Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°DUA EMPAT°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Hari ini, di hari pertama UN. Hampir tak ada yang terlambat datang. Meskipun ada saja yang teledor, tidak memakai dasi atau sabuk, dan kaos kaki berlogo sekolah; lupa memakai kartu tanda peserta ujian, tidak bawa ini itu dan sebagainya. Termasuk Marino yang harus bergerak cepat memerintah sang kakak untuk mengantarkan kartu peserta, atau Ralle yang datang-datang menyerbu koperasi sekolah berburu peralatan tulis dan masih banyak lagi hal yang membuat Hira geleng-geleng kepala pagi ini.

Hawa tidak terlalu bersahabat rupanya. Gadis itu masih betah mengenakan jaket walau sudah berada di halaman depan sekolah menuju gerbang yang dijaga ketat pengawas. Hira menoleh jam di ponselnya yang sebentar lagi akan dikumpulkan pihak sekolah sebelum memasuki kelas masing-masing. Jam menunjukkan pukul enam lewat seperempat. Tetapi tak ada tanda bahwa Ale akan datang, biasanya jam segini sudah berdiri di depan rumah sembari menunggu dirinya bersolek sederhana. Atau bahkan sudah mengetuk-ngetuk pintu menjemput. Namun, rumah Ale tadi tampak senyap. Tidak ada tanda Ale sudah bangun, atau ayahnya beraktivitas di halaman mengeruk-ngeruk tanah untuk menanam bibit tanaman yang tidak pernah tumbuh tinggi.

Bahu Hira disentuh, seseorang yang membuat jantungnya terlepas. Hira terkulai lemas, ke sampingnya. Baru saja memikirkan Ale, anak itu sudah berdiri di sebelah memasang wajah manis dengan tatanan rambut yang kelimis. Hira memukul lengan Ale sembari mendengkus kesal. “Ih, kamu. Aku pikir ke mana, soalnya rumah kamu sepi. Habis dari mana, Al?” tanya Hira memicing sebuah tanya penasaran.

“Gua tadi berangkat dari rumah subuh. Soalnya ke pasar dulu beli jajanan. Kata mang Tisno, yang punya ruko tempat dia jualan bagi-bagi sarapan dan kue pasar buat anak sekolah. Jadi gua mampir,” singkap Ale sembari cengengesan. Diangkatnya sebuah kantung plastik berwarna transparan tersebut.

“Kamu saparan dulu, gih. Biar bisa konsentrasi,”  saran Hira sembari mengusap bahu Ale. Pemuda itu tersenyum samar, menatap lekat-lekat wajah Hira. Kemudian membalas belaian gadis itu dengan anggukkan kepala.

Ale dan Hira mulai melintasi pada pengawas setelah dinyatakan rapi, seragam beratribut lengkap dengan kartu peserta. Keduanya memasuki kelas, seperti tradisi tahun ke tahun. Tas dan semua perlengkapan di taruh di depan kelas hanya sisakan alat tulis juga papan dada. Keduanya duduk dibeda kelas, sesuai nama absensi. Ale duduk termenung di pojok kelas dekat jendela berseberangan dengan Marino. Pengawas memimpin doa pagi hari ini. Tangan Ale terkepal di depan dada, kelopak matanya terkatup rapat. Bibirnya sesekali bergumam, ada secercah senyum lembut. Berdoa menurut kepercayaan masing-masing selesai, dan kertas mulai dibagikan.

Suasana tenang dan dingin membuat kepala anak-anak tertunduk, serius pada kertas kerjanya begitu juga dengan Ale dan Hira. Keduanya di ruang yang berbeda tetapi, hati mereka memikirkan satu sama lain. Tentang masa depan yang ingin dijalani bersama-sama.

“Jika ada yang izin ke kamar mandi, silakan sekarang, di tengah pelaksana ujian tidak yang boleh keluar kelas. Alat tulis tidak boleh meminjam, jika ada yang sulit untuk dikerjakan silakan tanyakan pada pengawas, atau lewat dahulu. Kalian bisa minta kertas buram kepada saya. Silakan kerjakan soal Bahasa Indonesia di hari Senin sebagai pembuka dengan baik, paham?” ujar bapak pengawas. Bapak pengawas lainnya memeriksa kartu peserta di atas meja.

“Kamu yang di sudut, silakan isi kertas jawabanmu dengan nama. Gunakan waktu semaksimal mungkin,” tegurnya pada Ale yang tampak tenggelam mengamati jendela.

“Iya, Pak. Maaf, saya biasa menyegarkan pikiran dulu sebelum mulai.” Ale tersenyum sederhana. Bapak pengawas kemudian mengangguk.

Waktu 120 menit tak terasa sudah terlewati dengan keadaan kelas yang kondusif, tak ada ribut sama sekali, selain karena Bahasa Indonesia membutuhkan tingkat fokus tinggi, pengawasnya pun sigap menulis nama anak yang terlihat mencurigakan pergerakannya. Seperti Widianto yang beberapa kali kedapatan melirik-lirik ke belakang. Imbasnya seluruh anak jadi dapat peringatan kecil.

Bel yang masih berbunyi sama ributnya dengan anak-anak yang berhamburan ke luar dari kelas masing-masing. Hira sudah berdiri di depan mading menunggu Ale dengan senyum bahagia. Ale berjalan dengan santai, tangannya memegangi tali tas ranselnya. Sesekali napasnya berembus pelan, senyum samar di bibir pemuda itu membuat Hira mengerutkan bibirnya.

“Anak itu benar-benar, ya!” gerutuk Hira memasang wajah cemberut. Gerakan lip tril alias meniup bibir gadis itu lakukan sembari menggoyang-goyangkan tasnya yang dicangklok di punggung.

Tiba-tiba langkah Ale terhenti, saat hidung Hira mengeluarkan cairan darah kental. Semua orang yang ada di sekitarnya berteriak saat Hira semakin memuntahkan dari dari lubang hidungnya. Pemuda itu berlari secepat kilat menerobos barisan anak-anak yang memenuhi koridor. Hira yang terkesiap melihat Ale langsung membalikkan tubuh. Ale bersama Aaron dan Radian juga Ralle yang masih berdiri di depan pintu tengah merapikan jaketnya berlari tunggang langgang mengikuti teman-temannya tersebut yang mengejar Hira.

Hira terlihat mengunci pintu kamar mandi, sementara seluruh sahabatnya hanya bisa memandang dari kejauhan. Hira mencoba mengatur napasnya saat Ale terlihat menunggu tatkala dirinya membuka pintu dengan wajah dipenuhi air. Hira segera menghampiri, lekas mengusap-usap lengan Ale dengan penuh khawatir. Belaian yang dipenuhi getaran sakit nan pedih itu membuat Ale tersenyum tanpa alasan.

“Aku nggak apa-apa, kok. Jangan khawatir.”

“Beneran nggak apa-apa? Perlu gua bawa ke UKS atau klinik?” tawar Ale tetapi Hira hanya mengangguk sederhana.

“Gendong, dong!” celetuk Marino yang berlari ke arah segerombolan anak-anak tersebut. Tiba-tiba saja Marino menggebrak bahu Ale, pemuda itu meringis, memegangi bahunya sembari sedikit membungkuk. Marino tertawa nikmat selagi Ale kesakitan, Radian justru menendang kaki Marino dengan tatapan ketus dan sebal. Marino lantas menaikkan dagunya. “Kok, lo yang sewot, Yan?”

“Lo nggak lihat Ale sampai kesakitan gitu, Mar?” balas Radian dengan wajah tersulut emosi. Rasa kesalnya pada Marino sepertinya sudah agak menumpuk, pasalnya Marino kadang seenak jidat dalam memperlakukan Ale.

“Ale biasa aja, kok,” timpal Marino tidak mau disalahkan.

“Ale sampai meringis gitu lo bilang nggak apa-apa? Buta, ya?” tanya Radian yang kemudian mendorong tubuh Marino dari sisi Ale.

Pemuda itu tertawa, mengamati kedua sahabatnya yang tengah beradu argumen tentang dirinya. Ale melerai keduanya, menjadi titik tengah di antara Radian dan Marino. Memberikan ruang pada Hira yang berjalan lebih cepat dari mereka. Katanya Nanda sudah menjemput dan Hira tak bisa pulang dengan Ale selama minggu ini. Nanda tak mengizinkannya. Tapi itu bukan masalah, toh, Ale masih bisa mengamati wajah Hira setiap saat di layar gawainya.

“Akhir-akhir ini gua dehidrasi karena kebanyakan bergadang. Jangan khawatir, maklum sih kalau kurang tidur badan jadi agak lemah.” Ale menenangkan keduanya yang tampak masih setengah mati menenangkan dirinya sendiri. Berperang antara Ale yang baik-baik saja atau Ale yang menahan sakit sesuatu.

“Lo nggak apa-apa, Al?”

“Pasti lupa sarapan?”

“Atau kena DOMS lagi?”

DOMS adalah sebuah istilah dari Delay Oneset Muscle Soreness. Keadaan dimana otot mengalami kekakuan, atau adanya robekan pada serat-serat otot pasca berolahraga dengan intensitas yang berat dan tinggi, nyeri ini terjadi sekitar 12 sampai 48 jam setelah waktu olahraga intens.

Ale menggeleng, kemudian merangkul seluruh sahabatnya yang terlihat tidak baik-baik saja terutama Hira yang mungkin sudah meninggalkan komplek sekolah bersama Nanda. “Gua nggak terlalu banyak latihan fisik, kok. Kayaknya emang agak kecapean aja karena bergadang,” terang Ale.

“Terus kenapa akhir-akhir ini lo sering banget megangin bahu? Terkilir atau keseleo gitu?”

Satu demi satu pertanyaan itu membuat Ale bergeming memamerkan senyum ramahnya. Tak ada jawaban yang spesial dari Ale. Pemuda itu lekas melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah. Sementara itu di dalam mobil yang Nanda pesan dari aplikasi, kedua kakak beradik itu diam seribu bahasa. Hira jemu dengan sikap Nanda yang begitu dingin pada Ale bahkan kini mirip dengan sosok Tian Erlangga yang berani main pukul hanya karena merasa Ale itu salah.

Hira menyandarkan kepalanya di jendela, sembari memegangi dadanya. Terasa ada cairan kental hangat berbau anyir keluar dari lubang hidungnya. Nanda spontan berteriak, “Pak, buruan adik saya mimisan!”

Kemudi diputar, dengan kelajuan yang secepat kilat, kedua kakak beradik itu tiba di rumah. Hira masih memegangi pucuk hidungnya saat Nanda kesusahan membuka pintu. Hira mendesis. “Aku besok sangat ingin pulang dan pergi sekolah bersama Ale. Jika Kakak menolak, anggap aja ini permohonan terakhir aku. Aku mohon ….”

Suara Hira yang lirik membuat Nanda berdiam diri merasakan relung digulung ombak nan dingin saat Hira tidak lagi membalik tubuhnya meski namanya diteriaki oleh Nanda. Hira menutup kedua telinganya, tak pernah ingin mendengar alasan dari Nanda mengapa Ale tidak boleh bersama dengannya.

Bab 24. Love you, Hira.
Publikasi 240921

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro