°DUA TIGA°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
[Play Tbis]
Sebuah truk nyaris menabrak Ale, beruntungnya Ale yang memiliki tingkat refleks di atas rata-rata bisa menghindarinya dengan mudah. Ale membungkuk saat pengemudi truk besar itu memarahinya dari dalam kemudi. Ale terus membungkuk sampai akhirnya lolos dari amukan pria itu setelah ponselnya kembali berdering. Panggilan dari sang ayah membuat Ale jadi waspada. Pria gila itu bisa saja bertindak aneh, atau mungkin malah mengotori tempat umum lagi karena mabuk berat. Ale mendesah sambil masih berlari sekuat tenaga.
Badannya tenggelam dalam hujan yang panas. Penglihatannya yang masih kabur karena ditutupi air yang menggenangi lembar-lembar bulu mata hitamnya membuat Ale agaknya kesulitan mengendalikan pedarnya. Tak jarang dirinya hampir tersandung bahkan menabrak batu, dan menginjak logak. Ale berteriak kesal pada langit yang memandangnya di tengah-tengah iba, tetapi wajahnya tertawa.
Lampu rumah tidak padam, halaman tidak juga berantakan. Tetapi tak ada tanda kehidupan ayahnya. Pemuda itu menyisir teras sebelum memasuki ruang tamu. Bola mata Ale terbuka lebar saat pintu kamarnya royak dan seluruh pakaian sudah berhamburan mengotori lantai. Ale langsung menyambar pintu yang terkulai engselnya. “Ayah … ?” panggil Ale. Tetapi tak ada siapa pun di dalam ruangan tersebut.
Ale menyisir seluruh isi rumahnya dan hasilnya nihil. Ale kembali ke dalam kamarnya, mendapati lemari tempatnya menyimpan uangnya sudah kosong. Ale menendang lemari tersebut hingga lampu dan pernak-pernik di atasnya berjatuhan. “Sial!” raungnya menjambaki rambut kuyup tersebut.
Ale memutar bola matanya, terduduk di tepi kasur dengan tangan bertumpu di pangkuan. Susah payah dirinya mengumpulkan uang tersebut untuk merayakan ulang tahun Hira, belanja buku kiat-kiat UN, dan biaya masuk perguruan tinggi. Ale mengembuskan napasnya. “Ayah … emm, gua harus nabung lagi,” ucapnya lirih, membaringkan tubuh kuyupnya di kasur. Menatapi langit-langit kamarnya yang berhiaskan lampu pijar.
Angin kencang berhembus menerbangkan tirai, sayup-sayup alunan piano merintih pilu terdengar dari jendela. Ale bangkit, mendekatkan dirinya pada jendela dengan tangan bertampang pada dinding di depannya itu. Terlihat Hira tengah asyik serius menekan tiap-tiap balok putih berjajar di hadapannya. Tubuh itu mengikuti setiap gerakan tangan yang lembut. Sesekali lentikkan jemarinya terhenti, sebab menyeka air mata yang jatuh di pipi. Gadis itu tampak cantik dengan rambut yang dikuncir asal. Kelopak mata yang terkatup dengan bulu dan alis yang hitam seiras rambutnya, bibir merah alami yang terrutup rapat itu semakin membuat wajah Hira cantik tiada tandingan.
Melihat betapa serius dalam kesendiriannya di tengah melodi If I Could Fly milik One Direction, membuat Ale ikut menitikan air mata. Sakit itu terus memukul-mukul raganya, menyerap jiwanya ke dalam longkap gulita yang tiada cahaya di setiap jalannya. Apa yang harus Ale pakai untuk menerangi langkahnya? Berapa juta lampu yang Ale harus bayar untuk menerangi jiwa dan raganya? Berapa banyak lagi kerikil yang harus merobek kulit kakinya, membuatnya berdarah serta bernanah. Sebanyak apa lagi pengorbanan yang harus dirinya berikan pada dunia kecil yang tak pernah tersenyum untuk dirinya. Dunia yang kecil, dunia tentang Ayah, Bunda, Hira dan Nanda juga sepenggal kisah tentang Kakek. Dunia yang jauh lebih kecil dari bulir air matanya.
Dunia yang Ale rindukan, jika bisa bertemu kembali.
Sementara itu, Hira sadar jika Ale mengamati dirinya dari jendela kamar seberang. Ruang musiknya mengetuk pintu, meminta izin untuk dimasuki orang lain. Tetapi, Hira tak ingin diganggu oleh siapa pun, termasuk Ale atau secuil kisah tentang keduanya. Hira ingin Ale tetap bahagia. Hira sadar jika selama ini Nanda ternyata berubah. Nanda begitu karena sesuatu yang dirinya tak tahu, dan kini tersembul tegap di depan matanya. Hari itu saat Ale berniat datang untuk menjenguk dengan satu kantung plastik buah-buahan kesukaan dirinya. Nanda malah dengan berang memarahi Ale. Menyeret pada kegelapan di tengah lautan.
Senja saat itu tak serupawan biasanya, senja seperti tengah menahan diri untuk memancarkan pesonanya. Senja lebih memilih diam, memasang wajah remang-remang bersama percik air matanya. Senja bersedih hati.
“Berapa kali gua bilang, kalau gua baik itu karena Hira!” ujar Nanda sembari membanting pintu meninggalkan Ale yang masih berdiri di depan rumahnya bersama senyum yang setia tulus.
“Aku tinggal bungkusannya di depan pintu. Katakan pada Hira agar cepat sembuh, kita satu kelas kangen sama Hira.”
Pintu terbuka, kini Nanda semakin terlihat marah besar dibuatnya. Sedangkan Ale hanya menatap sewajarnya pada Nanda. Tatapan yang mengatakan bahwa dia ingin semuanya kembali baik-baik saja. Tatapan yang berdoa bahwa kehangatan itu akan kembali muncul kapan pun dia ingin.
“Pergi atau bokap lo datang ke sini dan ngancam gua juga masa depan Hira. Apa lo pernah mikir kalau semua yang Tuhan tulis untuk kita itu beda?”
Ale tersenyum dengan tulus. Terasa oleh Nanda bagaimana pemuda itu mengabiskan waktu dalam diamnya. Mengembuskan napas sederhana yang Nanda rasa baik-baik saja tanpa ada rasa terluka. “Puas, lo?” tanya Nanda sembari mendorong bahu Ale dari hadapannya.
“Aku minta maaf.”
“Maaf aja nggak cukup. Apa lo pikir perilaku ayah lo itu nggak mengerikan? Itu siksa sebelum kematian buat gua, Al! Mending lo pergi!”
Ale menatap wajah Nanda. “Aku senang karena Kakak bisa jadi saudari sekaligus ibu untuk Hira. Aku janji nggak akan datang lagi, tapi aku izin minta waktu, biarkan aku berangkat ke sekolah tetap bersamanya.”
Nanda tidak mengindahkan permintaan Ale, pintu kembali dibanting wanita dua puluh empat tahun itu. Meski usianya semakin dewasa dari masa ke masa. Ketakutan Nanda tetap sama. Bunga tidur itu selalu menghantui malam-malam. Membuatnya sakit kepala dan ingin pergi sejauh dirinya bisa untuk meloloskan diri dari surga yang berdampingan dengan neraka bernama rumah tetangga. Nanda ingin segera pergi.
Ale meninggalkan rumahnya, kembali menjajaki setiap depa jalanan kota. Selagi Ale menyegarkan dirinya membuang rasa kecewa. Hira justru tengah menangisi perkataan kakaknya. Mendengar hal itu membuat dirinya marah. Tetapi, Hira takut Nanda benar-benar memisahkan dirinya dengan Ale. Dengan sosok yang setiap saat mengingatkan dirinya untuk berjuang melawan rasa sakitnya. Melawan pahit yang dirinya telan setiap hari setelah minum obat. Orang yang selalu menyentuh mimpi malamnya dengan segenggam kisah tentang hari esok yang akan lebih baik lagi. Sebuah cahaya yang mengetahui dan memahami seluk beluk kegelapannya.
Air mata Hira terus membasahi telapak tangannya. Meluruhkan semua rasa bangganya pada sang kakak. Rasanya Hira ingin muntah setiap kali mengingat ucapan Nanda yang baru saja terdengar amat gamblang.
“Aku benci Kakak. Kenapa Kakak memarahi Ale? Yang salah ayahnya bukan Ale, bahkan dia juga menyelamatkan Kakak saat hendak dijambret, Ale menyelamatkan rumah kita yang hampir roboh karena banjir, Ale yang membantu kita membereskan segalanya. Sampai mengulurkan tangan memberikan wallpaper karena tembok rumah kita catnya mengelupas akibat lembab air banjir terkutuk itu. Ale juga yang saat Kakak kehilangan pekerjaan mengulurkan tangannya membelikan aku obat yang nggak murah, Kak.”
Hira menangis sejadinya di depan sang kakak. Memukul-mukul bahu Nanda, sampai akhirnya terduduk di dekat kasur sembari memegangi lututnya. “I know your scars, i know your worries. Tapi aku percaya, om Tian nggak akan melukai aku. Jika dia memang berniat jahat, harusnya sejak lama dia melukaiku nyatanya sampai saat ini aku baik-baik aja, Kak.”
Nanda mengembuskan napasnya. Menatap nyalang pada Hira. Wanita itu duduk berhadapan sembari mendekapnya. Memberikan belaian-belaian lembut di punggung Hira. Nanda kembali mengembuskan napasnya, mengatur debar jantungnya yang berperang karena emosi. Nanda menatap wajah Hira yang begitu menderita, sorot matanya yang diselimuti awan kelabu membuat Nanda merintih, “Kita nggak pernah tau isi hati seseorang, Ra.”
Kalimat sederhana ini membuat Hira mendongak.
“Dan manusia lupa, jika Tuhan lebih tau tentang segalanya. Aku percaya Tuhan akan selalu ada untuk aku, Kakak, Ale dan hidup kita yang nggak sederhana ini, Kak.”
Nanda menjatuhkan air matanya. Ucapan Hira selalu membuat dirinya semakin frustrasi. Diteriaki rasa ingin lari sejauh mungkin, diteror rasa ingin mati setiap hari, hingga dihantui rasa ingin melenyapkan penyesalan dalam diri. Jika, kata itu terus berlarian dalam pikirannya. Jika saja semua tak pernah terjadi mungkin tak akan pernah sedepresi dan sefrustrasi ini. Atau jika saja tidak datang untuk membela mungkin hatinya akan tetap utuh tanpa luka. Jika, jika dan jika Nanda tak pernah membuka suara, mungkin tak ada tangis setiap malam tiba membawa kenangan tentang hujan yang tak kunjung reda, tentang Ale dan dunia suramnya; dan tentang Nanda yang ketakutannya akan Hira. Semua mungkin akan tetap sama seperti sedia kala.
Bab 23. Menuju akhir yang emmm. Draft sudah selesai hingga epilog. Tinggal update aja. Kbetulan aku nggak bisa tidur sehabis ngerjain tugas.
Publikasi 230921
#ExclusiveLovRinz
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro