catatan kecilnya. Lalu menatap para siswanya.
“Alina, Kirara, Santi, Dwifa, Laura, Arumi, dan Hira.”
Anak-anak tersebut maju dengan wajah heran. Siap tak siap, mereka berdiri bersebelahan. Berbaris dengan rapi sesuai urutan panggilannya. Jantung Hira berdebar bukan main. Terutama melihat ekspresi serius sang pelatih, pasti ada sesuatu yang salah. Sang pelarih berdecak, “Alina, nada terendah yang kamu nyanyikan hari ini bagus, lebih bulat dan menggema.”
Yang namanya disebut tampak memerah, dengan kepala tertunduk. Sang pelatih kembali membuka catatannya. Beliau kembali berdecak, “Kirara, kurangi vibra-nya, artikulasi vokalmu bagus sekali. Tingkatkan!”
Hira menatap jam di dinding, tak terasa sudah pukul enam, petang sudah datang. Biasanya Ale akan berdiri di dekat pintu sambil memegangi tongkat pemukul, menantikan dirinya selesai latihan. Tapi hari ini dia tak hadir, entah masalah apa yang sedang dihadapinya. Kemarin dia terlihat amat cemas. Tapi, Hira tak mau mencampuri urusan keluarganya, itu hanya akan membuat Ale lebih tersiksa.
Bagian EMPAT sudah bisa dibaca.
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
Publikasi 040921
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro