°DUA PULUH°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
Hampir tidak pernah ada kata berubah dari babak empat besar hingga final seperti tahun-tahun sebelumnya. Nama Bantarious dan Antisadrah selalu saling balap mendaki papan klasemen. Namun, tak pernah ada kata tak terima. Baik Bantarious ataupun Antisadrah selalu menerima hal itu dengan tangan terbuka. Menghargai kerja keras tim masing-masing bahkan saling bertukar cap sebagai rasa hormat dan suportif.
Hari ini jadwal pertama pemantapan, setelah terbelenggu beban Komka, kini Ale dan seluruh anak-anak Indonesia akan mengemban tugas negara sebelum kembali berperang, berlomba menaklukkan gerbang kampus pilihan masing-masing. Komka sudah selesai, akan tetapi jadwal Ale masih tetap padat merayap. Ada latihan untuk beasiswa non-akademik masuk universitas negeri di pulau Jawa.
Hira memegangi kepalanya saat hendak memasuki kelas dimana Ale tengah duduk di bangku sembari membaca novel Laskar Pelangi yang dipinjam dari perpustakaan tadi di jam istirahat pertama. Tubuh Hira tumbang ke arah Brayan-wakil humas kelas yang tengah membersihkan papan tulis. Nadia, Sanra dan Hannah menyanggah tubuh lemas itu dan mereka terduduk di lantai. Novel di tangan Ale tergeletak begitu saja saat pemuda itu berlari ke arah Hira dan teman-teman kelasnya.
“Panggil Divas sama Jeri!” titah Ale pada Brayan. Pemuda itu menuruti permintaan Ale yang bisa dikatakan ketua kelas tetapi ogah-ogahan melaksanakannya.
Anak-anak membuka ikat kepala Hira, memberikan ruang pada kepalanya dan mengibas-ngibaskan udara untuk meluruhkan panas di wajah Hira meski tangan gemetarannya dingin. Tak lama Divas dan Jeriko tiba bersama dua guru. Seperti hari itu, Hira terpaksa pulang lagi. Pasalnya gadis itu benar-benar melupakan obatnya. Ale duduk di samping Hira sembari menunggu Nanda datang ditemani oleh Jifara yang bertugas piket hari ini. Ale melirik Jifara, memberi tanda agar gadis berbando bunga itu keluar dari ruangan tersebut.
Ale beranjak dari bangku yang didudukinya. Mendekati jendela di sebelah lemari P3K. Ale mendesah, bola matanya menjadi redup dengan tangan yang bergerak menyusuri jengkal-jengkal kulit kepalanya frustrasi. “Lo pasti lupa minum obat lagi?!” tanya Ale emosional. Ditatapanya wajah Hira yang pucat pasi, tetapi agak sedikit mendingan setelah minum air hangat dan menyesap aroma terapi. Ale mendesah lagi, imbuhnya, “Jangan bikin gua khawatir kenapa, sih? Bisa nggak sih?!”
Embusan napas yang terdengar menjadi jawaban dari gadis yang masih merasakan jantung dalam balutan daging dan kulit itu berperang ketakutan.
Ale berjalan dengan tegap ke arah Hira tangannya mendarat di kedua bahu gadis itu. Bola mata Ale menampilkan rasa khawatir dan sakit yang gelap. Bibirnya terkatup rapat, sesaat sebelum dirinya menggertak kesal. “Kenapa lo nggak minum obat? Gua khawatir kalau lo sakit. Karena gua nggak bisa lihat lo terluka, karena gua sibuk, Ra.”
Kalimat lembut itu mengguncang jiwa Hira, kedua bola matanya berkedut sakit. Ada rasa terbakar di rongga hidung dan tenggorokannya. Kalimat yang Ale lontarkan hanya dibalas raut wajah tidak tahu arah oleh Hira. Gadis itu menundukkan kepalanya, menepis kedua tangan Ale dari bahunya. Memeluk tubuh sendiri nyatanya membuat Hira lebih tenang dalam pikiran sederhananya tentang Ale yang tengah menggertak karena cemas akan kesehatan dirinya.
“Gua kan udah bilang sama lo, bahkan gua kirim pesan mau itu tulisan atau suara, supaya lo minum obat. Apa ucapan gua diabaikan, Ra?” tanya Ale merintih pilu, suara ringisan dalam batinnya nyata terdengar indera Hira. Ale kembali menatap lekat-lekat wajah gadis itu, melenguh ringkas. Ale—dia berkata lagi, “Gua itu nggak mau lo sakit. Udah itu aja.”
“Udah empat kali agenda terapi ablasi. Tapi aku bolos keempatnya,” singkap Hira dengan lirih. Gadis itu mulai menangisi kebodohannya. Setelah sekian waktu membisu mendengarkan kalimat Ale, jiwanya berani membuka suara walau akhirnya bungkam lagi oleh tangis berduka.
Ale meneguk ludahnya, bola mata itu bergulir ke sembarang arah. Seperti dugaan kecilnya beberapa hari ini. Telapak tangan Ale mendarat di pusat kepala Hira. “Jangan lagi, ya. Lo harus sehat. Dan gua akan tetap ada buat lo! Janji tetap janji, Akhira Swastikaluna kesayangan Onadio Ale Erlangga."
Hira mendongak dengan air mata bercucuran basahi kain seragamnya dan memberangkatkan wajahnya yang cantik, mewarnai kulit putihnya dengan rona merah padam. "Kamu nggak marah?”
Ale mendesis, menarik tubuhnya dari dekat ranjang. “Ya, gua marah lah, mana ada gua nggak marah, gua cuma nggak mau meledek lebih parah aja,” kicau Ale dengan wajah tidak kompromi. Walaupun demikian, dia tetap tak bisa marah pada Hira meski suaranya menjadi amukan guntur, hatinya tetap selembut fajar.
“Awas kalau lo telat minum obat, atau nggak datang buat terapi. Gua nggak mau ajak lo ke lapangan secara cuma-cuma nonton anak Bantarious latihan!” kecam Ale yang kemudian tertawa renyah.
Ale tahu, sejujurnya Hira menangis dalam hatinya. Ale juga paham jika sikapnya ini keterlaluan sebab Ale tak pernah meninggikan suaranya pada para gadis kecuali pada Leoni. Ale juga sadar diri, jika kicauannya berlebihan tetapi Ale benar-benar menyanyangi Hira lebih dari siapa pun yang katanya sanggup menyayangi dan menaungi langkah kaki gadis itu.
Jifara mengetuk jendela sembari tersenyum pada Ale, ekor matanya melirik koridor ada Nanda dan wali kelas Ale dan Hira. Jifara memasuki ruangan tersebut, membantu Hira menuruni ranjang dan memapah Hira ke pelukan sang kakak. Namun, seperti yang Ale sadari sejak hari hujan itu yang sudah jalan dua tahun kejadiannya. Nanda semakin mengikis jarak antara dirinya dan Ale. Membatasi ruang gerak Ale dan Hira, membuat sekat di antara rasa sayang dan benci dalam dadanya. Rasa manis yang dulu selalu Nanda kucuri ke langit-langit mulut Ale kini hanya setitik nila yang mengitam pahit karena luka hati.
Ale melangkahkan kakinya kembali ke kelas, dan anak-anak sudah menunggu dirinya. Jeriko menyodorkan permen perisa kopi pada Ale, akan tetapi ditolaknya.
“Kayaknya gua nggak akan ikut pemantapan,” ucap Ale tanpa memerharikan wajah kawanannya yang setia mengamati.
“Kenapa, hari ini jadwalnya bu Endang. Nggak takut lo, Al?” Hilmi dan Brayan menimpali, Ralle dan Radian mengangguk setuju atas pertanyaan kedua temannya itu.
“Takut Hira nggak minun obat lagi.” Ale kini mendongak menyapu pandangannya pada wajah Ralle, Radian, Hilmi, Brayan lalu menunduk sejenak, Ale lantas menatap Jeriko dan Marino. “Kayaknya gua harus pulang.”
“Lo kayak nggak tau aja bu Endang. Mau disuruh nyalin lagi tugas seabrek?” timpal Marino sembari geleng-geleng kepala dengan mata membelalak.
“Jangan pulang bu Endang bawa mahasiswa dari kampus itu, loh, Al. Kampus yang Hira bilang ada jurusan Fisimatika, Saintek dan Ahli Pangan itu.” Sasya ikut duduk di antara para pemuda tersebut. Kedua bola matanya yang cantik hitam menyihir Ale, membuat pemuda itu akhirnya tersenyum lebar.
"Oke, deh. Tapi sekarang gua mau balikin buku dulu ke perpustakaan. Kalau bu Endang datang bilang aja Ale yang ganteng lagi ke perpus biar nggak kena denda.”
Ale berlalu keluar kelas, ditenteng buku tersebut di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk membenahi rambut yang tertiup angin di sepanjang koridor. Sudut bibir Ale naik sesaat lalu turun dan naik lagi. Pikirannya bergejolak. Teringat malam beberapa waktu ke belakang saat Nanda bersikukuh melarang Hira keluar rumah untuk menemui dirinya yang hendak menjenguk, membicarakan Bantarious dan Komka.
Sakit sekali hati Ale saat Nanda menamparnya, mengatakan bahwa dirinya menyesal telah membela Ale yang jelas-jelas salah di mata ayahnya, meskipun benar di mata orang lain. Kini semua sama seperti ucapan Nanda di bawah guyuran hujan dengan gemerlapnya langit akibat petir yang bersahutan. Jika Nanda masih baik, mungkin itu karena masih ada Hira yang harus tetap bahagia.
Ale bersiul-siul memecah frustrasi yang merengut hampir sebagian atensi dirinya. Tiba-tiba saja seorang dari arah belakang menabrak tubuh Ale, hingga pemuda itu tersungkur. Meringis kesakitan, menyerah dan meloloskan teriakan kasar. “Maaf, Bang, gua nggak sengaja!” ujar seseorang yang tak lain adalah Dikta, adik tingkatnya yang juga anak Bantarious.
Ale memegangi bahunya, otot lengannya terasa ditarik hingga ke punggung. Rasa patahan itu membuat Ale kejang, keringat dingin bercucuran. Ale merasakan bahunya tak bisa digerakkan sama sekali. Digigitnya bibir sekuat tenaga hingga berdarah. Dengan sedikit dorongan, Ale meluruskan sikutnya yang memberi sensasi remuk seluruh tubuh, disertai suara retakan. Ale menoleh pada bonggol bahunya, kulitnya memerah agak keunguan. Diraba olehnya bonggol bahu itu terasa sangat panas dan bengkak.
"Nggak apa, kok ... santai aja,” ucap Ale ramah. Walaupun embusan napasnya lirih Ale tetap mengangguk baik-baik saja. Anak itu berlari kocar-kacir. Sementara Ale masih memegangi bahunya, menggigit lagi bibirnya yang sudah berdarah semakin cekah. "Nggak lagi ... Tuhan,” gumamnya.
Bab 20. Wah, Nanda kenapa, sih?
Hira gws, ya. Ale juga stay safe. Kalian juga. Okei.
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWritingChallenge
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro